Wednesday, February 4, 2009

SIVA NUR AMNESTIA

Hari Ke-01
Dalam sekian kali ku berkata, dengan kasihku didunia maya.
Diantara sejuta makna dan rasa yang aku pendam, bagaikan sebuah redup terang diantara malam yang pernah ada.
Jiwa-jiwa ini gundah....!, seperti ingin mencengkram mereka-mereka yang berpikiran sama.
Gelisah....................


Pada satu malam yang terlewati, aku terkurung diantara celah-celah tak berbayang.
Nestapa sudah, aku sebagai roh.
Seketika diantara kata ‘Bagimana jika’ aku mengabarkan berita tentang ruang yang pernah ada dalam maya.
Ada dalam celah, namun celah-celah ini tertutup keinginan yang menjadi sumber pintu yang tertutup rapat.
Rasa demi rasa diolah seketika aku sujud dan bersembah pada apa yang aku anggap Ada.
Diantara nista, mengapa ada kata ‘Dosa’, mengapa?.
Sedemikian nyata tertumpah makna dalam kata ini, mengumbarkan seribu cerita, mengabarkan sejuta peristiwa, mengisayatkan semiliar karangan, memitoskan triliunan pikiran dan sampai pada angka-angka tak berhingga, aku adalah nista yang bersarang pada aku.

Celoteh-celoteh dan parodi demi parodi, ini sungguh mengesankan hati.
Panggung teater dengan penuh peran manusia mainkan, ini mengesalkan hati.
Paras-paras gagah dan jiwa-jiwa cacat mengangkat diri lewat harkat tak bermoral sedikitpun.
Seketika itu aku adalah pangeran dengan mahkota dari kotoran kuda yang aku tidak punya.

Sungguh, manakala rasa aman hanya sebuah cerita damai tentang apa itu rasa dari lahirnya seorang bayi, ataupun sebagai cermin dari sebuah peperangan.
Nyawa dan nyawa saling bergelantungan mengisi tempat-tempat pengeringan cucian pakaian, mereka saling bertergantungan antara orbit yang satu dan orbit yang lain.
Cahaya mengisi rasa yang telah ada.

Ekspresi wajah pucat mengkalungkan sesuatu atas sesuatu.
Sungguh kalung dari berlian itu, mengisyaratkan nafsu.
Mereka melakukan percintaan dengan perkataan cinta, mereka melakukan apresiasi cinta atas dasar cinta dan mereka bercinta atas nama cinta, namun itu semua hanya kata bahasa dunia bukan kata bahasa hati.
Oh norma-norma, kalian mati dengan meninggalkan seribu air mata tangisan kesedihan.

Para ksatria mengagungkan pedangnya hanya untuk menghantam kata.
Mata-mata terpejam mengisyaratkan yang sesungguhnya adalah ketetapan.
Diantara sejuta nyawa hari ini, aku bernyanyi melalui kalimat-kalimat dengan untaian mengakar pada sanubari.

Gelak tawa campuri hari dengan sesuatu yang haram dan dilarang.
Oh larangan demi larangan, kalian halal bagi mereka pelaku keharaman.

Aroma busuk dengan nyanyian memabukkan; sungguh sempoyongan mereka berjalan.
Berkata tentang kehidupan, tak kala mereka merasa tak akan pernah mati, hari ini adalah hari yang abadi.

Dentangan bel jam dinding kota menunjukan waktu telah jam 6 sore.
Hari ini telah petang; awan-awan mulai merah merona; duhai musim kemarau yang panas ini, aku ingin kau bawa angin kedinginan.
Begitu sempurna namun absurd dalam tatanan kata yang aku gunakan.


Hari Ke-02
Aku menangis sesaat ketika jiwa ini terasa akan lepas.
Sungguh aku mencari pertanggung-jawaban atas kebebasan.

Pertama demi permata mengakhiri aku menuju detik yang akan aku lalui tak peduli itu cepat ataupun lambat; aku hanya membutuhkan kompas untuk kepastian arah.
Puji demi puji terdengar lagi.

Ada karena sengaja.

Hari ini hampir tak jauh beda dengan hari kemarin, hanya saja kondisi badanku ini rasanya rapuh.
Dalam kasur terdapat embun-embun sisa aku mimpi dan buih-buih impian yang tertunda kemarin hari.
Ada kala saat pertama kali aku mengusap selimut, dan selimut menutup mataku untuk terpejam secara terpaksa.
Oh sungkan aku untuk meminta.

Masih ingat semua yang ingin aku lupakan penuh nama-nama dalam ingatan.
Yang aku kenal, ingin aku buang, karena aku tak mau namanya menjadi terkenal.
Yang aku kenang, ingin aku bakar, karena aku tak mau namanya menjadi dikenang.

Dalam imaji aku berpikir; tentang kamu oleh aku, dan sebaliknya; akan semua ini adalah kebaikanku, namun entah dirimu.

Mengertilah keberadaanku ini sungguh hina.

Terjatuh aku, dalam kejauhan mata orang lain yang merasa ataupun tidak seperti sedang telanjangi aku dengan mata mereka yang melihat terpaksa akan diriku ini.
Aku menguntai sebuah harapan dalam benang-benang yang aku pakai.
Sadarku hilang, terbuang.

Nafasku tak berimbang, namun keseimbangan ini akan mati; hampir sama dengan harga sebuah karya seni.


Hari Ke-03
Saat aku bernyawa, aku ingin sekali bahagia.
Berangan-angan seperti binatang bukan menjadi binatang; aku ingin bisa terbang.
Sayang aku bukanlah Tuhan.

Dia (Tuhan), bisa menciptakan sesuatu yang bernyawa.
Aku hanya bisa menciptakan sesuatu bila ada sesuatu.

Manusia tidak dapat menciptakan nyawa, kecuali jika pria dan wanita bertabrakan sehingga menjadi satu; maka yang menyatu akan dua.


Hari Ke-04
Aku berkaca pada cermin yang tak bisa mengucapkan kalimat-kalimat bahasaku.
Aku hanya mengerti saat mata melihat mata; oh, aku terkapar pada pandangan ini.
Apa daya wajahku penuh noda, mataku kabur, rohku berawan dan aku merasa tak menawan.

Tenangkan aku lewat pembicaraan tak beruang dan tak berwaktu.
Sebenarnya aku ini tumpukan dosa-dosa.
Diantara aku dan kamu; ada cikal bakal dosa yang besar; teramat sangat besar sekali.

Oh nurani yang alami dan pikiran yang matang, tuntunlah aku menuju jalan yang benar seperti cerita-cerita para penghuni surga.

Matiku ingin surga dan hidupku ingin bahagia.
Egois ku ini sungguh tak tertampung.


Hari Ke-05
Pada akhir, aku ini akan awali dengan kata terakhir.
Mengurai kegilaan dalam keterpurukkan.

Ada cinta dibalik lambaian-lambaian tangan.
Manusia-manusia tercipta seperti bayi kecil, mungil, lucu, polos dan tak berdosa; namun akankah selamanya manusia akan menjadi bayi?.

Kasih sayang ini memudar darah dalam sarang lebah.
Planet-planet ini seperti dihuni oleh para wanita saja.

Dalam majalah-majalah, wajahku tertampar dan ada dalam keberadaan mengkhawatirkan.
Perempuan yang kental akan agamanya, menangis.

Mengudara aku yang mudah marah; semangatku kembali mati untuk kembali bernafas.
Dalam hidup yang aku puja, aku seperti dalam kegelapan dan berada ditengah-tengah, antara gelap dan terang, namun saat aku mencapai terang, gelap pun datang dan sebaliknya.

Permainan kata akan ada, semakin terasa saja.


Hari Ke-06
Dalam kesenjangan ini, aku tak mau diam.
Sesak dalam diagnostik jasad, aku menghancurkan; bakar.
Seperti matahari, berilah aku sinar.
Apakah kamu itu hidup?.

Kecantikan ini, apakah bahagia?.
Kecantikan itu, apakah derita?.


Hari Ke-07
Dalam apa aku mengukir apa?.
Lukisan kanvas, penuh tinta berwarna; aku diam seketika melihat seraut wajah yang pernah ada dalam lamunan.
Matiku, bukan karenamu.


Hari Ke-08
Bulan, bintang dan malam, kalian mengundangku untuk pulang.
Batu-batu pualam seperti ingin dibangkitkan kembali, seperti pada masa purbakala, kalian sempat disembah dan kalian sama sekali tak salah; namun, apa jadinya bila sekarang kalian bernafas lagi.
Dalam angin yang ciptakan rindu, aku ingin berada dalam pelukan kehangatan.

Matahari, awan dan kesibukan manusia, kalian mengajakku untuk pergi seketika.
Awan-awan seperti merangkai gambaran masa depan; putih dan besar.
Oh aku puja keramaian ini.

Aku yang keluar masuk rumah dan ruang ini; seperti bersalah besar.
Layaknya aku berlumurkan dosa-dosa.


Hari Ke-09
Telah kulalui dari zaman ke zaman.
Yang terdahulu, konon dari masa dinosourus sampai beruang yang menyukai madu.
Menatap lebih ruang demi ruang yang tertutup rapat oleh kepalsuan yang disebabkan oleh pemikiran yang dangkal bahwa ia tak ingin dinilai rendah oleh yang lain.
Mata-mata mulai bersayap, lalu merapat, menutup pintu masuk.

Sederhana saja; mereka adalah kau dengan ocehan dan omongan yang menyentuh hati dan sekaligus meyakiti hati.
Dogma-dogma berkeliaran seiring dengan cahaya matahari yang terus bersinar.
Oh, aku terjatuh dan badanku dipasung karena engkau merasa pusing oleh karenaku.

Anjing-anjing menggong-gong.
Aduh, aku tersentuh karena malam.
Lembab diantara sinar lembayung yang telah berlalu, belum lama ini waktu telah berlalu, namun masih aku ratapi.
Sumpah demi dunia, aku sakit dan tersakiti.

Izinkan aku mati, sekali ini saja.


Hari Ke-10
Ketiadaan ku akan mu matikan ku.
Tetap merapat kalimat pertama.
Oh maafkanlah aku oleh sentuhan gila ini.

Menyayat diriku yang terkapar dan terdampar di utopia belaka; kosong seperti penampakan yang tak berarti.

Seni peran, namun aku hanya melihat saja.
Manusia tanpa ambisi adalah aku.
Terkubur setengah dunia dan terlelap setengah tidur.
Aku dan perubahan yang aku perjuangkan, dan misi dan visiku berubah-ubah seiring dengan keberanian untuk jujur pada tujuan kebahagiaan yang terbentang jauh dipersimpangan.

Malaikat dekati aku dengan cekatan.
Ia tak kalah jauh dengan Setan.
Damai akanku pada ruang yang ingin aku bakar.
Ruang demi ruang, matikan diriku yang hampa.
Ketiadaan ku ini basahi celana dalamku .


Hari Ke-11
Angin hempaskan ku.
Bunuh aku dalam senyawa.


Hari Ke-12
Sekarang aku menunggu waktu yang akan datang.
Aku menyayangkan waktu yang telah berlalu.
Dan aku sungguh tidak mengetahui tentang apa itu waktu.


Hari Ke-13
Sekarang kita seperti teman lama yang baru saja bertemu kembali.
Kita tak bisa bertahan dengan argumen bila tanpa dokumen-dokumen.
Aku dimarahi kekasihku.
Begitu banyak hal yang tak masuk akal, dan kadang sesuatu yang tidak masuk akal itu membuat aku berpikir dan bertanya secara berulang-ulang, hingga tak terasa sudah menjadi tulang.

Mengharapkan pertolongan sehingga hati ini berteriak keras.
Tahukan kau, bahwa kamu seperti aku.

Ada garis tanpa batas.
Ada kekasih yang menunggu waktu.
Dalam memori yang bertahan dalam tanya, “Kenapa dan kenapa”.

Sejauh ini aku masih mengenal kamu teman, tapi sekarang aku akan merasa takjub dan bangga kepadamu dengan apa yang kamu buang sehingga kamu bisa terbang.

Malaikat, kau tahu ini tidak akan pernah usai ataupun berakhir.
Kita akan berteman selamanya, tapi kekasihku berkata, “Tidak dan jangan”.
Sekarang aku berharap lagi pada kalimat bahwa dunia ini bebas.
Kau lihat, aku berbuat dan berjanji akan lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Lebik baik dalam segala hal, yang kita perlukan.
Dalam perjalanan dan persimpangan.
Dalam kekasihku yang tertidur lelap.

Jauh lebih baik dari sesuatu yang harus menjadikan diri.
Kau tahu bahwa sebenarnya kita telah menjadi misteri.
Pada sesuatu yang kita perlukan sendiri untuk kebahagian, tanpa menambah tanpa mengurangi, yaitu kebahagiaan.


Hari Ke-14
Tenang disini ada kejemuan yang membuat aku vakum untuk meraba-raba.
Dalam batu pualam yang berbisik.

Banyak belajar maka kau akan pintar.
Sebenarnya apa keunggulanku ini?.

Aduh, aku terpojok dan tersudutkan.
Dan keadaanku ini semakin dipojok sebuah sudut segitiga.


Hari Ke-15
Izinkan aku diam, tak berkata dan tak bertindak.
Tanpa harapan dan tanpa keinginan.
Tak ada yang namanya mulut bisa berkata.

Tanpa argumen aku berasa dekat dan kosong.
Singkatnya, Dia (Tuhan) izinkan aku.

Tanpa pikiran yang membuat aku marah, hanya satu hal yang aku inginkan, aku ingin kehilangan ketidak-tahuan akan-Mu.

Seperti berserah, sungguh istimewa.
Aku hanya ingin bertukar-pikiran, percis sebuah barang-barang berwarna perak didapur.
Seperti menonton tv namun terhalangi rambut berwarna pirang.

Tapi mereka berkata, aku tak akan menemukan.
Aku tahu bahwa aku telah kehilangan dirimu.
Padahal dirimu sangat berarti bagiku.

Satu hal yang telah aku tahu dan tak aku inginkan bahwa aku telah kehilangan dirimu.
Ini sungguh istimewa baginya.

Tapi aku mencoba melupakan waktu itu, dia bilang bahwa aku jangan lagi berargumen, dan jangan bertanya hal yang aneh-aneh lagi.


Hari Ke-16
Aku melihat wajah, melihat yang besar.
Aku melihat yang kecil-kecil seperti melihat mata ataupun alis.
Melihat mata yang melengkapi wajah.
Ataupun melihat alis yang melengkapi mata.
Aku pun mencoba melihat warna, tanpa rasa ingin membedakan.


Hari Ke-17
Aku tersanjung, saat mendengar kata dari mulutmu mengucap, “Terima kasih”.
Dan aku pun menangis, saat mendengar hatimu berkata, “Maaf”.


Hari Ke-18
Seperti jutaan benang yang jatuh dan terjatuh.
Kebawah, disertai sinar matahari.
Aku sedih.
Seperti jutaan benang yang hilang.

Aku rindu kebahagiaan dunia.
Aku rindu lautan yang luas.
Aku rindu pantai yang mengerti perasaanku ini.


Hari Ke-19
Aku menanti kepastian dalam ketiadaan dan kehampaan.
Aku bimbang dan bingung, terkadang aku ragu dalam berkata dan melangkah.
Namun apa daya, aku hanya manusia yang sakit dan sering mengalami kesakitan.
Sepenuhnya yang aku pegang adalah ketidak-berdayaan dan mengkhayalkan sesuatu yang mengenai dan mengenal tentang apa itu  ‘Bahagia’.
Oh Tuhan, aku mencari-Mu dan agama-Mu.

Pada kalimat kecil aku termenung; aku sama sekali tidak membutuhkan kalimat-kalimat pada tumpukan surat dalam Al-kitab; karena sesungguhnya aku belum mengerti akan arti dari sebuah makna dan fakta.
Waktu yang telah aku lalu sedetik ini, telah berlalu.
Dan keberlaluannya itu sungguh terasa terlalu.

Pada nasib dan takdir.
Aku membutuhkan kepercayaanku, tentang apa itu yang menciptakan dan diciptakan.
Aku senantiasa seperti seorang manusia yang tengah berada dalam pembuatan film, aku sebagai semua peran yang aku perankan, apakah itu sebagai sutradara, produser, pemeran utama, peran pembantu, piguran dan lain-lain, dan aku pun yang membuat jalannya cerita, dan sekaligus aku pun sebagai penonton film yang aku buat; maka sebenarnya yang namanya Tuhan, tidak berada dalam hal yang aku ceritakan tentang sebuah penciptaan film dan Ia pun bukan sekedar sebagai seorang penonton pula; ada segi yang tak bisa aku pahami dan ada sisi yang tidak bisa aku mengerti, dan jelas aku tak bisa mempungkiri imajinasi ini akan Tuhan.


Hari Ke-20
Jelas hal kecil itu bisa menjadi besar
Jelas bahwa pertanyaan ini mengandung sebuah pernyataan


Hari Ke-21
Oh, jika saja aku bisa menyentuh dirimu.
Dan disana aku bisa berharap aku kembali muda lagi.
Sekarang waktu telah berlalu, dan semuanya.
Dan hanya satu yang aku inginkan, yaitu bahagia.

Dan hanya satu cinta yang ada di alam ini.
Kebebasan yang penuh pertanggung-jawaban.
Kemerdekaan yang dipenuhi aturan dan kewajiban.
Serta hak azasi yang meyakinkan tidak akan matinya hak manusia pada umumnya.

Aku mencintai dirimu dengan cara-Nya yang tidak masuk akal.
Aku bahagia karena aku percaya bahwa Tuhan itu ada.
Memang tidak terlalu susah untuk menuju kesana, menuju surga.
Aku menunggu terlalu lama, menunggu cahaya itu datang.
Dalam mimpi itu aku pun menunggu, dalam waktu yang baik ataupun waktu yang buruk.
Oh gerbang kebahagiaan, terbukalah.


Hari Ke-22
Yeah, yeah, yeah.
Yeah, yeak love.


Hari Ke-23
Membuat yang kecil untuk yang kecil, yang besar untuk yang besar.
Terkadang yang kecil untuk yang besar dan sebaliknya.
Aku akan berangkat untuk kesuksesan.
Pada saat hari besar itu datang.

Aku tak akan memberitahukan kabar ini kepada temanku.
Aku tak akan meminta izin pergi atas kepergianku ini kepada kedua orang tuaku.
Aku tak akan melambaikan tangan didepan wajah manis kekasihku.
Biarkan aku pergi, mengejar mimpi.


Hari Ke-24
Pertemuan ini bagai buah kemalangan.
Perjanjian ini bagai bunga bangkai.
Perkataan ini bagai buih ketidak-pastian.

  1. Apa perbedaan antara takdir dan nasib?
  2. Sakitkah aku, bila lebih mencintai dunia maya daripada dunia nyata?
  3. Lalu, saat itu, setelah aku selesai bicara, waktu itu kita berbuat sebagai apa, nasib atau takdir?


Hari Ke-25
Karena aku adalah aku.
Maka ketetapan (Wajib) akanku, tidak aku mengerti.
Namun, aku akan mencari apa yang bisa aku cari (Hak).
Maka, biarkanlah aku, karena aku.


Hari Ke-26
Seandainya dunia tiada wanita tiada lelaki.
Seandainya dunia tanpa setan dan malaikat.
Seandainya dualitas itu mati.


Hari Ke-27
Mungkin semua ini seperti matahari yang menyinari dunia dengan dinamis dan harmonis.
Mungkin seperti pada saat kegelapan itu hilang.
Kamu adalah satu-satunya yang ada didalam hati ini, yang bercahaya terang-benerang.
Pada sampai akhir itu datang dan akhir itu mungkin akan menjadi langkah menuju awal.

Mungkin bayangan yang datang itu bukan bayangan mu.
Mungkin seperti catatan yang aku tinggalkan didalam kamar yang penuh debu.
Saat malam itu datang, aku menulis tentang dirimu dalam sebuah paras penuh arah.
Pada akhirnya semua ini hanyalah bagian yang terpendam dalam sisa-sisa tangisan terakhir.


Hari Ke-28
Siapa diantara kalian yang akan berkata, “Hanya waktu”.
Jika cinta itu datang dan jika cinta itu hilang.
Hanya kidung-kidung.

Siapa yang akan bertanya pada sesuatu, hingga datang jawaban itu, lalu kalian berkata, “Hanya waktu”.
Jika mimpi itu buruk dan jika mimpi itu indah.
Hanya kidung-kidung.

Siapa yang akan berkata, “Hanya waktu”.
Jika hidup ini mati dan jika mati itu hidup.
Hanya kidung-kidung.

Siapa yang tahu, dan berkata pada waktu, yang sebenarnya telah berlalu, dan kalian berkata, “Hanya waktu”.
Jika kidung ini adalah waktu dan jika waktu itu bukan kidung.
Hanya jika kidung-kidung.


Hari Ke-29
Hai, kau yang membangunkan dan membangkitkan ku.
Dengan semua waktu yang aku minta, yang sebenarnya jika sebaliknya aku tak mampu.
Pada kepastian yang akan menumpu ku.
Dan hidupku dalam linang air mata.

Aku ingin menjadi seorang pembelot.
Aku ingin menjadi manusia berhaluan kiri.

Aku melihat kearah luar dan aku perhatikan, sangat penuh warna.
Meskipun dalam dirimu kau terlihat nakal, sebenarnya aku pun tak jauh beda dengan dirimu.
Walau aku tak bisa melihat dengan jelas kejujuran mu.

Semua waktu yang aku berikan untukmu.
Dalam uji coba yang tak bisa aku rasa, sebenarnya semua rasa ini berasal dari dirimu.
Aku yakin aku tak bisa memilikimu, sepenuhnya.
Dan aku menangis dengan desah keluh kesah depresi yang tak tertahankan harus mengakui bahwa kamu adalah satu-satunya yang aku miliki.

Pada waktu, aku menangis, menangisi waktu.
Aku rasa semua sakit ini, tak akan pernah berhenti, aku terjatuh.

Dan aku tak akan pernah berhenti untuk jujur.
Dan aku jatuh semakin jauh, seperti sakit yang jauh lebih sakit.


Hari Ke-30


Hey kalian, nyalakanlah api itu.
Pegang erat-erat kayu bakar itu.
Mari mulai kita perhatikan nyala biru.

Pada kekasih, kau seperti seorang kakak.
Aduh, kita bermain perang-perangan ala anak kecil.

Ada monster ditempat tidur.
Dan ada pengkhianat didalam selimut ku yang lembut.


Hari Ke-31
Kau meletup keras dikamar, seperti sebuah permen yang dijilati oleh lidah.
Aku elonin kamu agar kamu tertidur.
Dan aku suapi kamu agar kamu makan.

Oh, suara keras terdengar lagi dari bantingan pintu.
Dering suara telpone tidak jauh beda dengan perdebatan tanpa kemenangan ataupun kekalahan.
Dan kau meletup keras dikamar, seperti sebuah permen yang dijilati oleh lidah.


Hari Ke-32
Jadi apalah artinya tidur ini?!.
Aku bermain dengan waktu.
Tapi, aku yakin aku melihat sesuatu yang berterbangan dilangit-langit kamarku.

Aku tahu, itu bukan asap rokok.
Dan aku tahu, tak ada yang namanya bayangan putih.

Kau menyeret tubuhku dengan berkata, “Kau berhalusinasi”.
Dan kau pun menjambak rambutku sambil berkata, “Kau bermimpi”.

Aku tahu, dan aku tak peduli kepada ucapanmu dan tindakan mu.
Aku hanya peduli pada waktu itu, bahwa itu bukan asap rokok.

Dan kau pun tertidur.
Aku tak tahu, mengapa kau memaksa ku dengan ini itu.


Hari Ke-33
Aku disini karenamu dan aku disisi ini bukan oleh karenamu.
Tak ada yang salah, hanya aku manusia bermasalah.
Dan aku hampiri dirimu dengan berkata, “Hai, apa kabar?”.
Lalu kau menatap cemas dan penuh harap; dengan memperhatikan kata dan tindakanku, kau membalas ucapanku dengan berkata, “Istirahatlah sejenak, dan jangan tinggalkan aku lagi,......... aku ingin kau berada disampingku”.


Hari Ke-34
Dunia, kau tampak seperti cinta dan terasa seperti cinta pula.
Dalam debu dan salju.
Penuh kasih sayang dan kebencian dalam selimut hangat nafsu.
Dalam aku dan dirimu.

Sepenuhnya aku adalah dunia.


Hari Ke-35
Oh buih-buih impian hari nanti.
Pada sekuntung bunga yang tak bereaksi.
Pada eksentrik diri, yang menarik diri dari aturan-aturan bertetangga.

Sejauh ini aku memusuhi diri.
Sejauh ini aku berkelahi dengan diri sendiri.

Pada hati yang terkapar, aku memohon kesadaran.
Pada jantung yang berdenyut, aku mengharap kejutan.
Pada darah yang terpompa, aku mendamba sebuah senjata.

Sejauh kata yang bisa aku cerna.
Dan, sejauh hati ini ingin berkelana.


Hari Ke-36
Bagaimana aku bisa membedakan mana gelap, mana terang?.
Mungkin hanya sebuah kesan yang dapat menerangkan.
Aku tak tahu ini gelap ataupun terang, karena kesan dari semua itu beraneka-ragam.
Namun, jika manusia tahu rasa garam itu asin dan gula itu manis, maka tidak akan ada perdebatan dan permasalahan karena ketidak-tahuan.

Sekarang mana mungkin aku dapat membedakan makna dari sebuah takdir dan nasib, karena aku terlalu awam untuk membedakan hal itu, dan terlalu dangkal dalam sebuah fakta, seperti sebuah intuisi yang seakan-akan kosong.

Maka sesungguhnya menunggu kebenaran itu merupakan tindakan yang mulia, namun waktu yang berlalu itu merupakan proses dari apa? Terang atau gelap? Nasib atau takdir?.


Hari Ke-37
Aku bersembayang pada apa yang mereka perintahkan, bukan pada Engkau yang berkehendak.
Oh asap kecil dengan api yang besar, aku mati tersungkur pada bara besi panas.


Hari Ke-38
Kepada langit yang biru, aku tak. tahu kenapa engkau membisu.
Pada matahari, terik sinarmu membakar sampai kedalam kulitku.
Pada jutaan bintang yang berkedip, kau mengundang tanya pada seorang anak manusia.
Pada bulan yang tak muncul malam ini, kau makin membuatku terheran penasaran.
Pada angin yang bertiup lembut dan sejuk, kau manjakan aku sampai kedalam renung hati.
Pada semua penjuru arah mata angin, aku mencoba mencari jawab, akan kamu yang sekarang mungkin sedang tertidur lelap.
Oh, malam ini aku menatap lilin-lilin kecil dikegelapan ruang dan aku ingin mengucap penuh harap akan jawab.


Hari Ke-39
Aku kaum muda yang baru dilahirkan, yang baru mengenal arti kebebasan yang bertanggung-jawab.
Aku adalah kuam kemerdekaan, yang ingin mengenal secara benar arti dari kemerdekaan.
Aku adalah kelompok pembebasan dari tekanan dan penekanan.
Aku adalah manusia yang berkemerdekaan.


Hari Ke-40
Kawan lama bawa berita, tentang suka ataupun duka.
Berisi berita, cerita dan rencana.

Bagai badai dan angin menyejukkan dibulan Mei, musim penuh kejadian ditahun ini.

Senandung aku yang terombang-ambing, oleh kaki-kaki dan bangkai tikus ditengah jalan terlintas mobil yang melaju cepat semalam.

Kawan lama berikan cerita dan mimpi-mimpi yang tak pernah putus dari tali harapan.
Dari sini sampai sana, meski tak dari utara sampai selatan.


Hari Ke-41
Ini bukan sesuai rating dan juga bukan sesuai dengan jumlah pendapatan ataupun banyaknya pesan singkat yang didapat.
Namun, yang terbaik tetaplah terbaik.
Dalam hati, yang terbaik adalah yang terbaik.
Dalam buku, yang terbaik kadang yang terburuk.
Namun, dalam hati, yang terbaik tetaplah yang terbaik.


Hari Ke-42
Ada suatu ketika cerita ini akan berakhir dan kata ini akan tidak berarti sama sekali.
Pada akhirnya aku akan memakan kata yang telah aku lemparkan, seperti menjilati air liur yang telah aku muntahkan.

Manusia, adalah kaum penjilat yang abadi.


Hari Ke-43
Dalam suatu masukan.
Aku terjebak.dalam sebuah proses tanpa sebab.
Akibatnya aku terbuang.


Hari Ke-44
Berdo’alah untuk harapanmu, pada harapan yang membuat kamu hidup.
Hirup udara sampai kedalam dada.
Aku tahu malam ini udaranya segar, namun aku juga tahu bahwa suasana malam ini terkesan hitam dan menyeramkan, namun tetaplah kau berada bersama harapan itu.

Tak bisa aku tolak bahwa aku membenci para pemburu harapanku.
Aku mendapatkan sedikit kesempatan dan pemahaman dari sebuah pertanyaan yang bodoh itu, namun tetap aku adalah aku.

Jika berharap aku bahagia, apa salahnya?!.
Dalam suara-suara ini aku berbisik keras pada saat jam menunjukkan jam 23:46.
Hanya ada sebotol anggur putih dalam tanganku, aku jatuhkan berharap agar engkau tahu.
Oh pecah, heningkan suasana ini; mati.
Kejatuhanku dari kejauhan terlihat seperti sebuah gerak lambat.
Hanya terlihat pecahan kaca berwarna putih, air yang bening yang mengalir mendatar, sekar dimana-mana dan lima batang rokok terletak berantakan.

Berdo’alah untuk harapanmu, pada harapan yang membuat kamu hidup dan bahkan lebih hidup.
Hirup udara sampai ke dalam dada; sedalam-dalamnya.
Tak bisa aku sangkal bahwa aku tak bisa hidup tanpa harapan.


Hari Ke-45
Kefanaan ini kapan mati?
Kekekalan itu kapan hidup?

Oh aku terkurung pemikiran-pemikiran yang primitif dan ortodok.

Seperti sebuah harga mati bagi pemikir-pemikir.

Aku diantara benda tajam dan tumpul, bersatu menggalang kebodohan dan mendobrak pintu belenggu ketidak-masuk-akalan, dan menciptakan sesuatu yang istimewa bagi mereka-mereka yang berkata bahwa ini adalah anugerah Sang Pencipta.

Tiadakan ku dalam kegelisahan ini!, lapangkanlah!

Oh, makin panas saja bumi ini dan makin modern saja abad ini.

Kapan kefanaan ini menjadi akhir?
Kapan kekekalan itu menjadi awal?


Hari Ke-46
“Terima apa-adanya, dan cobalah terbuka”.
Apa maksud kalimat ini?, sungguh terlalu sungkan untuk membedakan apa itu apa-adanya dan apa itu terbuka, seperti rasa canggung yang tak bisa hilang

“Aku meyakini apa yang aku yakini”.
Oh, terjadi lagi.
Apa itu apa?, apa itu yakin?, dan siapa kamu sebenarnya sehingga kamu harus meyakini apa yang kamu yakini sebagai keyakinan diri?

Mata-mata telanjang, membukalah!


Hari Ke-47
Sejuta umat menghancurkan keyakinannya.
Seribu kepala terharu sambil melempar batu.
Satu agama hancur karena pemeluknya.

Aku dan tv, hanya bisa tertawa sambil meminum kopi susu hangat yang Ibu sediakan dipagi hari jam 8 pagi.


Hari Ke-48
Aku akan mati bersama mimpi-mimpi, namun mimpi-mimpi ini tak akan pernah mati.


Hari Ke-49
Seperti angin, aku mengikutinya.
Sebuah paras dengan bibir tipis mendekat sambil berkata dan bertanya, “Wey, lihat langit malam ini, kenapa aku tidak jadi bintang saja yach, agar aku bisa menghiasi semua orang pada saat orang itu senang ataupun sedih”.

Aku terhempas seperti sebuah kertas.
Sungguh aku tak bisa berkata-kata, bagaikan senjata tajam yang menusuk dada dan tak bisa dicabut lagi ataupun waktu itu tak bisa diulangi lagi, namun yang pasti aku telah terbentuk.


Hari Ke-50
Aku harap hari ini sudah malam.
Aku harap panas ini menjadi dingin.
Aku harap tidak ada lagi harapan yang tidak masuk akal ini.

Aku harap malam ini adalah hari yang indah.
Aku harap dingin ini tidak tersentuh panas.
Aku harap harapan ini cukup masuk akal.


Hari Ke-51
Mengundang tabu dalam sebuah kamar biru.
Berbicara tentang minoritas yang tanpa bahasa.
Oh, mengumbar sejuta cerita, tentang dulu dan kini.
Masih ada segelintiran orang dan rasa bangganya.

Yang dibanggakan...............

Diantara sejuta kata, hanya kau yang bisa merasa bangga.
Bangga atas dasar yang aku hinakan.

Umpan semua mangsa dengan bahasa dan gaya mu yang penuh estetika yang mengandung esensi tentang rasa percaya diri.
Ketika hari mulai senja, gigi gerahammu mulai tak kuat lagi.
Ini adalah apa yang disebut dengan akal muakal sebab-akibat.


Hari Ke-52
Kau dan skenario terbesarku dalam imaji penuh eksentrik yang menarik diri sebagai magnet dari ibadah yang sering kali aku dustai.
Dibawah bendera merah putih, aku adalah sebagian dari kalbu yang menyatu pada pada apa yang kalbu ucap.
Tentang hitam dan juga tentang putih.

Aku adalah kemalangan jiwa yang tak bisa lidah kejar.


Hari Ke-53
Diam adalah bahasa yang tak bisa aku cerna.
Mengukir sebagian dari apa yang raga punya.
Ada 5 indera yang aku tahu, namun bila ke 5 indera itu disatukan seperti jari-jari tangan manusia, dan bila jari-jari itu dikepalkan maka akan menjadi satu, yaitu indera ke 6 yang memerlukan apa yang disebut dasar dunia mencapai etika sebagai dari eksistensi etis moral, akhlak dan akal, namun jangan pula kita melupakan budi dan koreksi.
Oh, bukan maksudku menghina kalian yang cacat.
Namun ketidak-sempurnaan ini milikku seutuhnya, dan kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.


Hari Ke-54
Bilamana kerumitan ini adalah kesederhanaan, dalam arti rasa syukur terhadap warna-warni dunia dan kehidupannya.
Maka, apalah artinya aku bila aku menjadi manusia tanpa dasar rasa keinginan.

Oh, aku kembalikan semua ini kepada alam.
Karena aku yakin, bahwa di alam dunia yang fana ini hanya alamlah yang paling adil, yang aku rasa dan aku lihat.

Teori demi teori aku pelajari, namun hanya satu yang tak bisa aku lupakan, yaitu mimpi.


Hari Ke-55
Aku manusia yang berkelamin Adam, mencoba berbicara seadanya tentang apa yang aku rasa, sebab manusia berubah karena cermin dan dasar koreksi karena masih dini.

Tentang Tuhan, Kau meniadakan.
Tentang malaikat, kau hampa.
Tentang setan, kau menyedihkan.
Tentang hawa, kau lemah.
Dan tentang kau, aku bertanya.

Pada cermin aku berkaca dan berkata, tak luput dari pertanyaan.
Oh, mana kala lilin ini padam dan kau ‘Cermin’ retak, apalah arti sebuah kata ‘Abadi’ jika aku adalah kau yang lebih baik dari ku.


Hari Ke-56
Para manusia akan sering berkata pada dirinya, pada saat hidup didunia, “Tak biasa aku sangkal bahwa aku adalah manusia yang menyedihkan”.


Hari Ke-57
Hari kemerdekaan telah datang namun aku tak pernah sedikitpun merasakan apa itu yang disebut dengan merdeka.
Lebih dari itu penjajahan diatas dunia ini belum mati seutuhnya.
Tentang kapitalisme dan isme-isme yang lainnya.
Oh, aku terkurung dan terbelenggu oleh bahasa orde-orde sebelum aku ada.

Apa karena kami telah pernah dijajah, jadi ajaran penjajahan itu tidak akan pernah hilang sedikit pun dinegara ini.

Aku menangis sedih namun tak ada linang air mata, yang ada hanyalah dendam diatas dendam serta rasa jijik dikarenakan benci.
Jadi, bohong besar jika negara ini negara yang ramah tamah, yang ada adalah jelas-jelas kita semua menyerupai bangsa barbar.

Lalu, apakah kita sekarang ini sedang memeriahkan hari kemerdekaan?
Kemerdekaan macam apa yang kita rayakan?
Apakah itu hanya hari bersejarah saja bagi negara ini, dalam arti hanya pada hari itu saja negara ini bebas dari penjajahan, tapi sekarang dan seterusnya kemerdekaan itu telah mati dengan sendirinya oleh mereka-mereka yang membenci dan menyukai politik.

Oh perawat yang sopan, baik dan cantik; tolonglah kami.
Akan aku jadikan dirimu sebagai R. A. Kartini.


Hari Ke-58
Pada suatu hari nanti aku yakin, akan apa-apa yang aku yakini.
Dalam arti aku akan sendiri.

Pada akhirnya aku bertambah yakin, bahwa aku tinggal sendiri.
Dalam arti aku akan mati.

Pada saatnya nanti, aku bulatkan tekad bahwa aku akan mati.
Dalam arti tak akan ada lagi manusia seperti diriku ini.

Pada waktunya nanti, mereka-mereka yang percaya akan renkarnasi akan termanipulasi.
Dalam arti mereka tak bisa hidup lagi.


Hari Ke-59
Peran kita hari ini adalah mati, selayaknya kuburan-kuburan yang aku ciptakan untuk sebuah acara upacara kaum kepercayaan.
Oh, begitu beragamnya agama yang satu ini.

Mana mungkin aku bisa melihat jika mata ini tertutup rapat.
Kau yang jauh disana, yang tak bisa aku lihat dengan mata telanjang ataupun dengan teknologi yang mutakhir.
Namun, kau buka mata bathinku perlahan-lahan.

Oh, aku yang cacat menjadi lengkap dan sehat, meskipun tidak sempurna.
Namun, aku hanya manusia yang hidup di alam dunia.


Hari Ke-60
Yang kita butuhkan saat ini adalah kasih sayang bukan cinta kasih.
Yang kita pakai hari ini adalah kalbu bukan perasaan.

Jikalau aku mengumbar tabu dan jikalau kau mengundang zinah, maka terkutuklah aku dan kau yang tidak sempurna ini.
Sejuta aku dalam kau adalah menjadi satu karena ada satu diantara kita berdua.


Hari Ke-61
Padamnya api karena angin.
Padamnya api karena air.
Padamnya api karena tanah.

Hanya cara yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lainnya, begitu pula mahluk hidup yang lainnya.

Angin bertiup.
Air disembur.
Tanah ditabur.

Hanya saja jika cara manusia itu salah, bukan berarti salah sepenuhnya dan seutuhnya, namun dalam pelaksanaan dan pemikirannya salah, maka yang terjadi dalam pandangan lahiriah adalah seakan-akan semakin salah.

Aku, salah satu manusia yang mencintai proses.
Proses adanya api dan tiadanya api.
Proses adalah penilaian sesuatu hal, apapun itu.


Hari Ke-62
Eksensitas dalam peleburan hari yang aku cari dalam sebuah perlarian.
Dari rumah, dari diriku dan dari siapa aku ini.

Oh, dewa-dewi.
Disini ada mantra untuk mencari asap dan mencari api.
Aku dan Sang Penolong melebur seperti sebatang roko yang saat ini aku hisap.

Hampa dan kosong, saat ini, yang aku rasa.

Bangun dan bangun lagi, hari ini, disebuah kamar yang tidak aku kenal.
Bayang mimpi yang 3 menit lalu baru aku lewati, masih terbayang, aku coba mengingat, namun pikiranku kabur dan begitu juga dengan pandanganku; oh mungkin semua itu dan ini terlalu jauh dari imajinasi aku sebagai manusia.

Dalam kamar aku coba membayang sambil bercerita kepada hati ku sendiri, tentang ini dan tentang itu; semuanya.
Mungkin saat ini aku rindu, dan rindu ku ini sungguh keterlaluan.
Aku seperti berkata pada diri untuk mencari tahu, berkata, “Rumah, disana ada apa? dan disana sedang terjadi apa?”.
Oh sungguh malang aku ini.

Sebuah kabar, kabariku lewat suara.
Sebuah wajah, berkata lewat mata.
Dan, telingaku ini membaca ada kesabaran menunggu aku yang harus segera datang ataupun pulang menuju rumah.


Hari Ke-63
Ingat aku, dengan keakuan ku ini.
Dengan debatku yang tak pernah habis perkataan dan kalimat.

Ingat kau, dengan keakuan mu itu.
Dengan cerita-cerita yang hebat dan tak habis perkara sampai kata hebat.


Hari Ke-64
Runtuh.......................
Hancur berkeping-keping.
Berantakan.
Tak bertanda, namun berbekas.
Bias.

Runtuh.....................
Sejejap mata badai datang menerpa.
Lewat pandangan, pemikiran dan perasaan.

Tak ada hujan, panas ataupun petir.
Namun, badai telah datang.

Runtuh...............
Aku pergi, semoga aku datang telah reda.


Hari Ke-65
Nota kesepakatan telah ditanda-tangani.
Selamat datang damai.
Damai tanpa ada provokasi dan intervensi.


Hari Ke-66
Kau berkata penuh percaya diri.
Optimismu, sepertinya tak akan pernah mati.

Kau menebar pesona.
Dengan harum bunga yang kau jadikan parfum.

Sepenuhnya aku adalah lemah.
Dalam arti yang basi dan menjijikan.

Lalu, apakah kamu merasa benar dan baik, serta tak luput dari rasa menyesal dan kesal.
Untuk mengingat dan diingat, kau telah menjadi sebuah warna.

Namun, berkacalah terhadap pemahaman, mengaji diri lewat intopeksi, dan koreksilah agar cepat kau perbaiki.
Sungguh, aku adalah manusia yang tak punya arti sedikitpun.


Hari Ke-67
Plural dalam arti apa?
Sekural dalam maksud dan tujuan apa?
Liberal dalam konteks apa?


Hari Ke-68
Lalu kau tertawa, lalu, tertawa lagi.
Dasar gila!!!!!!!!


Hari Ke-69
CHayo-chAYO......
Merdeka adalah harga mati bagi harga diri.
Merdeka adalah kebebasan yang tak mungkin akan lepas dari undang-undang dan ketetapan.
Merdeka adalah bentuk kedaulatan yang berdaulat, dalam arti tidak absurd.
Merdeka adalah kebebasan penuh tanggung jawab.


Hari Ke-70
Apa pedulimu tentang badanku yang kedinginan, sedangkan aku khawatir kamu kehujanan.
Jadi, apa maksudku tidak dapat kamu mengerti.
Oh sayangku, aku mencintaimu atas dasar cinta dan kau akan selalu ada dalam hatiku atas dasar perasaan.

Dalam kecepatan suara aku mendengar kau memanggilku.
Dalam kecepatan cahaya aku lihat sinar-sinar berjatuhan diatas kepalamu.
Dalam penutupan mataku ini, aku merasa lebih tenang dengan adanya kau disampingku.
Oh sayang, tanpaku kau telah lengkap dan sempurna.
Maka, biarkan dan lerakanlah aku mati.

berlari...................
Berlari.......................
berlari.................

Sekali lagi, apa pedulimu tentang tubuhku yang terbakar sedangkan aku cemas kau kepanasan.
Maka biarkanlah dan relakanlah aku mati, karena kau telah mencapai kesempurnaanmu sebagai manusia.

Dan, kau tertawa disaat tubuhku membeku, sedangkan aku masih merasa takut karena kau akan sakit karena musim salju.
Oh sayang, relakan aku mati dan biarkanlah aku sendiri.
Tanpamu, disampingku tanpamu, tak apalah.


Hari Ke-71
Kini aku mulai menyadari sedikit demi sedikit dari pengkhianatan hilangnya rasa sadar.

Akan ingatan, terkadang aku jadi pilu.
Akan masa lalu, kadang aku jadi ingin.
Akan sebuah warna, terkadang aku jadi rindu.
Akan satu kejadian, aku jadi ingat dosa.

Jadi hari ini tidak dapat aku pungkiri lagi, bahwa kemarin kau telah mendustai.
Hal kecil, yang tidak kecil.

Terbang, terbawa angin.
Marah; oh, hawa nafsu.

Aku yakin ini tak akan pernah selesai.
Karena akhir dari semua ini adalah awal, dan akhir dari awal ini tetap akan menjadi awal selanjutnya bagi warna kehidupan perhariku.


Hari Ke-72
Dengarkanlah, suara sanubari ini.
Rasakanlah, lalu sampaikanlah.
Bagai buah aspirasi dari sebuah musyawarah.

Lalu kau akan mati, karena kau bergabung dengan kematianku ini.
Tanpa rasa dan keinginan.
Bergabunglah denganku, dengan kematianku ini.

Matinya rasa.
Rasakanlah.
Matinya berpikir.
Pikirkanlah.
Matinya keinginan.
Matikanlah


Hari Ke-73
Berontak, pakai otak.
Berlari, pakai sepatu.
Mencari, pakai telepati.
Aku adalah pemikiran yang punya tiang dan aku punya pemahaman  tentang apa itu bendera-bendera.


Hari Ke-72
Orang bertanya hak kepada Tuhan.
Sebut saja menuntut pahala dari amalnya.

Dan orang mulai runtuh moralnya karena ujung-ujung kebuntuan dunia.
Sebut saja kebahagian fana

Lalu, karena mereka tidak pernah puas.
Sebut saja tidak mensyukuri.

Sehingga mereka mulai membuat pertanyaan serta jawabannya.
Sebut saja alasan dan pernyataan.

Maka dengan cepat dan ingin segera, mereka menanyakan hak-haknya terpenuhi.
Sebut saja tidak puas.


Hari Ke-73
manusia pintar.
terlihat bodoh.
manusia genius.
terlihat tolol dan konyol.
manusia normal.
terkesan abnormal dan aneh.
manusia gila.
sepertinya mereka sadar.
manusia adalah nyata atas segalanya.


Hari Ke-74
Disini kita, telah sampai, dan sebentar lagi sampai.
Berkata dia, “Sebentar lagi”.
Oh, tak lama aku bertanya.
Lalu ia berkata, “Sabar”.

Aku menjadi berpikir tentang makna kalimat dan arti tata bahasa.
Tentang apakah itu dan ini, atau apa ini dan apa itu.
Seperti konteks benar dalam bahasa ‘Right’ dan ‘True’.
Semuanya, kala aku eja jadi ‘Nothing’.


Hari Ke-75
Jadi, aku bugil.
Tanpa baju, tanpa guru dan tanpa buku.
Nestapa?!, tidak juga.

Lepas dan bebas.
Seakan-akan saja.


Hari Ke-76
Oh aku ditarik oleh masyarakat sekitarku, ditarik.
Aku coba untuk menarik diri dari lingkungan yang ada dan tercipta.
Dengan sendirinya tanpa ada intruksi, provokasi dan implus.


Hari Ke-77
Apalah artinya aku??


Hari Ke-78
Kita bermain adalah satu gabungan dan dalam satu lingkaran yang sama.
Terlihat perbedaan, nyata ada, terasa.
Oh rasa ini tak bisa aku singkirkan begitu saja.
Aku tak biasa dan bisa menunjuk orang.
Memerintah.

Sedih....................
Kosong...............
Sedih...........
Dan berulang-ulang sama dan tetap kosong dan sedih.

Apa artinya kata dan makna sekarang ini.
Seperti keadaan jiwa yang terbuang.
Dalam sisa waktu 5 detik yang lalu, yang telah berlalu.
Tanpa arti namun penuh beban, terlalu panjang dan berat.

Aku adalah begini, dengan keadaan sementara, yang coba berjalan tanpa tubuh untuk dipeluk ataupun bahu untuk dirangkul.
Mengenaskan.
Oh mengapa aku menjadi naif begini, dengan sedemikian hiperbola yang aku gunakan, seakan-akan menjadi ironis dan pesimis melihat keadaan ku sendiri dan kenyataan yang berjalan dengan sendirinya dihadapanku ini.
Sekarang?!, apalah artinya sekarang.

Lari tanpa diri.
Sembunyi tanpa hati.
Merdeka?! merdeka apaan?, apanya yang merdeka!.

Lihat langit malam ini.
Bulan bersinar terang bersamaan kedap-kedipnya bintang diangkasa sana.
Awan hitam, terlihat menutupi langit-langit bumiku ini.
Seakan-akan akan mematikan cahayanya bulan.
Aku hanya bisa menatap, aku yakin ini hari belum saatnya untuk turun hujan.
Oh, kini awan itu menutupi cahaya yang datang dan turun perlahan-lahan, dalam keterlambatan mataku yang menatap sedikit dengan mata dan penuh dengan ketelanjangan jiwa.
Awan tipis, sekarang kau menutupi cahaya itu.
Namun tidak, dan belum sepenuhnya.
Terlihat rona merah, merah-kemerahan yang mataku lihat, aku rasakan tekanan yang kau rasakan sama dengan diriku saat ini; perih, sedih dan tertekan.

Mata hanya melihat bulan dengan cahaya tipis dari awan hitam yang tipis, menghalangi cahaya bulan; seperti asap merah dari bara api unggun.
Oh, bintang-bintang kau memperhatikan sekitarmu, seperti aku.
Oh, awan hitam kau menghalangi pandanganku, seperti aku.
Oh bulan kau terlihat tetap bercahaya, seperti aku.
Dan waktu terus berlalu.


Hari Ke-79
Aku jadi rindu kamu.
Aku jadi rindu Ibu.
Aku jadi rindu Nenek.


Hari Ke-80
Belum saatnya engkau datang, kau telah tiba duluan.
Dalam haluan kerja keras yang tak mungkin bisa aku bayangkan.
Saat mulut ku yang bau mengucap kamu dan dengan selingan kata-kata tabu, yang aku ucap dalam suasana penuh candu rindu.
Belum saatnya engkau pulang, kau telah tiada duluan.


Hari Ke-81
Menurutku, “Jadi salah, jika Tuhan itu akan jauh saat diriku jauh”.
“Ia akan dekat manakala aku dekat”, kurang lebih ia berkata demikian.
Lalu menurutku, “Pada saat aku jauh ataupun dekat, Sang Pencipta akan senantiasa dekat dengan diriku”.
Lantas, akankah Yang Maha itu akan meninggalkan mahluk ciptaan-Nya dengan begitu saja?. Tidak.
Hanya saja, mahluk ciptaan-Nya itu, tidak merasakan adanya Yang Maha itu bukan disampingnya saja, namun lebih jauh lagi, merasakan bahwa Ia dekat, bahkan lebih dekat lagi, bahwa Ia ada dalam hati mahluk ciptaan-Nya.


Hari Ke-82
Hanya berisikan doktrin-doktrin.
Mereka mendoktrinisasikan.
Padaku dan pada siapa saja yang dipandang dan dipikirkannya.


Hari Ke-83
Veritifikasi aku dengan macam-macam implementasi.


Hari Ke-84
Kau dan ocehanmu, terkesan mengada-ada.
Kau dan obrolanmu, terkesan mereka-reka


Hari Ke-85
Kepercayaanku hilang tertanam dalam pikiran.
Karena pandangan mata secara nyata sungguh seperti pil pahit yang harus aku telan.
Kau khianati aku.


Hari Ke-86
Hanya berisi titik-titik.
Seperti hujan rintik-rintik.

Kosong dan hampa.

No comments: