Wednesday, February 4, 2009

MERDEKA DARI TRAUMA

~Dijaga untuk Terjaga~
TELAH ada, sejak aku belum ada, adalah hal yang, sebagaimana telah ada menjadi tiada dan sebaliknya, adalah merdeka atas dasar dari kata ‘budak’ dan ‘tuan’, tanpa ada kata ‘pembebasan’ lalu mengadakan ‘pembunuhan’, selayaknya sebuah aborsi, yang meniadakan rasa berperasaan nan egois, dari sebuah keidealan, yang biasa mereka sebutkan, dengan kebisaan yang dengan akal-bulusnya melakukan peniadaan kehidupan, dengan melakukan pembunuhan untuk pembebasan, adalah sebuah pemusnahan, penghancuran, yang binasa dan bidab, yang dinilai oleh dogma moralitas dan agamis.
Dan insomnia ini, menjadi dasar dari kecekatan, atas kejelasan dari kebijaksanaan, yang meniadakan kata ‘salah’ dan ‘benar’, yang mana, diciptakan oleh penilaian orang-orang dari masa lampau, sebuah nilai dari nihilsme yang pada akhirnya meniadakan yang sudah ada, sehingga diadakan yang belum ada, meskipun terkadang terjebak dalam kata-kata, adalah sebuah antikodrat yang sesungguhnya, yang mengkaji nilai-nilai luhur dari citra, cipta dan karya orang dimasa lampau, sehingga didapatkan sebuah kebenaran yang nyata, kebenaran yang abadi, seperti hidup dalam sebuah perulangan abadi, yang tanpa adanya kata ‘reinkarnasi’; agar manusia dapat berjalan menuju cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang—dihiasi dan menghiasi. Karena manusia tidak mungkin sama, tidak mungkin menjadi manusia yang sama pula namun dapat disatukan, yang ada adalah perbedaan yang maha tak terhingga, atas kehidupan yang tak terhingga pula. Seperti roh yang sedang dalam masa trauma untuk merdeka, dan merdeka untuk trauma, alangkah baiknya, kita menilai sebuah sifat yang akan menghasilkan sebuah sikap, dan sikap yang akan menghasilkan sebuah sikap, maka kalian.. seharusnya menjadi mahluk hidup yang bersikap.

Mungkin kecerdasan tidak sebanding dengan kata kolektif, yang mana akan dipadukan oleh keunggulan yang relatif, oleh karenanya, dijadikanlah hidup, dan inilah hidup!.

Kualitas-kualitas dari manusia hanya sebatas dari apa yang dinamakan oleh manusia kebanyakan, dan kebanyakan dari mereka mengatakan, bahwa teman sejati adalah kebutuhan, namun disini ada kata ‘abadi’, kita mencari sebuah hal yang hakiki, atas dasar apa yang akan dicari dari kebenaran dan kesalahan, bukan hanya sekedar keberuntung, dalam arti, pada saat kita berdusta, justu kita mendekati kebenaran, namun lebih kepada, pada saat kita bertanya, kita diingatkan, untuk segera menyadarkan dari sebuah bentuk keadaan, yang ada akhirnya akan menghasilkan apa yang biasa kita sebut sebagai jawaban. Adalah hal yang jauh berbeda antara timur dan barat. Sebuah dogma, adalah daging mentah, yang berasal dari setetes darah, darah yang diciptakan dari sperma dan sel telur, yang disisipkan oleh zat yang maha misterius, yang dahulu kala disebut sebagai asali dari tanah. Sehingga air adalah sumber kehidupan, api adalah sumber perusakan, dan angin adalah sumber pemusnahan.

Namun manusia, dilihat dan diukur oleh mental, bukan usia. Seandainya sebuah pendewasaan yang pada akhirnya hanya berpacu pada waktu, waktu yang diartikan oleh sebuah proses, proses yang dijalani dan dihadapi.

Yang harus kita jaga adalah kepercayaan akan perasaan, merupakan apa yang sebenarnya dirasakan, adalah sebuah isyarat dari apa yang biasa kita sebut sebagai naluriah, firasat, insting, dsb. Asali yang alamiah. Merupakan sebuah cita rasa, dari kehidupan yang penuh dengan rahasia, bukan dari sebuah indera ke enam, melainkan sebuah tiupan angin yang sangat fana.

Adalah jiwa-jiwa yang terluka, yang melakukan penebusan kehidupan dengan sebuah nyawa, yang biasa mereka sebut sebagai sebuah dosa—antara hidup dan mati, lalu mereka melakukan sebuah penebusan dosa dengan mengorbankan sebuah jiwa, yang pada akhirnya yang tersisa adalah sebuah luka-luka. Sebuah kepasrahan karena telah dilahirkan.

Adalah jiwa dan raga, yang tak dapat diipisahkan dari kehidupan, namun dapat dipisahkan oleh kematian, yang pada akhirnya menuntut pertanggung-jawaban. Menyedihkan dan menyeramkan, jika kita dituntut untuk sempurna, sebagai mahluk yang mulia, yang harus mengabdi, tak punya kebebasan, hanya sebagai sebuah robot ataupun boneka, sebuah peranan sebagai audien ataupun penonton, yang terbawa dalam susana hikmat dalam sebuah pangung kehidupan, yang menuntun sebuah gambaran dan pandangan, atas dasar pemikiran dan perasaan, sebuah hikmah dan pelajaran yang akan didapatkan daripadanya, yang dinalarkan dalam sebuah nilai-nilai, atas sebuah hukum kelayakan orang banyak—yang pada akhirnya mengharapkan sebuah kebaikan dan kebagusan atas dasar kebenaran, kejujuran dan keberanian, yang disisipkan rasa keberuntungan semata, adalah hal yang mati seketika, bagai sebuah debu yang tak berguna, yang tak dapat merubah apa-apa dan tak dapat diubah, adalah sebuah daya upaya yang sia-sia, selayaknya mahluk hidup yang tak tahu apa-apa dan tak bisa apa-apa. Adalah manusia, yang pada akhirnya akan disengsarakan oleh cerita-cerita tentang awal dan akhir, tentang akibat dan sebab, namun pada kenyataannya adalah manusia merasa sedang dalam sebuah persimpangan, jalan di ruas tengah-tengah, sebuah pilihan, sebuah andil yang cukup besar akan kata-kata yang akan dijaga, dalam sebuah dogmatis yang mendalam, yang penuh dengan kesakralan akan percayaan adalah surga dan neraka—makna diciptakan—kembali pada asal—sebuah taman surga, yang pada akhirnya kita hanya dapat berharap dan berdo’a, seakan-akan berandai-andai diciptakan untuk ditakdirkan masuk surga, padahal masa lalu adalah kenangan, yang tak dapat diubah, dan itulah takdir; sedangkan masa depan, adalah impian dan harapan, yang dapat diubah, dan itulah nasib.

Dan para penyamun dari zaman kegelapan pun datang, dan saling berdatangan, saling bergantian, saling bertergantungan dan terikat—layaknya sebuah candu ataupun pernikahan dan perjanjian—namun apalah artinya semua bila pada akhirnya akan berakhir—dengan tragedi yang tragis, dengan kematian yang menyendiri, dengan kehidupan yang menyepi, adalah mereka yang mencoba mengobati tubuh yang sekarat, adalah mereka dengan harapan datangnya mukjizat....... sungguh meraka menangisi kematian diri sendiri..... selayaknya lampu-lampu—mati, dan itulah kematian!

Dari masa ke masa selalu timbul dan tumbuh rasa, dari sebuah selera akan hasrat, yang menimbulkan sebuah warna—mengakar untuk mengejar dari ketertinggalan—merambat untuk mundur dari sebuah kemajuan—memperlambat sebuah akhir dari awal—merupakan tanda-tanda yang belum pasti dari sebuah janji yang dikatakan akan datang. Namun yang akan datang itu, apakah sesorang yang hidup, atau sebuah kehidupan? masa bodoh, kita harus enyahkan!...... ya enyahkanlah hal-hal yang belum pasti dan belum kita yakini—namun bila anda yakini, pelihara dan jagalah, agar menjadi abadi ataupun sejati. Adalah sebuah kebenaran yang didalamnya ada kata ‘benar’ yang tanpa ada kata ‘salah’ sedikit pun—pasti.



~Kisah Klasik dari Perulangan Sejati~
UNTUK diperbaiki, adalah hal yang sejati diantara keabadian, adalah kisah diantara cinta-cinta segitiga, menyurutkan pemandangan, agar terjaganya setiap perasaan yang dibawa dan terbawa—Terbang—Dikumandangkan sebuah arti dari sebuah kisah, di ilhami, menyatatkan dan menghikayat dalam sebuah hikmat yang dalam, sedalam kesepian, kesendirian, keresahaan dan kegilaan, sebuah akhir dari keserderhanaan yang semoga bahagia dan sejahtera, adalah sebuah arti kata dari ‘bagaimana kalau’—adalah cinta yang dicari dan cinta yang diraih; kesatuan dalam setiap persamaan dan perbedaan—makna bijak yang menghilangkan sebuah dualitas guna kepastian—adalah sebuah langkah yang ditempuh, tak peduli menabrak norma, moral, hukum, agama, dll. Adalah sesuatu yang akan dia lakukan guna keselamatan jiwa yang gelisah, untuk ketenangan, meskipun dalam perjalanan hidupnya ia dikatakan sebagai ‘sesat’.

Sebuah epik yang tragis dari apa, yang saya katakan saat rasa pusing dikepala, semacam vertigo melanda, sebuah badai kecil dalam muatan prolog yang penuh dengan monolog, para manusia kebanyakan melihat diriku, dengan keheranan, dan mereka pun tidak bertanya—sebuah persepsi penuh kondisi ketakutan—satu persatu dari lilin-lilin kecil dinyalakan, tercium aroma api yang menenangkan jiwa, akan pandangan kedamaian, sebuah cahaya—terang menyelimuti kegelisahaan, dalam ketenangan yang menyela dan menyala—adalah sebuah dogma yang dihasilkan dari keadaan diam, selayaknya sebuah kebenaran dan ketidak-benaran yang diadakan oleh Tuhan, bahwa Tuhan yang mengadakan semuanya, atas ketidak-berhinggaan dan ketidak-berhinggaan, akan sebuah keaneka-ragaman yang maha..... Hai kalian para malaikat, kalian adalah sebuah sosok berwarna putih, yang menjalankan sebuah perintah, perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan dan kebajikan, yang sempurna dan mulia. Hai kalian para setan, tentang kalian ada sebuah tipu daya, samar-samar, buram dari lensa, tak jelas dari semua kacamata yang ada, sebuah ilusi yang berperang dengan ilusi, dan sebuah ilusi yang berdamai dengan sebuah ilusi—absurd—kalian, adalah sebuah ketidak-jelasan fungsi, akan sebuah dwi, adalah usaha untuk menghancurkan sebuah makna dualitas yang sesungguhnya, namun kalian tak mampu, karena kami manusia, kami terbagi atas sebuah dwi, yang terbagi akan ke esaan, keesaan yang mulia, sempurna, dan saling melengkapi. Untuk perempuan dan laki-laki—yang dapat menciptakan alam semesta adalah Tuhan, Dia juga yang dapat menghancurkannya—Tuhan yang membuat awal, maka Ia juga yang akan mengakhiri—Karena Tuhan bukan manusia (perempuan ataupun laki-laki), malaikat ataupun setan. Kalau demikian, sekarang kenapa manusia harus berperang melawan setan, kenapa bukan malaikat saja yang berperang dengan setan. Hidup adalah sugesti penuh misteri, naluriah yang alami, sebuah asali yang dikehendaki.

Sepertinya, tak ada yang patut dijadikan sebagai rasa malu dan menyesal, selayaknya memalukan, dipermalukan, menyesali dan disesali. Semuanya seharusnya mati, guna pencapaian rasa bangga tanpa sebuah kesombongan, adalah sebuah kualitas dari apa yang saya namakan sebagai kekosongan dan kehampaan tanpa rasa kesepian dan kesendiriaan, layaknya sebuah asmara, wibawa, kharisma, dan terjaga untuk menghilangkan khilaf.

Tersingkap rasa, dari apa yang menjadi kemahaan, dari sesuatu yang besar, dari Sang pencipta, mahluk ciptaan-Nya mengejar sifat-sifat sang pencipta, dengan tujuan agar dapat bersikap layaknya sebuah ciptaan yang mulia, yang mana dapat dikatakan sebagai manusia unggulan, bukan sebagai tuhan, namun sebagai sesuatu yang sama namun berbeda derajat dari mahluk hidup kebanyakan, adalah sesuatu yang hampir-hampir dikatakan sebagai penilaian Sang Ilahi, takala ada seseorang berkata, “yang dapat menilai orang adalah orang lain, dalam arti bukan diri sendiri”, namun saya berkata dengan lantang, “yang dapat menemukan jawaban adalah sebuah diri, karena dalam diri terdapat pertanyaan dan jawaban, karena manusia yang menjalaninyalah yang lebih dapat merasakan sebuah keadaan dan situasi tertentu, manusia yang sadar dan sabar diri”

Sebenarnya yang aku takutkan adalah sebuah kesombongan dalam hari dari sebuah pohon kebanggaan, dengan akar pengesaan dan rasa malu, dari sebuah air kehidupan, api kesesatan, angin kesaksian, dan tanah kebenaran. Sedangkan yang tidak aku inginkan adalah kehidupan yang terlalu lama, usia yang terlalu panjang, dan kematian yang terlalu lama. Sebenarnya hidup seribu tahun lagi, tak akan ada banyak yang berubah, yang ada hanyalah perkembangan demi perkembangan saja, sebuah perubahan dari sebuah perulangan abadi, sebuah cerita pengantar tidur bagi anak kecil, pada saat malam menjelang tidur, ya, sebuah perkembangan dari perulangan abadi.



~Malam Terperangap, Terjebak Sinar Pagi~
SEBUAH ciuman mematikan dimainkan, semakin dalam dan semakin liar.......... Suara mendesah, terdengar ditelinga, pada waktu tengah malam, saatnya memenangkan pertandingan, memulai siapa yang paling terjaga, antara manusia dan ayam jantan, apa hanya sebuah suara saja, sebuah resah gelisah tak terelakan, terenyuh dalam hati berkata, “apa hanya aku yang mendengar........... apa aku gila,.......... ahh jika memang benar...... apa mungkin aku adalah seorang pendengar yang tak tenang,..... oh aku kecewa....... aku rindu. Sebuah kontrol.... sebuah gelora jiwa, hasrat, rasa dan cinta............ memabukan............ pahit....... binal.... jalang........ dan ohh...... aku terjebak.................. semakin panjang semakin terlarang, semakin melawan semakin ternikmati................ gila.”
Dan aku memulainya dengan mendengar sebuah canda dan tawa—aku pun memulai sebuah canda—selayaknya sebuah tandu, dan aku tertawa, dalam kegelapan, sebuah gelap malam. Aku berteriak karena tak bisa melihat, ya sebuah komedi putar dimainkan. Dan aku memulai melihat tangisan—aku pun menangis dan merasakan sesuatu yang berlinang—dari sebuah tangisan, ternikmati dan menikmati, dalam sebuah lubang nganga, hanya melihat dan tak menemukan, adalah sebuah tangisan diri. Langit hanya sebuah pandangan saja, tangan ku tak sampai—tak mampu mengggapai, hanya kasur dan bantal dan selimut yang dapat berkata, “kemari.... marilah kau mati”. Sebuah nyanyian menyeramkan, adalah sebuah permulaan, sebuah airmata dari langit meluncur deras, dengan sebuah teriakan keras, tak lama mengalir sebuah air berasa asin. Dan akhirnya aku mati, saat langit hanya tinggal gerimis, dan sekarang semuanya tinggal sebuah canda bagi diri, untuk tertawa............. namun tetap aku tak puas.......... aku tak pernah merasa gembira—aku tertawa. Hanya tertawa yang dapat menahan airmata—tawa yang menyehatkan.

Saat gelap datang, burung-burung beranjak pulang dengan kicauannya kepada sarang, burung-burung yang lain keluar, kelelawar—manusia yang mencari darah segar dan manusia yang mencari rasa manis dari buah-buahan, dan udara yang segar dan dingin—matahari mulai terbenam dengan warna jingga yang merah merona dibalik sang awan, terlihat butiran-butirannya, terhempas dan membuyarkan pikiran ku yang tegang—kakiku tak mampu menopang tubuhku, tak mampu berdiri tegak, hanya mampu menegak air-air—layaknya sebuah seni dalam pencitraan yang terkesan, dan mengandung kesan, sebuah maha karya penuh selera, aku biasa menyebutnya dengan kata ‘keagungan’ dan ‘keindahan’. Asap rokok yang menenangkan dan air kopi yang menyegarkan, selayaknya angur yang menghangatkan. Kini kaki melangkah dari semua ketegangan—alam dan ruangan ini terasa sangat panas, dan aku bernyanyi didepan nyonya dan tuan.

Lalu lika-likunya menyimpan sebuah tanya, sebuah tanda tanya yang besar, aku kalut didepan mahluk yang berjasa. Sebuah raksaksa berderajat dengan kemuliaan yang tinggi (para pemimpin dengan impiannya menjadi manusia unggulan; sebuah kehendak akan tujuan, yang dianggapnya bahwa proses adalah sebuah isme yang dapat dimatikan), disebuah tempat yang mereka sebut sebagai keadilan dan kebenaran. Oh toleransi ini kapan akan mati, rasa mengerti dan memahami yang didalamnya terkuak sebuah makna dari apa yang biasa aku sebut sebagai pengertian atas dasar kehidupan, airmata, airseni dan airmani yang tak jauh beda dengan sebuah unsur terusan dari apa yang dikatakan sebagai kehidupan. Adalah aku yang kesal dengan ledekan dan ejekan; mahluk rendah, sebuah makna tertawa para kaum pengembira, merendahkan dan menyepelekan—dan aku pergi menelusuri bintang dan bulan. Aku adalah sebuah pandangan, namun sayang, mata yang memandangku hanya sebelah dan tak terbuka—katup tertutup cahaya Sang Surya.

Ujung dari komet, aku terpana oleh bintang-bintang jatuh, tak jauh dengan diriku yang jauh ini, terjatuh.

Sebuah jiwa yang mencari makna, hanya didasari oleh makna toleransi, layaknya sebuah pembunuhan—darah dan darah, sebuah garam dengan garam—namun kini, apa yang telah terjadi dialam ini, sebuah pencitraan dari sebuah karya dari mati dan seni, adalah apa yang aku sebut sebagai penghayatan dari apa yang disebut dari proses marah. Marah pada hal yang bukan diri, pada diri yang tak mau mengerti, dan tak bisa dimengerti. Marah kepada apa yang dilarang dan diperintah—sebuah kewajiban dan hak—tanpa kehendak untuk berkuasa—hanya kehendak dari Sang Kuasa.

Orang berlari untuk menanyakan, pada sebuah gua-gua hukum—lembaga peradilan—sebuah palu dan keputusan—disebuah liku yang aku sebut sebagai tengah malam, yang memabukan, yang penuh dengan asap tebal dari nikotin dan tar—oh.......... roko, anggur, coklat, roti, kacang dan aspirin......... kalian melihatku sebagai seorang pengangguran yang migran—yang kalian anggap sebagai pengganggu pandangan—yang menapaki wajah manusia yang penuh dengan ketertawaan pada setiap kalimat yang aku bawa. Lelaki tua dengan perbekalannya menuju mati, ketakutan, takut miskin dan takut neraka—mereka tak bisa lagi berbuat jahat, dan mereka telah terbiasa untuk berbuat baik—para burung-burung malam, bersuara sedikit dan memakan banyak, sebuah ilmu dari apa yang aku sebut sebagai ‘kebenaran tanpa toleransi’ dan ‘kenaikan yang baik’.

Kini, keadaan telah larut malam, orang-orang ada yang tertidur lelap, sebuah mimpi penuh cita rasa, namun apa yang didapatkan adalah sebuah misteri dan sugesti, dan aku masih berada disebuah jalan, dalam perjalanan menuju pagi—penungguan untuk pulang—kabut mulai membuat tubuh mulai merasakan dehidrasi, melerakan dilema dalam diorama yang penuh kharisma, tubuhku pun tak kuat menahan muntah, sebuah rasa mual yang menjengkelkan, aku muntah dan apa yang keluarkan dari mulutku dan apa yang aku lihat adalah air dan hanya air—dan aku pun berkata dengan suara yang tinggi rendah, “inikah yang kalian inginkan!!!, sebuah rasa, dari apa yang kalian katakan, dapat dimatikan, kalian kini masih dalam mimpi, sebuah ilusi dengan buah ilusi pula, sedangkan aku, ....................... Tuhan .................. lihatlah aku.......... aku yang masih saja terjaga, terjaga dari apa yang masih hidup”

Dingin, sebuah dingin yang aku kutuk, menjelma, dari sebuah pelataran toko.

Kebekuan otak, yang menyumbat saraf-saraf untuk bekerja, menjadi terhambat.......... makanan hangat aku temukan dari sebelah mayat yang masih hangat.......... aku lemparkan sebagian darinya untuk berbagi dengan yang lain..... namun, kini aku melihat sosok para penjual diri, para pegadaian tubuh untuk satu malam, entah untuk satu menit saja. Apalah mereka itu?! Mereka telah ada dari zaman dulu, tak mungkin dapat aku lenyapkan dengan begitu saja, dan aku menghargai keberadaan mereka yang ada dikarenakan keadaan, layaknya sebuah kupu-kupu yang menghiasi setiap pelataran toko tersebut. Dan aku berbicara sedikit dengan mereka, lalu badan mereka pun menjauh karena mencium bau dari tubuhku. Ahh........ apa peduliku dengan hal yang satu ini, aku tidak menjauhi dan tidak memusuhi......... dan tak akan mungkin hingga aku membunuhnya. Aku lebih berani membunuh keinginan dan membunuh rasa badani ku sendiri........ sedangkan mereka.......... entahlah, mungkin sebaliknya.

Aku tertawa saat memikirkan tentang tradisi dan warisan dari zaman dulu yang sampai sekarang masih juga ada, layaknya kecoa, dan diantara orang-orang kebanyakan ada pula yang menentangnya, hingga ada pula yang berani berkata kotor dan kasar, yang menurutku adalah hal yang sama dan tak jauh beda dengan tradisi dan warisan dari zaman dulu tersebut—saat melihat akhir dari semua ini, sebuah sinar terang yang tak dapat aku percaya datang. Oh ternyata matahari telah muncul lagi—dan aku pun pergi untuk menyendiri dari kesepian yang mereka anggap dan percaya sebagai sebuah keramaian, diyakini sebagai jalan menuju masa depan, sebuah perubahan menuju akhir—cahaya yang menghangatkan, namun tetap saja dapat membuat tubuh ku menjadi sakit—aku berteriak, “dimana air hangat itu!?”. Sebuah toleransi adalah hal yang bukan basa-basi, namun adalah langkah yang murni dari mengerti, untuk dapat memahami bahwa satu butir garam tidak sama dengan dua butir garam.

Aku pun menemukan air putih yang dikalengkan dibawah jembatan layang, yang mereka katakan sebagai minuman penambah energi ataupun air mineral, namun menurutku apalah bedanya dengan air yang aku minum semalam.........

Aku pun tertidur oleh karenanya, dan terbangun oleh karenanya pula. Adalah sebuah sisa-sisa. Dan aku berteriak menuju mimpi, dalam tidur yang seperti anak kecil........... aku meronta, meronta menolak tidur yang panjang, mimpi yang tak terselesaikan, dan wanita-wanita berambut pirang dengan kerajaan yang mirip dengan sebuah lautan yang luas—untuk diselamatkan dan disempurnakan. Aku pun bangun dari tidur untuk mengejar mimpi, dan aku tidur untuk membangun mimpi.



~Semrawut Orang Tua~
1
ADA rasa ciut, tak punya nyali menjadi diri sendiri, proses yang terlupakan untuk mencari jati diri, termakan dogma puitis seorang penyair, yang sekaligus berperan menjadi seorang pemikir, seorang bijak yang melawan kebijakan-kebijakan yang terangkum dalam sebuah perjalanan orang lain, adalah sesuatu yang kosong—tak bernilai—hanya membangkitkan jiwa, dalam sebuah rasa takut yang membuat bulu kunduk berdiri tegak, dan rasa merinding dari rasa dingin, seperti rasa senang dari tertawa yang dipaksakan, atas dasar ketidak-tahuan untuk menjadi seorang yang berpengetahuan, adalah sesuatu yang selayaknya hanya sebuah kata-kata mutiara yang membuat jiwa bergejolak untuk membuka sebuah tirai-tirai tak bernilai untuk menjadi bernilai, adalah sesuatu yang dirancang dan diciptakan sebagai sesuatu yang tidak percuma.

Do’a dan hanya do’a yang dijadikan untuk mengantar manusia yang sedang berusaha membuat harapan menjadi nyata, adalah manusia yang berumur tujuh belas tahun keataslah yang lebih mengerti, bahwa senyuman adalah uang, dan hanya uanglah yang dapat membuat manusia menjadi tersenyum, dan sebaliknyalah saat memikirkannya dan kehilangannya. Sangat jauh berbeda dengan cinta dan kasih sayang, seindah apapun itu cinta tetaplah sebuah rasa pahit dan sejauh apapun pengalaman itu, tetap saja merupakan rasa akan mengenal rasa sakit. Dan Tuhan.... ya Tuhan—Do’a.... ya Do’a—Cinta.... ya Cinta—Dunia dan Surga.

Dididik menjadi bodoh, dan kebodohan pun menggema disetiap sudut jalan, dijalanan hanya ada mata uang, sebuah kurs bendera-bendera.

Terasa melelahkan dan menyedihkan, dalam pundak ku terasa sangat panas dan mata ku terlihat merah, dalam kesan perih dan aku pun terjatuh karena sebuah kerikil di perjalanan yang sebenarnya hanyalah canda gurou. Ahh.......... para penonton.... aku bukanlah seorang pelawak. Kalau pun iya...... pasti kalian akan merasa bosan....... karena kalian tahu semuanya terasa monoton........ ahh.... bom atom.... dalam diri ini, meledaklah!

Para penyelidik yang terdidik untuk berpendidikan, kalian janganlah terjebak didalam didikan yang didirikan dan telah ada itu, telaahlah sebelum kalian ditelan oleh mentahnya daging, dan cat yang berwarna merah itu, sebenarnya semua itu adalah hasil dari rekayasa. Apa yang aku katakan sebenarnya telah ada dari dulu, namun kalian malas dan sama sekali tidak percaya padaku, akan senyuman ku yang menjijikan, akan rasa bertahan yang galau, sebuah kegelisahan pada kehidupan, udara hanya sebuah unsur yang ingin aku hilangkan, sehingga nyawa ku akan melayang, sebuah perpisahan antara yang abadi dan yang akan mati. Adalah aku yang akan hilang, selamanya adalah rasa kekesalan dari apa yang kalian namakan ‘kekalahan’, ‘dosa’ dan ‘neraka’.

Aku akan melebur menjadi hal yang baru, biarlah bau menjadi berlalu, dan berlalulah semuanya, meskipun manusia-manusia itu akan marah oleh rasa sopan santun yang aku hilangkan, dalam matanya aku terlihat terbang, seakan-akan norma-norma yang ada itu kini telah abnormal, dan menyesaknya melewati setiap hal yang aku anggap sebagai ketidak-benaran, adalah aku yang berbeda dengan mereka, dan antara aku dan mereka saling memberi nama atas, ‘sesat’ dan ‘aneh’. Menaklukan rasa takut dan malu, adalah sebuah kebanggaan yang penuh dengan kekesalan dan kesombongan yang kosong dan penuh penyesalan, merupakan arti dari ketidak-berartian dari sari-sari kesan dan gagasan, merupakan perbedaan antara merendahkan diri dan merendahkan hati, karena hati dan diri adalah sesuatu yang lain—Emm, sebagaimana yang pernah saya katakan, penyatuannya menjadi sama tanpa beda, saat makna mengerti dan toleransi ada. Adalah dualitas dari kuasalitas yang kualitatif namun pasif.

2
terdengar gemuruh
orang menjauh
dan aku jatuh
aku berteriak tanpa dendam, sebuah rasa gundah yang penuh dengan gumam, akan do’a-do’a
adalah lamunan........... dan aku tak ingin semuanya menjadi hanya lamunan saja

lamunan ku terpetakan
dalam skalanya........... aku mati
tak dapat dipastikan namun dapat dimatikan

adalah jasadku yang tak abadi
namun lihat, jiwaku berputar, dalam lingkaran-lingkaran................. mempesona
tarian yang menyentuh hati, seakan orang-orang hanya bisa mengamati

tarian kematian dan pandangan kehidupan
suara-suara berdendang, penuh kekosongan, dan hampa adalah sesuatu yang nyata
dan jauh dari sana....................... aku jatuh............ terjatuh............... saling berjatuhan......... aku jatuh

3
YANG tersisa adalah rasa pamrih, buah dari timbal-balik, lihatlah!........ aku terkapar dan menyedihkan, dan mereka berkata, “buat apa aku menangis dan buat apa aku ikut terkapar”, ya rumah tangga adalah sebuah perusahaan, sejawat dari produk yang dikomsumsi sebagai suatu komoditi tradisi dan kebudayaan, dan menjauh dari toleransi, sehingga lahirlah sebuah prinsip yang diadopsi sebagai bagian dari kebudayaan yang abadi dan kebutuhan yang sejati.

Dengan wajah pucat dan mata merah, aku memelas sebuah kasih yang pedih, meronta-ronta kesedihan, adalah airmata yang sesungguhnya aku dapatkan dari sebuah prinsip dari apa yang mereka katakan sebagai ‘hidup bersama; suami-istri’. Aku tak mengerti, aku hanya melihat mereka sebagai bagian dari kebosanan dan ketakutan untuk menjadi mahluk yang rendah, mahluk yang miskin, mahluk yang sengsara dan juga mahluk yang dilihat dari bagian luar saja—mempesona dan menebar pesona—angkuh—apa daya aku hanya bisa berkata, untuk menyadarkan mereka, namun badanku menyandar pada sebuah kursi santai, selayaknya kata adalah sebuah senjata saat badan ku sakit, kursi yang aku bayangkan saat kematian datang kepada ku (simfoni kematian ku), yaitu aku mati saat duduk dikursi tersebut, dan aku tertidur untuk selamanya, dan mimpi yang aku dapatkan adalah sedetik, sedetik yang sama dengan satu juta tahun dikehidupan yang lain. Namun mereka berkata dengan sumpah serapah yang menyebalkan, “omong kosong!”, dan mereka berkata dengan agumen yang pasif dan malas, “anda bekerja, maka anda akan mendapatkan hasil; selayaknya saya yang akan memberi anda upah”. Jadi beginilah keadaan saat ini, namun otak ku berjalan merambat pada akar-akar prinsip dan dogma kepribadian yang individual, “akankah selamanya begini?, mana toleransi dan mengerti?!, matikah!, haruskah!, kalian menyebutnya dengan hidup dengan ketenangan adalah hidup tanpa tuntutan, namun kalian juga belum sadar bahwa, dunia tak akan pernah tenang, dunia selalu menuntut perubahan, dan dunia adalah sebuah hasrat keinginan, atas sebuah kehendak, namun dengan sendirinya, jiwa kalian dan pemikiran kalian yang kalian anggap sebagai pendewasaaan, kalian mematikan toleransi!!”

Matikanlah idealisme, dengan demikian maka mainkanlah suara-suara jiwa dalam badan yang beraura, dan gerakanlah tarian kehidupan, sepanjang kehidupan yang ada, agar malam terasa panjang.



~Simfoni Kematian~
1
RASANYA terlalu lama manusia memikirkan sesuatu, bertindak dalam putaran dunia, sebuah lingkaran setan—labirin yang tak bisa dipercaya. Lalu mengapa cinta begitu menggema, layaknya do’a yang terus dipuja? Apa mungkin karena jauh dari suatu nalar manusia, dalam sebuah sebab-akibat; kuasalitas, sehingga berdo’a adalah hal yang jauh berbeda dengan berusaha, namun berdo’a adalah sebuah ilusi (yang mencengkram dan menyeramkan, tapi sekaligus menyenangkan dan menenangkan), tapi tidak lepas dari sebuah imaji dari berusaha, namun layaknya sebuah dogma atas dogma, ‘manusia tidak dapat berdaya upaya’, dalam hal apa ini semua ada dan diterapkan? Sebuah kelogisan dan rasio manusia mengejar dari apa yang alam bawah sadarnya angan angankan—sebuah jiwa yang bersatu—jadi seakan-akan dunia nyata adalah hal yang sama dengan apa yang manusia bayangakan, jadi apa mungkin, yang dinamakan dengan do’a adalah sebuah wahyu dari kenyataan yang akan diusahakan? Ah......... apa peduli ku, namun dogma lagi-lagi ada, ‘manusia tidak tahu apa-apa dan tidak biasa apa-apa’, sekali lagi, dalam hal peran apa dan kenapa? Kini manusia dalam sebuah persimpangan, yang terkadang pada awalnya dikatakan sesat, atau hanya pada akhirnya dikatakan tersesat, adalah sebuah makna relatif dari sebuah presfektif dari apa yang manusia kebanyakan katakan sebagai, ‘bosan, lain dan aneh’... Mungkin tak dapat dimengerti, kering dan tak dapat dipercaya... Namun alangkah indahnya, bila memang benar demokrasi itu ada, dalam arti yang luas, bahwa demokrasi adalah sebuah jalan menuju kesatuan, untuk menyamakan yang berbeda-beda, karena pada awalnya manusia sama, dan pada akhirnya harus sama pula. Apakah sebuah paksaan?Aku tak peduli jika aku dikatakan sebagai manusia yang arogan, namun kebenaran tetaplah kebenaran, bukan menurut kuantitas manusia namun sebagai kualitas manusia. Adalah keengganan menuju neraka, dan kebosanan melakukan sesuatu yang sama, secara kontinu, dan diharuskan. Apakah sebuah pengadaan yang mengada-ada? Kini dosa dan amal patut untuk dilakukan, bukan secara bersaman, namun pada titik kesamaan—dilakukan untuk dapat mengetahui dan merasakan, setelah itu semua maka nilai dari pencitraan dan daya nalar dapat membedakan—pada sebuah sisi yang sama namun terpisahkan, secara menyeluruh, namun tetap diwajibkan untuk bermain aman dan tak terjebak. Karena tiap hari manusia akan mendapatkan masalah, dengan masalah-masalah yang berbeda—hidup memang memuakan, namun jika tidak memuaknan bukanlah hidup—jika hidup adalah benar, dan setiap hari dalam kehidupan selalu saja bermakna kebenaran dan berfaktakan benar, apakah manusia tidak bosan, maka ilusi yang nyata untuk alam bawah sadar, dalam ketidak-sadaran, pada alam maya, semu dan nyata, bahwa manusia tidak pernah akan bosan untuk bermimpi, berhalusinasi, berfantasi, pada sebuah do’a dan cinta—sebuah dualitas dari absurditas pada makna hakiki, yang sebenarnya secara terang-terangan dan gamblang, dapat dipecahkan.

Katakan pada semua orang, bahwa sebuah ironi akan menjadi sebuah misteri, yang terdoktrinasi, dan terletakan dalam sebuah prahara, namun katakan juga pada semua yang bukan orang, yang hanya orang-orangan, bahwa sebuah hiperbola dalam metafora, adalah sebuah kuasa dari maha karya, sebuah sebab-akibat dari maha cipta, dan perasaan adalah sumber nyata untuk mati. Kematian yang diawalkan.

Maka cinta adalah dunia, kasih sayang bukanlah dunia.
Do’a adalah kata, bagi sebuah senjata, pada jiwa, tanpa dusta, yang dapat mengakibatkan dosa.
Makna hilang............... pada sebab-akibat, seakan-akan benar dan salah.
Menyetak aksara pada sebuah kitab-kitab, pada nilai dan penilaian, sebuah pemikiran yang dalam, sangatlah dalam.

Akan pengertian, percayalah............... Tuhan sebenarnya ada, dan sebenarnya yang benar-benar ada, yang abadi, hanyalah Tuhan.
Pada sebuah rasa tanpa terlengkapi, tersempurnakan, tak membebani dan terbebani untuk merasa sendiri dan menyepi.

Adalah Ia, yang hidup dan terus hidup, di sebuah kehidupan yang benar-benar hidup........... adalah Tuhan.

Otak ku bertanya, seiring dengan pemikiran ku yang meraba:
siapa, dimana, kenapa, kapan, apa, dan mana.
Hatiku menjawab, seiring dengan mengalirnya perasaan yang menerawang:
Tuhan, dikerajaan, entahlah, entahlah, entahlah dan entahlah

Diriku berkata: aku harus yakin, percaya dan mengerti...........................

2
SALAH satu bentuk yang ditoleri, selayaknya membutuhkan sebuah pelindungan, keselamatan dan sebuah obat mujarab, dari siapa saja. Kematian ku adalah sesuatu yang aku mimpi-mimpikan, dalam sebuah argumen yang pasif, yang diadopsi dari sebuah sinergi yang penuh dengan harmoni, adalah sebuah simfoni. Dan masih mungkin semuanya dapat terjadi, untuk aku lakukan, dalam sebuah penyegeraan diri, sebuah rasa wajib pada batas universal akan rasa mematikan—bunuh diri—pada detik sebuah mengingat adalah sebuah peringatan, akan sebuah refleksi yang penuh dengan aklamasi yang beradab, pada sebuah rasa hina menjadi topeng, kebusukan yang berbuat atas rasa imitasi, adalah sebuah aksioma yang aktif, sekalipun oleh padanya tercampur sebuah kemahaan, merupakan bagian dari apa yang oleh padanya disepadankan, untuk diselamatkan, dari sebuah kesetaraan demi sebuah kebebasan (kesadaran tanpa kelupaan), berarti sama dengan membunuh sebuah pencitraan dari jati diri yang sebelumnya; sebuah totalitas pada konsistensi. Jadi apa yang menyebabkan semuanya bukanlah sebuah pesimistik ataupun opstimistik, namun lebih dari pada sebelumnya, yaitu observasi dari ketak-berhinggaan, akan obyek dan subyek. Sebuah rasa yang bercampur dengan ilusi—predikat—yang oleh padanya ilusi akan berperang  sekaligus  berdamai, saling berdampingan, bertergantungan, adalah mata rantai, dan dunia yang saya katakan adalah alam baka yang penuh fenomena—terbuka namun tak bisa dipandang sebelah mata—yang didalamnya dan diluarnya saling bertumpukan dan menindih, meruah dan meruak, meronta-ronta, adalah rasa yang dilawan dan dikawani, merupakan lingkaran setan yang didalamnya ada hawa nafsu, dan udara yang menyejukan, adalah para manusia yang beradab sekaligus biadab, yang menciptakan hukum namun sekaligus melanggarnya. Ya, manusia berteori adalah sebuah sosok yang sangat tragis, dari pembuangan ataupun hukuman mati, aku yang sesat segera menyegerakan diri, dibawa angin dan sebaliknya, adalah aku yang merendah, aku yang melawan kodrat, pada sebuah argumen dangkal dan dogma kering, akan religius, norma dan moral, adalah aku yang mengasingkan, menyepi dan menyendiri, pada sebuah cahaya lilin, aku membakar tubuhku, pada langit yang bercahaya, yang didalamnya sebuah siklus tata surya mengintari dan berputar pada porosnya, sesuai dengan posisinya—aku adalah yang lain dan berlainan, namun tak berkelainan—aku pergi meninggalkan bumi sebagai manusia sublim, yang coba mencari penjelasan akan mitos dan mistik, adalah aku yang mencari perbedaaan akan nasib dan takdir, mencari perasaan akan kesamaan antara laki-laki dan perempuan agar dapat disetarakan, tercipta kebenaran dan keadilan dari kejujuran pada tingkat keberanian, yang menyetarakan antara kebaikan, kebagusan, kebetulan dan keberuntungan—adalah sebuah keselarasan pada apa yang aku sebut sebagai pencerahan jiwa; evolusi nilai, proklamasi bumi, revolusi sosial, reformasi diri, dan kalbu yang biru; adalah tingkatan yang sama antara agama dan ilmu, dengan diimbangi pengetahuan; selayaknya seni dengan musik. Adalah aku yang berdiri diantara langit yang biru, tanah yang hitam, air yang bening, udara yang transparan, matahari yang merah merona, bulan dan bintang yang terang, dan aku berjalan dikeliling oleh warna-warni dari bias-bias garis berwarna hijau—damai menuju kehidupan lain—adalah musik yang mengitari langkah kaki, dan aku menuju sorak-sorai ramai dijalanan, adalah roh dari setan yang aku ajak bicara.

Yang dibawa dan dibahas tetaplah sama, antara kebijaksanaan dan pederitaan, untuk penderitaan; selayaknya dengan airmata dan airmata, demi airmata. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang indah dan yang cantik, adalah sesuatu yang baik, yang, dan benar-benar diketahui. Begitulah kurang lebih, bahwa cantik adalah relatif namun jelek adalah mutlak, tapi tetap saja semuanya adalah rasa sakit, selayaknya tak bisa membedakan antara naluriah untuk membedakan mana kelemahan dan mana kelebihan, sebuah rasa asali yang tanpa asal usul, mengatakan bahwa meskipun perempun melangkah dengan 1000 langkah kakinya, aku seorang laki-laki hanya perlu satu loncatan untuk menyamakannya. Adalah aku yang menangisi diujung kebahagian. Dan kalian para hedonisme....... tertawalah, sekuatnya dan sepuasnya, karena aku yakin tertawa mu tak mungkin untuk selamanya. Selayaknya aku yang sedemikian percaya akan kehidupan yang abadi namun bukan percaya pada badani yang abadi tapi jiwa yang abadi—perulangan yang sejati.


~Panorama Ketidak-mampuan~
MANUSIA mencari kebenaran untuk mendapatkan kemerdekaan, bukannya untuk menjadi kaya, namun sayang kebebasan adalah langkah yang dihadang oleh para kaum hartawan, yang ada adalah sebuah kebijaksaan dari para penasehatnya, jadi lingkungan yang sekarang ada adalah bahwa agamis menjadi topeng-topeng yang dijadikan sebagai pelindung dari ketidak-mampuan meninggalkan keinginan dan harapan, seakan-akan kenangan yang ada akan menjadi titik balik dari pemusnahan masal, sedemikian rupa juga pada aksara, yang mana kebijakan menjadi hal yang kontroversi, dan dikatakan sebagai bangsa yang maju, lalu bahasa pun secara berkesinambungan menjadi lenyap setiap tahunnya, oleh kata-kata yang dilontarkan para penguasa yaitu kesatuan dan kesamaan, sehingga terstandarlisasi, yang pada akhirnya menciptakan kebudayaan baru, yang mana kebudayaan tersebut membuat bahasa yang lain tinggal akasara dan secara tidak langsung kebudayaannya pun lenyap.

Yang terjadi sekarang ini, adalah sebuah polemik yang tak dapat disederhanakan, yang ada adalah sebuah tatapan yang samar, yaitu sebuah kehendak, kehendak untuk berkuasa, yang mana akan memakan lawan ataupun kawan, karena yang diagungkan disini adalah keinginan, obsesi yang ambius, yang membius segala hal yang ada didepan mata, bahwa kemiskinan kini telah bergeser arahnya, dari satu sisi yang modern yaitu keprimitifan. Lalu mereka takut mati, namun ada hal yang sangat mereka takutkan, yaitu kemiskinan yang telah mereka buat sendiri, adalah hal yang logis dari sebuah makna empirisme subjektifitas, adalah neraka dari segala neraka, dan dunia pun menjadi sempit, sehingga yang diperluaskan adalah alam baru, yang dijadikannya sebagai pariwisata alam semesta.

Manusia yang ketakutan ini, mencari rehabilitasi pada sebuah rasa merdeka dari apa yang didapat disekeliling, yaitu kasih sayang.

Roda kehidupan pun berputar, diantaranya sebuah kerancuan, selayaknya jarak yang jauh antara timur dan barat—mungkin benar, jika perubahan itu datang, maka kehancuran sebentar lagi juga akan datang—silabus dualitas yang solid dari apa yang dinamakan dari, dengan ‘kiamat’.

Namun kenapa juga aku harus percaya, aku adalah sang antikodrat, sebuah pejuang perubahan, juri proses kehidupan, dan juru ilusi; unsur dunia ini saling berhimpitan. Jadi kehidupan adalah salah satu langkah menuju kematian. Siapa diantara kita yang takut mati?! Aku menyesal....... dan malu............ aku tidak merasa bangga sedikit pun sebagai manusia yang mulia, lengkap dan sempurna ini, karena tetap saja aku berada ditanah yang hitam, yang aku pijak........ aku takut untuk hidup!....... karena tidak ada kata selamanya bagi kehidupan dunia.... namun ilusi kita menyajikan sebuah reinkarnasi dalam kehidupan, seakan yang berputar didalamnya adalah keadaan diri, seutuhnya, namun tetap saja yang ada adalah hampa dan kosong. Maka sesungguhnya kita dihadapkan pada sebuah dogma yang berwarna tebal dan kental, yang pada mulanya ditelan mentah-mentah sebagai daging, darah, airmata, airmani dan airseni; kehidupan dunia diadakan untuk kehidupan selanjutnya, yang mana kehidupan didunia ini hanya sementara dan penentu untuk kehidupan selanjutnya, karena dikehidupan selanjutnya keadaannya akan lain, yaitu kehidupan selamanya.......... aku sang antikodrat akan menentang!... Bukan sebuah aliansi untuk meniadakan, namun ini bukanlah hukum kausalitas ataupun kuasalitas, namun makna absurd yang sesungguhnya dari perulang abadi, sebuah dualitas, ketidak-sadaran murni, kebijakan melawan dogma, pemikiran ilmiah yang logis dan empiris, nihilisme dari mitos dan mistik.......... aku sang tuhan bagi diri sendiri. Aku ingin berkata kepada Tuhan yang sesungguhnya..... pada kekuatan cinta dan pada kekuatan do’a.... Selamatkanlah.

Selanjutnya yang jadi tahapan dari sebuah perubahan adalah perkembangan ilusi-ilusi yang acak-acakan, yang pada akhirnya hanya menyebarkan rasa ketidak-mampuan menjawab dan bertanya. Tahun demi tahun hanya menyediakan penderitaan, yang disimpan lewat ingatan demi kenangan, seharusnya manusia menyadari bahwa setiap kali manusia melewati sungai, ia tidak menyentuh aliran air yang sama. Adalah sebuah esensi yang dari segi dinamis, seiring harmonisasi yang tersudutkan yang penuh dengan cita rasa-cita rasa yang membangkitkan, sebagian dari inderawi kita mati seutuhnya oleh hal yang rasional. Jadi apa yang disebut dengan pengawangan, membaca masa depan, tidaklah sama dengan apa yang seperti gambaran yang kita harapkan, seperti manusia yang menjalani, yang dengan begitu dia dapat merasakan, selebihnya ia akan menjadi lebih tahu, ya, janganlah menjadi manusia yang penakut, jiwa yang pengecut dan raga yang memimpikan ilusi-ilusi yang terhimpit oleh keinginan yang sempurna, lengkap dan mulia, adalah hal yang lain dan berbeda dengan cara berjalan melewati waktu dan menjalaninya. Ingatlah, bahwasanya manusia terbagi atas tiga ruang dan waktu, yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan, diharapkan dengan demikian manusia akan berpikir untuk mendalami masa sekarang, bukan menerawang masa depan dengan argumen tidak mau menghadapai kejadian-kejadian ataupun trauma di masa lalu, karena semuanya tidaklah sama, jadi apa yang kita tempati sekarang adalah masa sekarang, yang baru kita bicarakan adalah masa lalu, selanjutnya, apakah masa depan itu? Takdir atau nasib? Derita atau bahagia? Masa bodoh! Kesemuanya adalah sebuah jalan-jalan, sebuah luka dan derita, selanjutnya, adalah kehidupan sekarang. Ingatlah, perulangan abadi, dualitas, dan kehidupan untuk kematian dan kematian untuk kehidupan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarah, untuk apa? Apakah sejarah itu? Apakah akan ada perkembangan? Apakah bangsa dapat berubah?. Jadi manusia yang bijak adalah manusia yang tidak melupakan diri sendiri, untuk apa? Egois dan id? Mulia dan sempurna? Dalam rangka apa? Apakah ada hal yang konstan? Dinamis dan harmonis? Atau semuanya adalah hanya kekosongan dan kehampaan dalam ketidak-berisikannya kemampuan dalam rasa dan hasrat untuk mengejar keinginan! Yang ada adalah, kita mengejar penderitaan, menginginkan airmata dan mengharapan luka? Dari dunia, do’a, cinta dan Tuhan! Silahkan salahkan diri sendiri dan malu pada diri sendiri, bangga pada diri sendiri, buktikan pada diri sendiri, atas tindak dan ucap, sifat dan sikap, naluri dan nurani, yang asali dan alamiah, pada rasa ingin tahu dan merasakan, untuk menjadi bijak dan mulia atas rasa sadar untuk mengingat, akan hasrat tak lupa untuk sabar, adalah mengetahui apa-apa yang belum diketahui, maka buktikanlah! Kebudayaan adalah nilai-nilai manusia dahulu, sebuah fragmen yang orisionil, yang mengatas-namakan zamannya yang zaman sekarang, sekarang apakah manusia masih bernilai? Berharga? Atau manusia dalam masa transisi mencari nilai yang hakiki? Pada ujung-ujung pemikiran dan perasaan? Jadi apakah nilai itu tergantung dari sang penilai itu? Sekarang katakanlah, siapakah yang menilai dan dinilai itu? Karena kebudayaan lahir dari penilaian manusia. Ya Hukum dibuat selayaknya peluru yang dipicu, namun konsekuensi adalah sebuah totalitas pada kekonsistenan hukum itu sendiri, jadi apakah manusia akan menghukum diri sendiri?! Sekarang kita mencari kebenaran, maka kita harus tahu apakah kesalahan. Ini bukanlah saatnya mencari kebaikan dan kejelekan dalam sebuah moralitas dan estetika, namun kita dibuyarkan mitos yang kental akan keberuntungan dan kebagusan, seakan-akan semuanya menjadi nilai absurd bagi kebenaran dan kesalahan.

Manusia yang merdeka adalah manusia yang benar, manusia yang mulia adalah manusia yang bijak, manusia terluka sudah seharusnya ada karena hidup didunia, manusia yang hampa dan kosong adalah buah pikir dari kesadaran dan menjalani dunia, manusia yang sekarang ada adalah manusia yang mencari nilai-nilai, yang pada akhirnya akan berbenturan dengan hukum, norma, moral, dogma, mitos dan mistis. Selayaknya saya yang selalu ingin mandi berkali-kali dan menangis tak henti akibat dari pembicaraan saya dengan kaum agamis.



~ Manusia Awam~
*
Shintia adalah mahluk hidup yang baru mengenal kehidupan dan tempat untuk hidup, sedangkan Siva adalah mahluk hidup yang telah lama hidup, didalam kehidupannya ia telah banyak mengalami hal yang beraneka-ragam tak terhingga, sehingga ukuran kehidupan baginya adalah dirinya sendiri

Tiba pada saatnya ia bertanya pada dirinya,
“Apakah aku sendirian?,
tempat apakah ini?,
apakah aku satu-satunya mahluk hidup ditempat ini?”.

*
Lalu dengan daya nalarnya yang masih belum paham dan mengerti dengan arti dan jelas tentang dirinya, apalagi hidupnya; ia lalu bertanya sebagai manusia awam,
“Permisi, apakah disini ada orang?!”.

Lalu, ia berpikir, karena tanyanya, berbisik ia pada dirinya,
“Apakah permisi itu?,
darimana aku mengenal kata permisi ini?,
dan kepada siapa lagi aku bertanya?”

*
Tak lama ia membuat statment tentang apa yang ia pikirkan atas argument yang ia keluarkan dari lidahnya yang masih nganga tersebut, lalu ia dibingungkan atas dari pada, yang, oleh karena pertanyaan, dan diri sendiri,

“Mungkin aku adalah mahluk pertama, mungkin yang pertama itu adalah yang ke satu,
namun, aku masih belum yakin dengan apa yang aku yakini”

*
Ia pun berjalan untuk mencari yang benar dari apa yang ia lihat dan ia rasa, seperti mengenal sebuah rasa yang dicitrakan ataupun hasrat yang penuh dengan cipta akan citarasa, yang ia olah sedemikian rupa, atas dasar oleh-oleh dari kehidupan, dan masih sepatutnya ia menanyakan dan bertanya tentang apa itu cinta dan apa itu benci. Lalu, ia secara tidak langsung berfalsafah pada dirinya, untuk pertama kali,
“Karena hidup adalah rasa,
dan ada rasa karena hidup,
maka aku akan hidup dan akan merasa;
tanpa lebih dan kurang,
maka dari itu semua aku akan mencintai cinta,
membenci benci,
merindu rindu dan lain sebagainya,
karena apa yang akan aku olah adalah rasa ”

*
Tak lama ia berjalan, ia membawa wacana tentang ia dan yang ada dan tidak ada, dalam pikirnya ia bernalar, dalam ujaran langsung terhadap tempat yang ada, pada alam yang selalu ada disekitarnya, yang membuat ia terheran, karena seakan-akan ia berada dalam sebuah penderitaan yang teramat dalam, yang tak bisa lepas dari jalur kesedihan; namun ia pun berkaca, sepertinya ia harus mensyukuri yang ada, karena alam telah menyediakan apa-apa yang ia butuhkan.
Dan, seketika itu, ia berkata,
“Siapa kamu???!”,
dan ia menjadi merasa bersalah, karena ia tidak mengetahui kata dari ‘Kamu’ itu sendiri, namun ia terus saja berjalan pada ketetapan hatinya, lalu ia berujar,
“Siapapun kamu,
aku tak peduli;
apakah kamu yang menciptakan aku ataupun tidak,
yang aku butuhkan adalah pemberitahuan tentang aku,

dan dimana aku”.

Badannya yang tegak seolah-olah membungkuk karena rasa takutnya, yang ia ciptakan sendiri oleh karena panca indera (fenomena); rasa yang ia olah, seolah-olah telah melampaui batas-batas, wajahnya pun terlihat terpaku, kaki dan tangannya pun tak bisa bergerak, matanya pun kini terlihat kosong karena dirinya, telingannya pun kini jadi tuli, mulutnya pun hanya bisa untuk menghirup udara saja dan untuk beberapa menit ia tidak bangkit dari kesalahannya (meniadakan kesadaran, pemenuhan alam ketiga).

*
25 menit kemudian, waktu berlalu.
Angin bertiup, lembut terasa, menerpa wajahnya dan mengusik pada apa yang hati katakan, dalam ingatnya pada saat mengikuti kata hati, lalu seketika itu, hatinya berbisik, akan unsur-unsur yang penuh dengan esensi materi (naumena),
“Bangkitlah!!”
Ia pun tersentuh dan terdorong untuk dapat menengadah, lalu ia katakan pada dirinya, untuk janji pada dirinya, pada sumpah pada hatinya,
“Akan aku jaga baik-baik diri,
hati, panca indera, pemikiran, pemahaman, pandangan, kesan dan hidup”.

*
Pada saat itu, ia tidak sadar akan adanya perkataan tentang ruang dan waktu
Dan ia berteriak................... akan kekesalannya............ “Siva. Sivaaaaa, siiiiiva.............. Dimana engkau?!?! Siapa engkau”
Menangis......... kehendak ku adalah derita ku, inginku adalah airmata, harapan ku adalah mimpi buruk ku, maut pun aku dekati, dan hidupku adalah kematian bagi diriku.......... Menyesal..... Malu...... Menangis.....



~Mulut Ketidak-sadaran; Kasar~
HARUSKAH kita menyalahkan setan yang tidak terlihat oleh mata, sedangkan Tuhan mengatakan bahwa setan adalah musuh yang nyata, sekarang kita dihadapan pada apa yang dinamakan samar.
Siapakah oang kaya akan mengeluarkan uangnya yang tidak sedikit untuk melakukan revolusi? Siapakah yang akan membawa nama tuhan yang menyebabkan terjadinya evolusi? Atas nama kebebasan dan kemerdekaan rakyat mana lagi yang akan diatas-namakan untuk melakukan proklamasi? Dan siapa yang akan berani mengatakan dengan lantang dan gamblang kemuka umum untuk menggambarkan sikap pengecut dari rakyat yang tidak mau melakukan reformasi?. Jadi sebenarnya siapa yang harus dipersalahkan atas kebenaran yang telah diungkapkan, haruskah kita mencari setan yang tidak dapat dilihat oleh mata, haruskah hakim memutuskan hasil dari peradilannya yang belum tentu seadil-adilnya, jadi apalagi yang harus kita tanyakan. Kita harus mencari mereka dimana, kalau kita tak tahu siapa mereka, jadi katalah! Siapa sebenarnya mereka itu?

Disinilah aku merasakan kebebasan, ya sebuah merdeka, dari segala hal yang aku upayakan, disini tercipta kebebasan, dari rasa dipercaya, dipeduli, dimengerti, dipahami dan disayangi, tanpa ada rasa lari, sembunyi dan curigai. Semuanya tampak—bukan ilusi semata, selayaknya sebuah arti yang penuh dengan keberartian—dan penulisan ini adalah kemerdekaan. Tak terjebak dan menjebak, semuanya indah dan cantik, yang baik dan benar, yang aku sadari sepenuhnya dengan penuh kepiawaian. Sungguh indah dunia kata.. Untuknya aku bukukan, untuk aku jadikan kenangan biar aku tenang, tak usah diungkap dan disingkap, karena padanya, terkadang sesaat emosi gundah, galau dan kacau, tentang mati yang aku mimpi-mimpikan, AhH... Apalah artinya mati secara terhormat—mau terhormat atau pun tidak, manusia pada akhirnya akan mati dan kehormatan pun akan berakhir.

Sekarang lihatlah mereka, bukannya aku mau menghakimi dan menyalahkan mereka, namun aku hanya mau menyadarkan mereka bahwa mereka berada dalam ketidak-sadaran yang tak wajar, dalam alunan lagu yang mewakili gerakan dan nyanyian yang mengutamakan jeritan dan teriakan, mereka merasa diwakili oleh hasrat dan libido yang sebenarnya melumpuhkan pada rasa yang sesungguhnya mereka bawa—yang tersimpan rapat dalam dada—sebuah gejolak emosi, dan sambil melangkahkan kaki-kakinya, bayangannya pun kemana-mana dan dimana-mana, mereka bernyanyi tak sadarkan diri. Hey kalian semuanya! Seharusnya kalian sadar dengan apa yang kalian ucapkan dari nyanyian, yang kalian katakan mewakili jiwa kalian, sadarkah kalian dengan makna indah dan baik?!

Aku terperangah oleh bau yang mereka cium dan mereka mengatakannya sebagai wewangian. Tahukah kalian, bahwa alam bawah sadar kalian mengatakan pada diriku, lewat berbagai isyarat yang kalian gerakan, ilusi yang kalian katakan, dan berbagai misteri dari mimpi-mimpi yang kalian katakan sebagai keburukan dan keindahan, bahwa kalian tidak akan pernah percaya pada diriku.

Aku manusia yang rendah hati ini, mengatakan dan mencetuskan, akan dualisme yang kental, sang tuhan yang bernyawa satu, sebagai manusia yang tak bertuhan, manusia yang lelah dan bosan hidup—tak mampu lari dan sembunyi—tak bisa menghadapi dan menjalani—tak bisa bertahan dan menyerah, sang manusia antikodrat, sang diktaktor yang araogan dan totaliter, dan aku dikatakan dimana-mana melewati tajamnya pisau bermata, diberbagai gua-gua, gedung-gedung tinggi dan bangunan keagamaan sebagai orang yang melawan mitos, dogma, mistik, doktrin dan perintah. Meskipun aku manusia yang tak suka untuk dipanggil, namun untuk keberartian maka aku akan rela untuk dijajah dan menunggu—atas nama kesadaran dan kesabaran aku akan menunggu, meskipun menunggu adalah salah satu hal yang aku benci, namun yang aku tunggu adalah hal yang aku cintai, salah satu hal yang aku nantikan dalam setiap irama kesadaran ku, yaitu kesabaran dalam menanti datangnya kematian—yang aku mimpikan dan aku harapkan.



~Perempuan Mengenal Cinta~
LALU ibuku pun berkata dalam irama nyanyiannya dipagi hari, “Ada yang tak mampu aku buang”, sesaat sebelum itu semua aku membutuhkan lima buah unsur, kembalinya arwahku dari variasi dalam dan luar mimpi dan ilusi, tapi perempuan yang telah lalu mengirimkan pesan padaku, “Aku mimpi buruk lagi”, aku membutuhkan alkohol untuk menetralisir ilusi dan mimpi, tapi orang disekitarku menganggapku dengan standarlisasi penuh curiga dan tidak percaya bahwa aku membutuhkannya hanya untuk mabuk, yang aku butuhkan adalah nikotin untuk mempercepat laju aliran darah disyaraf-syaraf ku, yang aku butuhkan adalah cafein agar aku terjaga disaat aku memerlukan waktu untuk terjaga, dan aku memerlukan cinta, agar aku tidak dibunuh oleh cinta dan aku tidak membunuh cinta, karena aku tak mampu lari dan sembunyi dari kenyataan—cinta gila nan sederhana.

Oh paranoid, Oh frigiditas. Engkau layaknya bunga yang sedang mekar, diantaranya terdapat sekujur rasa bangga akan indah dan cantik, namun tersisipkan rasa kecewa dan ketakutan akan rasa penyesalan dimasa depan. Kalian mahluk paling pengecut yang aku dapatkan, dimataku, yang dapat aku lihat bahwa kau lari dari kenyataan sehingga kenyataan mengejar dari dalam dunia bawah sadarmu, dari mimpi dan ilusi yang kau takutkan, yang tak pernah kau bayangkan, yang engkau katakan sebagai buruk. Sehingga dari luar sana kau membutuhkan aku untuk dapat ‘keluar dan menjauh’.

Sadarkah engkau sebagai manusia, manusia sebagai ukuran dari segalanya, manusia sebagai penentu, manusia yang dapat dijadikan hitungan yang handal, bahwa kalian adalah penentu dari nilai-nilai, maka singkirkanlah perkara tentang dosa, dogma dan doktrin. Adalah aku manusia yang tak tahu tentang apapun. Bahwasanya baik-buruk adalah soal etika ataupun moralitas, benar-salah hanya berkisar tentang realitas yang penuh dengan logika yang logis, sedangkan mata hati dan nurani kita berbicara tentang keberuntungan yang disajikan oleh mitos dan mistik. Jadi manusia adalah penentu nilai-nilai tersebut, jangan menentukan nilai-nilai untuk orang kebanyakan kerena kau bukanlah Tuhan yang dapat membuat dan memberikan mimpi pada saat kau tak sadarkan diri, namun tentukanlah nilai untuk diri sendiri, dalam arti penilaian itu tidak melukai orang kebanyakan, demi kebijakan karena sewajarnya manusia adalah tercipta atas dasar rasa bangga dan menyesal, namun tak lebih dari itu kita harus menjadi manusia yang askeptis dan skeptis untuk keempirisan yang lebih lanjut menghilangkan aroganisme, sadistik, totaliter, dan egosime. Ingatlah... Manusia mempunyai batas kesabaran, maka sadarlah, hadapilah dan jalanilah.

Sebuah perlawanan dari perabadan kekecewaan, adalah luka-luka yang menyayat, hati kita dibalikkan pada satu buah titik hitam dilembaran kertas putih.

Maka janganlah kamu hidup, karena hidup mu akan tak tenang, selalu tak tenang dan selamanya tak akan pernah tenang. Jika kamu membunuh cinta? Kau tak akan pernah bisa. Jika cinta membunuhmu? Kau tak akan pernah merasa mati oleh karenanya. Karena pada awal kehidupan adalah cinta, begitulah adanya, dan matipun akan penuh dengan cinta pula, disini, dualitas harus kita matikan demi kepastian, yang padanya nilai absurd akan mati seketika, membutakan segala indera dan rasa, adalah ilusi yang sejati dan menjadi mimpi yang abadi, terlengkapi dan sempurna. Aku yakin, kalian, para perempuan, bisa!. Maka raihlah cinta.

Maka dusta... Lenyaplah kau! Dosa........ matilah kau!!!!!!

Hapuslah airmata
Dengan cinta


Cinta yang sesungguhnya, sederhana
Sedalam rasa tanya, kenapa dan mengapa
Bagai candu yang memabukan dan membuat ketagihan; ciuman pertama.

1 comment:

Anonymous said...

Hey there! I've been following your site for some time now and finally got
the courage to go ahead and give you a shout out from Austin Texas!
Just wanted to tell you keep up the fantastic work!