Wednesday, February 4, 2009

PENGANTAR SEBAGAI PENDAHULUAN TANPA HALUAN

i

Dan mereka dilahirkan, dari rahim seorang ibu, di dunia yang begitu samar, maya, dan semu (camar, gagak dan nazar); dalam kata yang seadanya, mulutnya mengucap penuh nganga akan rasa haus air susu ibunya, tangisan dan airmata1. Pedih dan kepedihan, linangan airmata membanjiri setiap waktu yang ada (terpacu suatu tujuan, mengacuhkan setiap tindakan, frekuensi setiap ucapan terhalang doktrin, mengutarakan setiap nyawa dalam harapan, harapan yang membuatnya hidup, yang bersifat alamiah, namun terhalang hukum alam untuk mendominasi badani; terenyahkan!) yang dilewati dan yang akan dilewati, menjadi sebuah tipu fantasi dan halusinasi akan sebuah fenomena yang membaur dengan suara dan gambar fatamorgana dalam otaknya, lalu secara visual adalah nyata dalam kepekaannya namun tertata dalam adat kepalsuan dan kebohongan, terbentuk dari suatu pusaran, yang di dalamnya ada sebuah karakter dari sebuah kewajiban2, karakter dari berbagai
macam karakteristik yang ada, tanpa ada kata klarisifikasi dan spesifik yang jelas, dan membentuk suatu putaran yang lainnya, yang mana akan terbentuk sebuah lingkaran setan, lingkaran tanpa sudut, lingkaran yang akan penuh kala hawa nafsunya pun penuh (ambisi dan obsesi tanpa pondasi) dan akan habis kala hawa nafsunya tiada, namun kapan? Karena hawa nafsu tidak akan pernah bisa terpuaskan (hanya peranglah yang ada, diutarakan untuk dijalani, perangi hawa nafsu diri sendiri! Adalah suatu awal dari mengenal diri sendiri, dengan begitu kita akan mengenal siapa pencipta diri ini: subyektivitas), karena jiwa telah menyudutkan pada satu sisi saja, tanpa henti menari dan bernyanyi, dalam pesta pora kegembiraan bercampur dengan duka cita3, ia adalah mahluk yang mengetahui hidup adalah kepedihan4, dalam teoritis yang kritis dan herarki yang hakiki menjadi resah akan luka dan gundah akan muka (tampar jiwa yang murung, tersenyum dengan caranya yang menjijikkan, menjanjikan perbuatan salah, buruk, jelek dan dosa dibuatnya menjadi campuran do’a-do’a yang diagungkan, disetarakannya agama dengan ilmu pengetahuan, namun dipisahkan, selayaknya kata emansipasi yang dangkal bagi kaum borjuis ataupun elite, dan Tuhan pun dipersalahkan), dan ia sedih karena diharuskan menginginkan kepedihan, namun ia lupa dan tak sadarkan diri bahwa hari telah pagi, dan kelicikkan di mulai kembali, hirup-pikuk orang sibukkan diri demi menyusun sebuah impian, yang di mana kebusukan demi kebusukan menjadi merajarela (tak tertampung dan tak bisa merangkum dari hasil tanpa kesimpulan dari pertemuan meja bundar; dan mereka berkata, “Kami diciptakan untuk perang dan kami mengadakannya untuk menang!.”), bagai harmoni yang penuh dinamika dalam dialetikanya yang mati terpengapkan udara-udara yang tanpa etika dan estetika, ataupun kode etik yang terkadang mematikan etos dan eros (dan seni pun mereka katakan sebagai sesuatu yang haram, dan transendensinya pun mereka anggap sebagai iblis belaka saja, lantas sampai kapan mereka akan mengurung dan membakar sebuah karya cipta itu?!, “Sadarlah kawan, ini bukan hanya sekedar hiburan.”, dan saya bukan kaum penggembira), statis dan di hias untuk di jual, adalah sebuah benda ataupun barang yang tanpa nyawa namun mempunyai jiwa; kosong dan hampa adalah pandangan yang nyata dari paras-paras yang menebarkan pesona demi sebuah pengakuan pada dirinya yang penuh ego dan narcis, selayak jiwa tanpa harga5, di paksa untuk berharap dan yang pasti untuk menangisi setiap perjalanan hidupnya; “Tangisi diri yang menyedihkan, karena bahagia yang ada adalah tangisan.”; ujar hatinya. Airmata dan air mata demi airmata6.

Tak luput dari sebuah tipu daya, segenap diri saya mengupayakan ilusi menjadi sebuah idea7, yang nanti akan dicerna oleh lubang-lubang menganga, yang di mana didalamnya terdapat kata bahagia, sehingga kesan yang yang dibawanya terangkum dalam sebuah gagasan, namun sayang ia sendiri tak tahu apa arti, makna dan fakta dari sebuah kata bahagia itu sendiri, jangankan bahagia itu sendiri, kesan dan gagasan yang dibawanya sendiri ia tak mengerti, ia mencoba pahami namun yang ia dapatkan adalah kata bahagia yang sangat kecil, seperti selektif dan posesif, namun bahagianya hanya untuk diri sendiri, dan ia lupa kata bahagia yang universal, yang artinya hanya relatif, dan ia berkata dengan gagah selayaknya para jendral besar di medan perang, ataupun semacam Naponeon, Adolf Hitler, dan sebagainya; menjadi sebuah anti, dari yang ada untuk tiada, untuk tidak diakui, bahwa sebenarnya ia lebih mengakui sesuatu dan segalanya untuk diri sendiri (pengakuan dan pengukuhan diri dengan menatap cermin, seperti cerita-cerita yang dikarang untuk seorang perempuan, dalam dongeng yang penuh kekesalan8, yang menunggu seorang laki-laki tampan datang untuk menyelamatkan sekaratnya dari rasa sakit dan pahit, dengan penuh kelembutan serta gagah berani, yang setiap saat akan selalu melindunginya untuk selamanya sejak awal pertemuan, dari apa yang ia takutkan, dari bahagia dan derita, sampai umur tua, dengan rasa sehat ataupun sakit, ia berharap di belai seorang laki-laki, dan di satu sisi ada kejahatan yang sama, yaitu kemunafikan, kepalsuan dan kebohongan, yang dirahasiakannya untuk dibawa sampai ia mati, tentang kecantikan dan maknanya bagi dirinya, lebih dari sekedar arti dongeng belaka, namun ia tak sadar hidup ini lebih indah daripada dongeng-dongeng), namun dikala itu ada sesuatu yang harus dikorbankan dan bila perlu kambing hitam pun (inferior) diadakan, untuk mendominasi kehendak yang satu terhadap yang lainnya9, selayaknya kata yang pernah mereka katakan dalam sebuah mimbar bahwa mereka (mahluk hidup yang lainnya) diciptakan untuk direndahkan. Dan mereka bersumpah, tanpa harus membunuhi, bahwa mereka akan menghadapi rasa sakit ini penuh dengan keteguhan, tanpa ada rasa takut yang menghantui, sehingga mereka tak serapuh apa yang ada dalam bayangan emosi mereka yang sesungguhnya dan yang sebenarnya mereka hadapi, lalu mereka pun menjalani hari dengan selayak dan sewajarnya yang mereka bisa, perbaiki dan mereka jaga baik-baik keyakinan mereka, akan rasa sakit yang membuat hari dan jiwa mereka makin baik dalam menjalani hidup yang menuju mati.

Tertutup air pendewasaan, mereka dengan lantang berkata, “Berkah dan anugerah.”, mereka diberi nama atas dasar keperawakan mereka dan atas dasar dan tujuan yang akan mengarahkan pada mereka apa yang sebenarnya cita, cinta, cipta dan citra, yang sebenarnya murni dan sebaiknya sejati; didasari rasa hormat dari sebuah penghormatan yang menghargai10, terarah pada sebuah titik-titik dari dinding kehidupan yang dengan perulangan yang membosankan dan penuh dengan misteri dengan tanda tanya besar, namun seringkali mereka dihinggapi masa-masa kekecewaan yang didalamnya terdapat pernyataan atas dasar kehidupan, iya selayaknya doktrin, dogma, dan hukum yang diajukan menurut proposal yang adil namun semena-mena, sehingga mahluk hidup dituntun serta dituntut untuk sempurna, namun subyektivitas kita menjadi kecewa dan tak urung menjadi goyang dan goyah karena dasar kepuasan semata-mata, yang samar dalam kasat mata untuk menapaki setiap kata dan langkah, bahwa dalam hidup ini harus selalu ada dan harus menjadikan seseorang sebagai panutan, idola, pemimpin yang harus dijadikan sebagai pedoman, namun guna apa? Bukankah kita tidak sama antara satu dengan yang lainnya, namun saya yakin pada awalnya manusia adalah suatu kesatuan dan haruslah bersatu tanpa ada peperangan, namun ajaran tentang peperangan adalah disebabkan adanya persaingan dan perbedaan, yang harus dilaksanakan dan dilakukan secara dipaksakan dan terpaksa pada satu pihak oleh pihak yang lainnya, dan harus disanggupi secara sepihak karena terpecahkan layaknya lautan yang luas diantara pulau-pulau yang besar ataupun kecil (dan kesempatan damai hanya dimainkan oleh pengadilan dunia, atas hukum dunia, yang diatur oleh dunia, namun tetap saja negara adikuasa yang berperan penting, karena merekalah yang memainkan peranan dalam perang). Dari sebuah sisi yang dapat disudutkan pada sebuah hak yang tak dipertanyakan secara mendalam11, akan sebuah penjelasan akan kejelasan, dan yang mereka sebut sebagaimana biasanya, adalah sebuah obyek yang dipaksakan untuk menjadi sebuah nilai yang subyektif12, dari dasar apa yang telah diwariskan ataupun mungkin atas dasar rasa gembira, yang pada puncaknya adalah awan-awan yang terselimuti oleh cawan dari aliran anggur sang dewa yang mabuk kapayang13, dan kita hanyalah mahluk hidup, namun perlu dicatat, kita mempunyai sebuah probabilitas yang cukup rasional untuk menggapai apa yang terekam dalam angan; saya adalah seorang penerus keturunan, seorang anak manusia14, sebuah harapan masa depan, sesuatu yang niscaya akan berbuah indah (damai, penuh keselamatan dan tanpa pengrusakan).

Dan eksistensi kita membutuhkan hal yang pantas mendapatkan proposisi dan prioritas, yang mana didalamnya ada sebuah totalitas yang otonom, autoritas dan autentik, tanpa ada sebuah anatomi yang tak wajar, namun otoritas manusia haruslah tetap ditegakkan dan menuju arah jalan yang benar dan lurus; karena itu baik untuk dirimu! Yang membimbing pada keterarahan untuk sederhana dan mandiri (saya sendiri tak pernah punya pikiran untuk menjadi manusia kaya di dunia kalaupun ada itu hanya seperti asap rokok dengan daun ganja saja; dihisap untuk tertawa dan ditertawakan; dan hanya selintas saja), yang pada akhirnya mendidik kita untuk lebih baik (sebuah kelengkapan yang saling melengkapi), namun waktu ternyata hanya ukuran, waktu adalah kepemilikan Tuhan15, layaknya bumi yang sedang berputar pada porosnya ini, sebenarnya kita sebagai manusia hanya meminjam apa-apa yang disediakan karena kita tak tahu apa-apa dan tak bisa apa-apa, namun haruskah diri ini (jiwa) bergeser maknanya oleh kesempitan dalam kesempatan yang dari tak berhingga ke tak berhinggaan; secara terus-menerus namun untuk sementara waktu saja, dan kekekalan dan keabadian menjadi hal yang pantas dipertanyakan, pada apa perkembangannya hal ini mengarahkan kita pada apa yang biasa manusia sebut sebagai Tuhan, tidak sama seperti Nabi yang biasa manusia sebut sebagai Tuan, namun saat terjemahan Yunani sudah terlambat menyebarkan kata panggilan untuk seorang nabi dari Tuan menjadi Tuhan; adalah merupakan langkah awal kita, bahwa kita masih percaya bahwa Tuhan itu ada dan tidak mengada-ada, namun terkadang hasil dari sebuah totalitas adalah hal yang totalier namun tak optimal. Pada akhirnya manusia terhentak untuk berkehendak16 pada saat ada kata Maha yang lebih agung dari kata ter- yang bermakna paling, dan itu semua adalah awal di mana manusia mengejar Tuhan ke seluruh dunia, padahal sesungguhnya ukuran Tuhan itu ada di mana-mana jadi pusatnya pun tidak ada di mana-mana, lalu kenapa ada manusia menyerukan bahwa dirinya suci, sempurna, putih (pengharapan untuk mendapat pengakuan yang sia-sia) dan mereka beranggap bahwa mereka dapat menciptakan keajaiban, Oh tahukah kalian kapan kiamat akan terjadi? Karena bukankah kalian pernah berkata bahwa kalian adalah tuhan, sampai pada titik jemu yang mana argumen ilmiah kalian mengatakan, minumlah air suci dan lakukanlah pekerjaan yang mulia, layaknya setan sedang berkunjung di seluruh jiwa kalian dan jiwa kalian sepenuhnya telah dikuasai sehingga akal kalian mati, kelayakannya melebihi binatang; dengan gamblang dan gampang kalian berucap, “Sebelum kiamat datang, mari kita mati bersama-sama, karena kita akan diselamatkan.” Oh para pemuja mati konyol, hidup kalian sia-sia, rekomendasiku adalah pikirkanlah agar kalian beriman, dan berubahlah agar kalian bertakwa, serta sabar dan sadarlah!.

Segenap jiwa ku tertunduk, menatapi muka-muka dan luka-luka17; begitulah adanya, nyatanya tak kurang dan tak lebih, tak bisa dibagikan dan dikalikan, karena tampak konyol, tolol dan bodoh, dan bila masih saja ada yang buntu dari apa yang sedang melanda jiwa-jiwa mereka, gundah dan marah! Adalah sebuah amarah yang terlepaskan tanpa disadari, dan manakala ada sapaan maka jiwanya menjadi menikmati waktu, namun hanya untuk beberapa saat saja. Lalu hermaprodit bersarang pada jiwanya dan organ tubuhnya menjadi fungsi dualitas yang bertolak belakang dengan ajaran keyakinannya (sensorik kompleks), bahwa cinta semata-mata hanya untuk dimiliki, Oh kawan, lepaskanlah! Namun jiwa ini dan itu putus, dalam penghantaran sebuah hasrat untuk ber-ego dengan perkataannya yang membalikkan sebuah majas perumpamaan dengan kalimatnya yang super-ego, dan sebuah rancangan erotisme dan romantis bercampur dengan deru-deru dendam yang sangat membahayakan (melankoli ilahi tak bertepi, namun merasa terlengkapi; unsur kesempurnaan, dari asali nan esa). Untuk diketahui; karena dasar ilmu adalah keinginan untuk tahu18, dan ilmu pengetahuan mengantarkan manusia pada sebuah jalan kehidupan19, yang di mana di sana ada sebuah kecerdasan yang Maha Agung20, yang pantas untuk dipuja dan diagungkan untuk disembah, dan Dia adalah Tuhan; dari semua peristiwa cukuplah Ia menjadi pemelihara dan saksi. Ada sebuah perlawanan yang tak menghasilkan apa-apa, lalu masa demi masa yang dilewati jiwa yang gundah dan resah ini menjadi sumber kekecewaan, sehingga tak luput ia menjadi benci pada dirinya sendiri (pembentukkan jati diri), adalah di sini sebuah peranan penting kontrol sosial dari makna kasih sayang dan cinta yang sesungguhnya (harus disisipkan), yang membimbing pada ketepatan yang sangat dibutuhkan, dan itulah keajaiban yang sesungguhnya.

Dan kini kita menghadapi beberapa persepsi dan definisi yang bila dicampurkan dengan naluri dan nurani, tidaklah cukup untuk membuat suatu kesimpulan; yang ada hanyalah intuisi belaka, bahkan mungkin itulah sebabnya bila buku-buku tafsir terkadang hanya menambah kerumetan dan terkadang condong pada kengawuran dan kekacauan belaka, sehingga manusia pada dasarnya setelah dilahirkan, ia akan mempertanyakan hak dan kewajibannya, sehingga dijalani hidup yang sudah, belum dan akan tersusun dan disusun. Namun kini, kita dihinggapi pertanyaaan tentang dasar keimanan dan keagamaan, tentang keesaan dari Tuhan Sang Pencipta alam dan seluruh isinya ini, yang tak akan tercapai pada suatu titik adalah di mana kita tak bisa mengerti namun bisa meyakininya21, namun ini bukanlah sebuah masa adaptasi dari deflorasi seorang perempuan yang mengalami frigiditas dalam menghadapi malam pertamanya dengan segala hal yang saklar22, dengan tegang ia mengalami semacam penderitaan percintaan, yang dianggapnya sebagai pemerkosaan yang kasar, brutal dan sadis; yang mana hanya menguntungkan satu belah pihak saja, karena ia tidak mau diberi kata sebagai mahluk ciptaan tuhan yang sekunder, namun dia berkata, “Aku tak yakin cinta pertama adalah cinta yang indah, dan aku akan bersabar untuk menghadapinya, sehingga aku sadar bahwa aku ini adalah bukan mahluk yang diciptakan hanya untuk melengkapi kebejatan laki-laki.”. Lalu ia pun bertahan namun tetap mempertanyakan, tentang ereksi, ejakulasi dan lain sebagainya, yang di mana ia disuguhkan bahwa percintaannya tidak akan terpuaskan (adalah hasrat di mana arti kata indah dan bahagianya cinta, yang sebenarnya, saat dirasakan adalah kata-kata yang kosong dan hampa tanpa arti sedikit pun, namun ia menerimanya untuk dapat mengerti), sehingga ia sedikit frustasi tentang hal-hal yang bersangkutan dengan libidonya; sampai suatu saat ia sadar bahwa indahnya percintaan baginya adalah mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan dan mendidik anak dan lain sebagainya, yang bila telah diungkap bahwa itu semua adalah sebuah pekerjaan ataupun sebuah karier (waktu berlalu, jabatan dan gelar pun ia dapatkan; namun tanpa ia sadari), dan pernikahan adalah langkah awal di mana ia harus bekerja keras tanpa mempertanyakan haknya, sehingga ia sadar bahwa semuanya sudah merupakan rahasia umum bagi kaum laki-laki. Dan kini ia menempatkan kata mutiara yang ia bingkai di dinding rumahnya, “Rumah ku adalah surga ku.”, karena tanpa ia sadari bahwa diluar sana, diluar rumah, kaum laki-lakilah yang berkuasa, dan ranjang tempat tidur adalah sebuah cara berkompromi sekaligus menyelesaikan masalah dengan mereka. Dan visinya pun berubah menjadi mengabdi, tanpa banyak tanya, dan hey kalian kaum adam!, lihatlah dan rasakanlah perasaan mereka sebenarnya, agar kalian mengerti, untuk dapat mengerti siapa sebenarnya mereka, dan mereka itu bukanlah sosok yang asing bagi kalian, karena sepeninggalan kalian, kalian sempat berkata bahwa mereka adalah “sosok yang lain” dan “mahluk yang terlalu sopan”.

Beberapa musim aku lewati dan beberapa diantaranya mengandung tanya, yang tak jelas di mana dan akan mengarah pada apa, disegenap renung hati aku teguhkan untuk mempunyai tujuan, namun tetap saja aku tak berdaya, selalu saja hampa dan kosong; layaknya mencari ketenangan jiwa namun rasanya tak akan aku temukan dan aku dapatkan di dunia ini. Sementara tanda tanya ini semakin membesar, sebuah gelembung sabun dan buih-buih busa pecah terhempas angin, mengandaikannya bagaikan bara api dan debu23, namun dinyalakan diri untuk dapat membakar diri, agar dapat menjadi manusia baru setelah menjadi sebuah abu, namun di sini ada sebuah kata, “Apa mungkin dengan kematian?!” dan harmoni pun pecah dalam nada dan irama langkah24, kebusukkan dan kepalsuan menjadi sebuah alat, alat dari menghadapi dan menghindari diri dari topeng-topeng sehingga diri sendiri pun menjadi topeng, namun bukankah itu hanya sebuah peran sementara saja, peran yang di mana bukan menjalani proses tapi menghindari proses, layaknya peran yang dipaksakan, dan manusia tak butuh pengakuan agar kalian percaya dengan begitu saja. Dan kalian ada seperti gelembung sabun yang sewaktu-waktu dapat pecah, layaknya waktu yang merupakan pancaran dari sang surya, dan penilaian adalah dari selera hasrat bukan dari rasa jiwa, karena jiwa tidak dapat kalian percaya lagi, dengan sepenuhnya; rasa ingin hidup hanyalah sebuah selera dari hasrat manusia seadanya, jika diterapkan rasa berarti aku akan sangat kecewa, karena dapat aku andaikan, seperti makanan jika tak berselera maka tak ada rasa, namun jika berasa pasti nanti akan ada selera pula, dan selera adalah dasar dari penciptaan, selayaknya cipta yang diciptakan dari dalam jiwa, karena rasa hanya mengikuti dan dapat ada jika selera ada, bukan sebaliknya. Ironis bukan?! Namun pikirkanlah selagi kalian masih bisa berpikir. Naif bukan?! Namun bukankah rasa percaya yang kau sangkal merupakan salah satu unsur kenaifan juga. Bodoh, tertawa dan hina adalah makna yang sebenarnya sebuah penilaian sementara dan semata-mata hanya menuju ada titik ingin sempurna dan tenang25 saja.

Sempat aku berkaca26, segenap raga ku pun membutuhkan udara segar, udara panjang yang musti aku hirup, karena padanya ada sebuah alam semesta yang mereka katakan dengan serentak bahwa bumi ini indah, yang seakan-akan orang yang hidup didalamnya segan menghilang dari sebuah kebahagiaan dan mereka takut kehilangan ketenangan demi kenyamanan, yang dibuat untuknya, dan mereka bosan karena membuat-buatnya untuk langkah-langkah menuju kebahagiaan, ujung yang utopia belaka. Lalu ada yang mereka katakan sebagai sebuah perabadan, yang kini tinggallah sebuah kata yang penuh ketakutan, mengantarkan pada titik paranoia dan phobia, yang diantaranya terbungkus oleh warna dan rasa, yang sama-sama kaya dan setara, antara kepuasan dan kekecewaan 27. Menyedihkan bukan?!?!?!. Oh hidupku, dibangkitkan, seperti dihidupkan kembali oleh angin segar, dan hawa-hawa menusuk dingin, membawa segenap rasa dan warna yang ditimbulkan oleh hasrat dan selera dari apa yang aku sebut sebagai kehendak, pencahayaannya tak kunjung habis untuk siang dan malam, seperti pasang-surut ombak dilautan, dan hidup ku pun diadakan menuju kematian, sebuah kematian yang mengandung isyarat dari misi dan visi atas daripada kata hampa dan kosong yang sangat saklar.

Adalah sebuah signifikasi yang orisional dan sensial, yang mengandung makna oriental atas daripada apa yang pernah aku katakan, abnormal dan semi masokhisme ataupun determinasi seksual. Namun akal sehat orang kebanyakan telah terkontraminasi oleh sesuatu yang bersifaf permanen28, karenanya mereka menemukan dan menempuh jalan buntu, oleh proses yang tak hanya proses itu saja, seperti perulangan yang berhenti dengan begitu saja. Dan kita melangkah, menyendiri dari orang-orang kebanyakan, karena orang kebanyakan menganggap kita tidak sama, sehingga mereka tidak percaya sama sekali pada kita, padahal sebelumnya mereka meminta dengan menengadah bahwa manusia harus terbuka, namun setelah kita telanjang, kita masih saja tetap seperti sebelumnya (bukankah sebagai teman, kita harus berperang untuknya), dianggap sebuah imitasi dari hal yang sebelumnya, mereka ketakutan sehingga sering kali dalam kesendirian mereka berkata, “Mereka adalah penyakit, penyakit yang menular.” sedangkan kita berkata, “Oh aku, yang hina mensyukuri yang ada, Oh aku yang lucu, ditertawakan.” Dan oleh karenanya, karena kita tak dipercaya lagi, kita jadi sedih, takut, heran dan lain sebagainya, karena rasanya sudah lelah untuk dapat dipercayai oleh mereka (sebuah misteri), dan diri kita menjadi sebuah topeng yang berkata dengan lantang, “Aku tidak percaya apapun lagi!”. Sehingga ada kata yang samar dalam sebuah ungkapan “Dia berkehendak” atau “Aku berkehendak”. Dan aku bukan orang kebanyakan! Aku bukan kaum penggembira! Aku bukan bangsawan yang suka pesta! Aku bukan bangsa poya-poya! Dan aku bukan orang yang suka dipanggil!.

Jika ambigus ini adalah alternitas29 yang akan koheran, sepadan dengan kesinambungan dalam dinamika yang penuh dengan ritme, himne, dan harmoni dari sebuah seni, bahkan mungkin lebih dari sekedar itu semua30, dan kelak, aku akan bertanya, dengan bahasa yang sederhana 31, seperti kata cinta, mengapa aku ada?.

Selayaknya misteri kata-kata32 yang diadakan, Tuhan, bahasa-Mu adalah titik awal dari adanya aku, sebuah penciptaan yang masuk akal, namun masih dipertanyakan tentang kerasionalan sebuah kehendak, yang pada sebuah apriori, merupakan sebuah desakan hati yang penuh dengan sublimasi, yang mengarah pada pengingatan dan pelupaan33, dan aku yang berkata dengan kata “mengapa?”.

Sejak awal adalah tangisan34, jadi, apakah dualitas ini akan mati?35, ataukah aku akan menjadi-jadi?.

Sepertinya, tak akan habis suatu revolusi36, yang memaki-maki tentang hal busuk yang saling berhadapan, yang dipotong-potong untuk dipisahkan, dan materialis seharusnya sesuatu yang dihilangkan37, karena evolusi adalah sesuatu yang tetap direncanakan dan dirancang38, namun masih masuk akalkah itu semua?!.

Kini, apalah aku yang mengadukan untuk menduakan39, namun keagungan ini tetap aku puja, atas dasar diri yang meng-kritik diri40, sebuah krisis kepercayaan diri, atas kebenaran yang absolut dan tak semata-mata absurd41, jika memang benar bahwa mahluk hidup diciptakan atas daripada mahluk hidup yang lainnya, atas tujuan apa itu semua?.

Namun yang menjadi persoalan kini adalah bukan tentang, filsafat, seni, estetika, moralitas, alam semesta dan isinya, agama dan golongannya, ideologi dengan haluan dan partainya, ataupun paham-paham yang lainnya, namun yang lebih pokok adalah kenapa aku?; dalam sebuah metafora, hiperbola, ironi, sadistik, ataupun yang lainnya, namun alangkah bijaknya bila kita seadanya saja.

Kalau memang benar setelah mengingat adalah diingatkan42, seperti perhitungan satu ditambah satu sama dengan dua; dalam arti, apa yang kini harus dibagi?.

Dan aku pun pergi
Tidak mati, hanya lari dan sembunyi
Tak cukup menjadi sepi
Aku pun menyegerakan diri
Sepertinya semuanya adalah basa-basi
Namun tetap aku terkurung oleh diri dan bumi; tidak bebas



ii
hidup adalah sesuatu yang tanpa pengandaian, yang diperlukan ada sebuah jati diri dengan jalan-jalan yang menyendiri, di atas bukit ataupun pegunungan untuk melewatinya orang-orang (padahal secara sosial hati kita tidak mau meninggalkan orang-orang, namun ada sesuatu yang di mana saat orang-orang memikirkan dirinya sendiri, ia jadi merasa sendirian, dan orang-orang itu menjadikan dirinya sebagai ego), yang dengan demikian itulah membuat mereka menjadi benci pada diri kita, malah kalau kita melewati mereka dengan terbang maka mereka akan marah, dan hanya roh yang bergentayanganlah yang berandai-andai43, dan arwah ku melayang menuju alam bahasa, alam yang di mana membudaya kata, dengan tujuan yang hampir mendekati sebuah cipta dan citra, karena dengan begitulah jalur sebuah ilmu pengetahuan dapat ditemukan, sebuah alam pengandaian (alam yang memotong alam sadar, yang di mana dia dengan secara senonohnya memotong-motong sebuah jalan-jalan yang tidak masuk diakal, sehingga terlihat masuk diakal, dan terkesan untuk memberi kata bahagia pada setiap harapan yang ada); jika aku Yesus yang mereka percaya sebagai anak tuhan (Kristen=Trinitas), maka aku akan berkata kepada allah, sang bapa, “Bapa, kenapa Kau tidak memberi Aku seorang wanita untuk aku jadikan istri, apakah engkau takut ada kata keluarga Tuhan?44, padahal Engkau sendiri telah bercinta dengan mahluk ciptaan-mu yang menahan kehormatannya sebagai seorang perawan suci, dan kau menyetubuhi bunda maria lewat mimpi-mimpi sehingga lahirlah aku dengan mulut menganga dan kehausan air susu serta menghina karena lahir tanpa diri mu.”, dan saya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan sebagai manusia, lewat percintaan antara dua lawan jenis manusia, yang aku beri nama Ibu dan Bapak, dan saya tidak percaya akan adanya Keluarga Tuhan (yang ada dalam cerita nyata adalah Keluarga Nabi dan dalam cerita yang meraba-raba adalah Keluarga Dewa), karena Tuhan Esa, yang oleh karenanya aku beranggapan bahwa didunia ini ada sebuah kuasa atas dualitas, namun dibalik itu semua ada takdir dan nasib, yang mana memecah atas kata ‘kehendak’, yang oleh padanya ada kata ‘Kuasa Yang Esa’, maka penyelidikan ku akan kehidupan menjadi kosong dan hampa; karena kata ‘jika dan bagaimana jika’ dan ‘mungkin dan hanya mungkin’ menjadi lenyap dengan seketika, karena bagi-Nya ‘jadi, maka jadilah’. Dan kalaupun ada cerita semacam itu (Keluarga Tuhan), sungguh kasihan sekali nasib seorang anak tuhan yang dijadikan bualan-bualan sang ahli kitab, dan semua itu hanyalah andaikata. Adalah sebuah tragedi yang berjalan secara terlambat dan menghambat, karena semua dihadapkan lebih banyak dan jauh dari daya nalar namun lebih sedikit dari sebuah tindakan yang arif 45, selayaknya harapan akan bahagia yang didapatkannya adalah perwujudan airmata yang bernilai relatif (untuk saat ini adalah derita, namun untuk kedepannya mungkin bahagia, dan kata “belum waktunya” menjadi alasan yang masuk diakal), sehingga tawar-menawar pun diadakan dalam pengadaannya, yaitu ketenangan jiwa, namun apakah benar didunia ini ada yang namanya ketenangan?, itu sama saja mematikan dualitas jiwa itu sendiri; dan dewa-dewa dari Yunani menjadi gambaran sebuah perulangan yang pada akhirnya disembah dan dipuja sebagai Tuhan; tragedi, karena manusia meyakini adanya Tuhan, namun mereka tidak tahu karena daya nalarnya yang terbatas sehingga hinggaplah akal sehat yang terkutuk46, sebagai alat dari penghambaan berhala-berhala, dan mereka adalah para gembala dan gembalanya! (dan sampai sekarang, masih ada, yang mengtuhankan yang bukan tuhan47, karena berhala baru muncul seiring peradaban kekecewaan48 yang tumbuh atas hasrat badani, kehendak raga, selera jasad dan rasa yang putus-asa; namun yang lebih menyedihkan adalah kala ada manusia beranggapan bahwa dirinya adalah tuhan). Dan kini, ada sebuah krisis dan kritis dari diri, dari iman yang sebenarnya suci dan putih, iman yang terkandung dari sejarah Timur Tengah, atas bendera dan panji, seluruh dari mereka mengadakan perang untuk sebuah kesatuan49 (namun terkadang terselubung kehendak untuk berkuasa, karena negara bukanlah bangsa, yang mengadakan diri atas nama diri rakyat, padahal rakyat tidak tahu apa-apa, sehingga terkadang tahta yang mereka duduki adalah kotoran belaka50, dan mereka adalah sarang-sarang basah yang tak mau kalah, mereka adalah komplotan pencuri yang mengambil secara paksa harta benda rakyat yang mereka kelola, dan rakyat dipersalahkan karena telah memilih mereka, padahal sesungguhnya mereka hanya mengadakan diri saja; kita, saat ini telah cukup dewasa, kita tak butuh diatur dan mengatur, apalagi masih membutuhkan apa yang disebut sebagai negara!51), karena walau bagaimana pun perang sangatlah diperlukan, meskipun engkau membencinya atau pun menghindarinya52. Wahai kawan, ada kalimat penyejuk bagimu, untuk mu agama mu dan untuk ku agama ku53, namun jika agama kita satu maka kembalilah pada apa yang menjadi dasar, karena aku sendiri tak yakin akankah kita berada dineraka yang sama ataupun disurga yang sama, namun aku yakin agama apa pun sangat baik untuk dirimu, selama agama itu tidak membunuh jiwa mu!54. Dan kita bisa menghentikan perang, secara bersama-sama dengan menganggap perbedaan sebagai hal yang wajar, dan jika kita benar-benar menginginkan perang itu sendiri dihentikan.

Sehingga kita belajar untuk pembodohan55, pencucian otak semata, yang di mana ada buku-buku yang berisikan pendapat-pendapat, yang di mana pendapatnya menghasilkan pendapatan; namun ada indentifikasi yang jauh lebih jauh lagi, yaitu ketika dipaparkan sebuah hujanan dari jutaan kalimat tentang hari akhir (kiamat), namun kawan-kawan sekalian, bukankah bila semua benar maka kiamat, bila semuanya salah maka kiamat, bila dualitas itu mati maka kiamat56, jadi apa yang sebenarnya disebut dengan kiamat, tanda-tanda seperti apa yang sebenarnya sedang diajarkan pada kita, tanda ketakutan atau tanda kebodohan?! Katakan!; layaknya sebuah pemikiran yang sangat dangkal dan ortodok digunakan dan orang itu berkata, “Kemajuan teknologi adalah tanda-tanda dari kiamat.”, hey kawan! Jangankan kiamatnya, tanda-tandanya pun tak dapat kita hindari dan dapatkah diri kita menolak kemajuan? Karena konsekuensi dari perkembangan adalah perubahan, dan bertanya adalah awal dari derita dan jawaban adalah tetesan airmata, dunia.... Dunia oh dunia, untuk mu airmata dan airmata demi airmata. Lalu ada kisah tentang sang penerima hak yang sedikit menjadi dipersalahkan, dengan kewajibannya yang besar, dengan kepasrahannya yang sederhana, namun kekuatannya melebihi kesadarannya untuk mengetahui, sungguh mengetuk pintu hati ku sehingga berbunyi menggema dan meronta-ronta karena bertanya, ia adalah perempuan yang dipersalahkan, karena perempuanlah Adam diturunkan dari Taman Firdaus (bukankah karena Setan yang menggoda manusia, Setan yang menganggap bangsa manusia sebagai mahluk yang lebih rendah daripadanya, dan Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, sampai kapan pun dan di mana pun), dan katanya, karena perempuan juga, manusia akan diantarkannya menuju kiamat. Di mana akal sehat itu! Lalu perempuan mengiyakannya dengan begitu saja, mungkin karena persaingannya untuk mendapatkan sang pangeran yang maha tampan, yang akan melindungi dan membuatnya nyaman, sehingga ia dibelai setiap saat ia mau, sehinga ia merias diri hanya untuk di perkosa dan di jual57 (mudah masuk, susah keluar), dan ia kecewa karena merasa terlalu sedikit di sana dan terlalu banyak di sana (adalah kecantikan akan paras yang membuatnya sombong dan narcis untuk menebar pesona, terhadap lawan ataupun sesama jenis-nya) adalah perempuan itu sendiri, dan ia merahasiakannya, dan ia pun berkata, “Tapi dunia dapat diselamatkan melalui perempuan juga.”. Sungguh tidak masuk akal bukan?!. Padahal dalam mimbarnya kaum perempuan mengatakan dengan lantang, bahwa mereka menginginkan emansipasi (kesetaraan hak dan kewajiban); adalah sesuatu yang di mana masih kontroversi (standar ganda), apakah mereka harus melawan kodrat atau tidak? Namun sebagian besar dari mereka tidak setuju jika pimpinan dunia ini dikendalikan oleh kaum perempuan, karena mereka sadar betul bahwa kaum perempuan lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki (entah karena rutinitas menstruasi mereka, bentuk fisik, atau karena mereka tidak bisa kencing sambil berdiri58). Hey, ada apa dengan kalian?! Kalian mahluk yang serba salah dan bimbang dalam setiap keadaan dan setiap waktu. Sungguh menyedihkan memang, kalian seperti sebuah sosok yang lain59, sosok yang asing, padahal yang ada dalam otak ku adalah kesetaraan tanpa terpisahkan. Kini kita telah terlanjur tenggelam dalam tradisi60 bahwa kaum perempuan berperan untuk awal dan akhir didunia ini, namun dalam bayang-bayang mereka, mereka tidak tahu harus apa dan mereka pun pasrah (tanpa banyak tanya), karena di dalam kitab diterangkan bahwa jika manusia masuk surga maka akan mendapatkan bidadari yang cantik yang di mana dibawahnya akan mengalir air yang jernih dan tumbuhlah buah-buahan yang segar, dan minuman keras pun tidak memabukkan baginya; lalu di mana bagian para perempuan, menjadi lesbian kah?!61 atau yang dimaksud dengan bidadari adalah mahluk yang lain, hermaprodit. UhH.. kita semua (umat manusia : laki-laki dan perempuan) berperan atas proses kehidupan dan kita adalah seluruh dari semua yang tak terhingga, yang tak diketahui dan yang terlupakan, para mahluk hidup di alam semesta raya.

Saya pun kini menjadi mempertanyakan tentang awal dari semua awal62, di mana waktu itu Tuhan menciptakan ciptaan-Nya Adam, Malaikat dan Setan; dan Setan pun diusir dari Taman Firdaus karena tidak mau mengakui Adam sebagai mahluk yang paling tinggi dan mulia derajatnya diantara yang lainnya, dan Setan pun diusir oleh Tuhan dari Taman Firdaus, tapi entah diusir kemana?!, mungkin kemana lagi kalau bukan ke bumi (kini pertanyaanya adalah: apakah setelah atau sebelum Setan diusir, bumi diciptakan oleh Tuhan?63), dan setelah itu Setan bermukim di tempat itu. Kini kita dihinggapi otak yang bertanya secara serentak, apa setelah Setan diusir atau sebelum setan diusir seorang Hawa diciptakan oleh Tuhan dari tulang rusuk Adam?64 (kita anggap saja Hawa telah ada), karena ada yang menyebutkan bahwa Hawa adalah mahluk yang sempurna dari mahluk sebelumnya dan untuk melengkapi mahluk sebelumnya (apakah hanya sekedar pelengkap saja?65), dan ada juga yang menyebutkan bahwa hawa adalah mahluk sekunder (derajatnya kemulianya ditengah-tengah, diantara Adam dan Setan). Dan waktu itu hiduplah sepasang mahluk Tuhan yang biasa disebut sebagai manusia, mahluk yang sempurna dan mulia. Namun Setan masih bisa menggoda mahluk yang sempurna itu dengan menggodanya memakan buah terlarang (kini pertanyaanya adalah, untuk apa Tuhan menciptakan pohon terlarang itu?66, saya tahu bahwa tak ada ciptaan Tuhan yang tak berguna, tapi otak saya mengejarnya dan merabanya secara tidak masuk akal!, karena yang namanya Surga ataupun Taman Firdaus pasti di sana adalah tempat sebaik-baiknya tempat, jadi tak ada yang tak baik bagi penghuninya67), dan akhirnya sepasang manusia yang dikatakan sebagai mahluk yang sempurna dan mulia itu pun jatuh pada godaan Setan, dan mereka pun diusir dari Taman Firdaus (kini, masih saja aku bertanya, setelah atau sebelum manusia diusir bumi diciptakan Tuhan?68). Seandainya kita bersama-sama menyetujui bahwa Bumi diciptakan setelah atau sebelum Setan diusir dari taman Firdaus, maka sudah jelas bahwa Bumi adalah tempatnya Setan, dan kini setelah Setan menggoda Adam dan Hawa, maka barang tentu sepasang manusia itu tinggal diantara dan bersama dengan Setan-Setan (dan jelas karena tugas Setan adalah menggoda manusia sampai kiamat datang (waktu yang ditentukan Tuhan), dan juga karena manusia beranggapan bahwa Setan adalah seorang musuh). Dan bumi pun menjadi tempat transisi bagi kita semua (baik manusia ataupun Setan), bukankah demikian?! Namun alangkah tak masuk diakal bagi kita semua, coba pikirkanlah kata-kata berikut ini, “Seorang anak bertanggung jawab atas kesalahan bapaknya.”, maksud saya adalah bagaimana mungkin kita semua sebagai mahluk hidup, yang kita katakan sebagai mahluk keturunan Adam, masih berada di bumi ini dikarenakan kesalahan seorang Adam dan Hawa?! AhH, sudahlah saya melangkah terlalu jauh dalam pernyataan-pernyataan, namun kita sebagai manusia beragama haruslah yakin akan nabi-nabi-Nya69 kan? Nah sekarang, Adam dan Hawa berada di bumi, dalam keadaan itu mereka belajar dan bertaubat, atas kesalahannya (dan dikatakan dalam kitab bahwa Tuhan pun menerima taubat mereka), namun Tuhan punya kehendak lain yaitu memberikan mereka keturunan, ya Keluarga Nabi Adam (jika dualitas itu ada maka setan mempunyai keturunan), keluarga manusia yang pertama, keluarga yang di mana mengkisahkan segala macam tindakan-tindakan, atas dasar penilaian yang semata-mata mengandung baik–buruk, salah–benar, jelek–bagus dan dualitas yang lainnya (pilihan), dan kita dihadapkan pada sebuah kejadian besar lainnya yaitu ketika Tuhan memberikan mereka keturunan (adalah awal mula sebuah perulangan), dan di sana ada kisah yang teramat sangat menyedihkan, yaitu takala Kabil dan Habil sama-sama jatuh cinta pada Iqlima, dan pada akhirnya mereka berkelahi demi terwujudnya harapan dan impian mereka dan yang terbunuh adalah Habil, sedangkan Kabil dan Iqlima diusir dan mengasingkan diri dan mereka itulah kisah pertama yang meneteskan darah ditanah bumi ini (anak Adam sesamanya anak Adam) saling membunuh terhadap sesamanya demi seorang perempuan, demi cinta (mungkin itulah yang menyebabkan perempuan tidak boleh poligami namun bisa dipoligami, dan awal dari turunnya Adam dan Hawa dari taman Firdaus karena Hawa (Hawa yang terkena bujuk rayu Setan dan Hawa yang membujuk rayu Adam) dan lengkap sudah sekarang laki-laki saling membunuh karena perempuan, karena cinta, karena yang semata-mata hanya sebuah kebahagiaan yang samar-samar; dan perempuan adalah mahluk yang lain dari yang lain, yang menyeret kaum Adam pada sebuah perasaan tanpa pemikiran70). Dan saya tak butuh pembenaran, hanya butuh penjelasan!, sehingga ada akhir dari semua akhir71.

Dan kini kita terisolasi dari bentuk kemurniaan, kebajikan dan keberanian72; dan kejujuran kita menyatakan diri bahwa itu semua adalah sebuah hal yang sangat manusiawi atas daripada apa yang diderita dari airmata dan airmata (rasionalisme yang harus dinikmati dan disyukuri), namun kejujuran orang banyak akan memandang sebaliknya dari cara penilaiannya (cemar dan pencemar), karena penciptaan nilai itu tergantung dari hasrat dan selera73 tak seperti warna dan rasa yang selalu tak jauh beda bahkan sama, tapi hasrat dan selera ini jauh berbeda, mereka akan serta merta menyatakan diri bahwa kita yang terisolasi adalah mahluk yang hina dengan kelakuan yang jalang, yang hanya mengikuti naluri kegilaan. Bukankah kita seperangkat alat dari perencanaan dan perancangan yang cerdas yang diciptakan oleh Yang Maha Cerdas, dari apa yang mereka sebut sebagai mahluk yang mulia diantara yang lainnya terisolasi dari bentuk kemurniaan, kebajikan dan keberanian74, lantas kenapa ada anggapan bahwa manusia melaksanakan harinya hanya sekedarnya, seadanya dan seingatnya saja? Dan kenapa ada juga yang mengatakan bahwa manusia hanya hidup dengan sifatnya saja, bukan sikapnya?!. Bukankah itu semua aneh, jika gabungan sifat dari berbagai macam sifat kita namakan sebagai sebuah karakteristik75 dan semua manusia berkata bahwa “aku mempunyai sikap”, lalu beberapa orang menghinanya karena berdasarkan penilaiannya bahwa itu adalah kepalsuan belaka, dan ia tertawa oleh karenanya, karena merasa yakin dan benar oleh karena penilaiannya, bahwa manusia berjalan berdasar sifatnya76 (naluri dan nurani), dan jika manusia menghilangkan sifatnya maka dikatakan sebagai cemar dan kepalsuan (diasumsi oleh sebagian banyak orang, dan orang itu adalah orang kebanyakan), sedangkan kita diarahkan pada pembicaraan tentang kelemahan dan kelebihan, yang pada akhirnya akan mengutuk hari-hari dengan hawa yang sangat dingin sekali. Dan kita tak percaya lagi pada apapun dan tak dipercaya pada apapun lagi, karena secara langsung kita telah tidak dipercaya lagi oleh apapun dan akan apapun itu, karena mayoritas beranggapan dengan penilaiannya yang benar, secara garis benar kita salah, dan kita pun dibuatnya semakin merasa bersalah, padahal salah dan benar hanyalah relatif saja.

Adalah sebuah titik kelelahan ataupun biasa mereka katakan sebagai hilangnya semangat ataupun putus asa, namun bukan berarti matinya kesempatan, semangat dan asa; tapi lebih dari semua itu ada hal yang bila disadari maka akan dimaklumi lantas mensyukurinya77, takala kita merasa jemu dan bosan, karena hilangnya sesuatu yang baru, atau dapat kita artikan sebagai lenyapnya kemajuan dan kemunduran, sehingga kita berada diantaranya, maka ada kalimat “Aku lelah mengungkap misteri-misteri, karena aku tidak cukup berani untuk meninggalkan orang-orang, dalam arti aku lelah mengakhiri sebuah awal dan mengawali sebuah akhir.”. Dan pada akhirnya akan menemukan dan melahirkan rasa yang disebut ‘penyesalan’ dan ‘balas dendam’, dan akan diteruskan oleh lahirnya makna ‘kepuasan’ dan ‘kekecewaan’, dan barang tentu menyeret kita pada pergeseran pada kata ‘derita’ dan ‘bahagia’, namun semua itu tetap airmata dan airmata sehingga kita semua tertutup airmata karena tetesannya78; namun aku lebih memilih kata daripada makna, yaitu memilih penyesalan daripada balas dendam79, dikarenakan aku bukanlah kamu!. Mungkin sedikit balas dendam akan lebih baik daripada tidak sedikit pun, karena akan menghasilkan apa yang disebut ‘hina’ dan ‘malu’ bahkan mungkin dianggap sebagai bahan tertawaan yang tak terpuaskan untuk disatu sisi, maka balaslah satu racun dengan setengah racun, karena satu keadilan tidak sama dengan setengah keadilan, namun penyesalan adalah sesuatu yang lain. Pikirkanlah kawan! Karena kita tak tahu apa-apa dan tak bisa apa-apa, maka ingatlah, karena kehidupan adalah proses mengingat apa yang terjadi pada proses sebelum kehidupan; adalah harmoni penuh misteri, setidaknya akal sehat kita mengatakan itu adalah kerasionalan.

Sebuah observasi abstraksi dalam sebuah aksi yang mengikat dalam interaksi yang kita sebut sebagai sebuah reaksi dari sebuah kondisi dan situasi, pastilah merupakan sebuah isi secara keseluruhan, dan abstrak adalah perwakilan dari apa yang sebenarnya ada dan disediakan80, seperti sekarang ini, namun masih kurang kejelasan dan kepastian: sebelum kelahiran ku, entahlah......; setelah kelahiranku, kehidupan; dan setelah kehidupanku, kematian; setelah kematianku, entahlah......... Merupakan sebuah orbit dari apa yang biasa disebut sebagai argumen dengan idea yang kuat adalah : perjanjian, pengingkaran dan pendustaan81. Dan bila dapat aku perumpamakan dalam bidang yang kasar yang diadakan melalui beberapa penelitian: bukankah para arkeolog kebingungan setengah mati dengan ilmu yang mereka bawa dan pelajari82, karena ketika batu mempunyai umur, pasti batu dalam penciptaannya tidaklah sama atau kurang lebih tidak bersamaan, atau lebih spesifiknya ada yang mengatakan bahwa ada batu yang hidup dan ada juga batu yang mati.

Dan jika masih ada waktu yang disediakan, dengan media yang hampir sama dan diantara dimensi yang berbeda, maka sebuah koherensi atas daripada panca indera83; kalian akan meminta dengan sungguh! seakan-akan terpaku, padaku: berikan keterangan dan jawaban!, namun hidup bukanlah rumusan-rumusan yang dapat diuji coba dengan detail dan teliti, sehingga sebagian orang mengatakan masa refleksi (tahun-tahun ingin tahu atas segala yang telah berlalu) akan diri menyebabkan manusia kehilangan spontanitas84, namun akankah kita menjadi tolol karena penilaian orang terhadap kita; biarlah mereka tidak percaya padaku, biarlah mereka meninggalkan ku, namun aku masih yakin dan berkeyakinan, dengan teguh aku akan berkata, pada Sang Maha Pencipta diri ku ini, Yang Maha Berkehendak atas diriku ini: Tuhan jangan tinggalkan diriku!.

Dan aku adalah beban, yang di mana orang kebanyakan meninggalkan beban dan mengharapkan harapan yang menjadi impian85, sehingga dalam jiwa ini hidup benih-benih penyesalan dan kekecewaan, padahal sebenarnya aku tidaklah penting dan tidak berarti bagi diri sendiri, namun karena orang kebanyakan berpikir lain, maka lambat laun aku ikut menyadari, bahwa aku cukup berarti bagi orang lain, namun secara tidak langsung aku telah menyamakan diri dengan orang lain, dalam arti bahwa diriku sama dengan diberi ‘keberartian’ dan ‘keberhargaan’ pada orang lain. Namun tak dapat aku pungkiri, kini aku mulai tertular sebuah penyakit, penyakit yang di mana menjadi sesuatu yang umum, yaitu mengharapkan orang lain bahagia, maka secara tidak sadar jika orang yang aku harapkan bahagia itu menjadi bahagia, maka aku pun ikut bahagia, namun airmata ini seperti tak berbelas-kasihan untuk dihilangkan. Sepertinya semua orang telah saling bertergantungan satu sama lainnya. Dan jika sekarang aku mempunyai seorang istri, pasti aku harapkan dia menjadi bahagia, dan dengan begitu aku mempunyai kebahagiaan yang lain, yang diperjuangkan oleh orang lain, namun aku dapat menikmati kebahagian itu, meskipun hanya merasakannya lewat sesuatu yang bukan bersifat indera, karena indera yang terpotong-potong ataupun setengah-setengah adalah sesuatu yang mengada-ada dan kosong, yang meraba-raba tanpa kejelasan dan hampa, yang terkadang hanya sebuah indera kepalsuan.

Mereka menciptakan rasa yang menyenangkan dibalik kesedihan
Mereka menciptakan kesedihan dibawah dan diatas kesedihan; bertumpuk-tumpukan atas harapan dan cinta; tak luput dari apa yang kita sebut sebagi airmata dunia
Saling berjejal penderitaan dan airmata
Dan mereka merasakan hal yang sama atas orang lain; permintaan maaf yang tak jadi dilontakan karena ada kata terima kasih yang diucapkan; iba bercampur kenaifan yang bodoh
Hatiku berucap, “Sungguh, jangan seenaknya dan asal-asalan kau berucap maaf dan sedikitlah karang tentang harapan, karena terlalu berharap adalah bahaya bagi jiwa!”



iii
Yang menyedihkan bagi diri adalah saya harus mengenal diri mu dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, demi kebagusan-kebagusan........ menyedihkan bukan?!.

Tak banyak yang ada, hanya sebuah pandangan indera dan kumpulan teori-teori yang perlu dikaji, untuk merevisi jiwa mu, dan bagi diri saya sendiri. Karena ini bukan menyangkut tentang kewajiban saja.

Perbincangan tentang kesenangan, kebahagiaan, dan harapan, serta kejatuhan; menjadikan puisi-puisi tentang hari dengan isi menunggu dan penungguan yang sejati.

Demi kawan, aku akan berperang untuk diri mu, namun sekaligus aku akan menjadi musuh bagi sebuah perlawanan, untuk sebuah pertemanan.

Adalah hal yang paling membosankan dari segudang tanya yang datang karena pernyataan-pernyataan, dan saya harus kembali lagi ke lantai dasar, gudang tempat menemukan kumpulan penjelasan dari kotornya debu-debu disetiap halaman (itulah diri saya sendiri, jika anda percaya), namun saya menjadi tenang oleh karenanya, di sana ada gambaran untuk dibelai, untuk dijadikan rasa pencurahan perhatian, dan jiwa yang terbelenggu pun bertanya, seakan raga ku pun terpenjara dogma.

Dan hai kalian kaum hawa, perlu kalian ketahui, dengan adanya kalian, ada disamping ku ataupun tidak, kalian tetap membuat aku sempurna, merasa terlengkapi. Dan itulah yang membuat aku rindu, meskipun terkadang aku hanya merindukan suara dan kata yang akan kalian ucapkan kepada ku.

Dan tolong, ceritakanlah hal yang indah, hal yang cantik, dan hal yang membuat kalian merasa bahagia, atau bahkan mungkin hal yang ingin kalian marahi; akan padanya ada harapan bertahan, oleh padanya pula aku merasakan terbangunkan untuk hidup.

Bukan hanya sekedar cinta, namun ada sesuatu diantaranya yang memabukan, yang lebih keras dari anggur-anggur; yang mana bisa memilukan lebih dari tangisan bayi dimalam hari; dan kejernihan akan esensial dan kesterilan jiwa menjadi buyar, bagaikan sebuah ngigau yang kacau. Sungguh, bagi saya kalian adalah setengah dari keindahan dunia.......... secara keseluruhan.

Kegelisahan ini tak akan hilang begitu saja, tak dapat disembunyikan dan dirahasiakan, baik jiwa-jiwa yang mengarang, akan harapan sebuah masa depan, kalian adalah arca-arca bernyawa.........

Saya dan selera, akan hasrat, yang dipadukan pada rasa dan warna, adalah perempuan yang menjaga jiwanya dari kepalsuan-kepalsuan, akan topeng-topeng kemunafikan, dari rasa naif yang hanya akan membutakan makna cinta, kehidupan dan airmata. Dan pemerkosaan atas setiap tubuh yang ada haruslah dihapuskan!......

Dan aku kehausan dan kelaparan jika tanpa adanya kalian..................!!!!!!

Sungguh ketenangan dan kebahagiaan akan datang, jika ada kalian, bersama kalian, maka hiduplah, dikehidupanku!

Bukan dikarenakan aku dilahirkan dari rahim ibuku, namun kasih sayang akan dirinya pada ku tak akan aku lupakan, adalah sebuah gambaran yang penuh kedalaman, dari perasaan yang dalam, dari sifat pemaafnya, dari segala belaian dan kelembutan. Oh ketiadaan rasa akan kepekaan ini membuat aku terbuai, lunglai..... Oh wanita, gunakanlah hak mu!

Astaga, aku buyar; aku tak dapat berkata, hanya dapat merasa, akan kegelisahan, dan airmata ku pun berlinang. Dan hanya jiwakulah yang tahu sebabnya yang pasti.........

Yang menyenangkan bagi saya adalah saat engkau ada. Dalam pikiranku, dalam perasaanku, dalam ingatanku, dalam kegelisahanku, dalam harapanku, dalam nafsu birahiku, dalam keserderhanaan, dalam kegilaanku, dalam kesendirianku, dalam kesepianku, dan dalam renung hati, setiap waktu, setiap saat, dimanapun aku berada, akan mu, adalah selamanya.

Akhirkata, adalah aku jiwa yang membutuhkan mu, dan dunia masih membutuhkan dirimu pula; OhH....tak akan pernah terabaikan adalah kegombalan dan perhatian adalah romantika, pada akhirkata adalah kasih sayang, dan cinta harus disingkirkan jika hanya untuk satu pihak saja. Sehingga dunia menyadari, bahwa kau ada, selalu ada, selamanya ada, dan akan terus ada....... []

Selalu ada cinta didekat wanita,
Selalu.............
Harapan ku pada mu, dan sebaliknya
Selalu......
Lengkapilah jiwa ku ini.



iv
Jika dimungkinkan aku akan melawan kodrat, adalah sebuah permainan penuh makna yang makan hati, AhH... semuanya terkesan membosankan, dalam segita-segita percintaan, menyingkirlah kalian semua! Hai kalian semua, para pemimpi, para pembinasa harapan, enyahlah kalian dari hadapanku! HeH...... Namun tetap, aku diharuskan bermain aman, dan alam adalah perlindungan bagiku, seakan-akan mereka turut mengantarkan diriku pada penderitaanku, dan menyeret inderaku untuk melihat, disadarkan dan dipikirkan untuk sadar dan berpikir, alam... kalian adalah malaikat penyelamat ku yang abadi! Dan jika aku harus memilih, aku akan memilih tidak dilahirkan!

Dan mereka berkata, “Yang kita butuhkan adalah cinta.”, ataupun ada yang mengatakan, “Cinta itu payah.”, namun aku mengejarnya, menyedihkan, perih, sedih dan menyakitkan, bahwa perasaan ini yang payah, ya, ya seindah kata yang mengumandang dalam gema-gema hawa asmara, aku lelah dan tak percaya harus meyakini adanya cinta dalam perasaan, dalam pikiranku berkata, “Kotoran babi.” Selayaknya kata yang ada, “Aku tidak percaya dan sekaligus benci dengan kebenaran.”

Dan para penggembala berteriak karena domba gembalaannya, lari dari putarannya dan kaki-kakinya yang kotor menginjak-injak dirinya, dia berkata dengan amarah besar, “Kalian tak tahu diri.”

Para tangan-tangan jahil, dengan spontanitas dan humorisnya, yang mereka katakan sebagai komedi yang kompetitif, yang dapat dikatakan sebagai komoditi, berkata, “Aku hanya becanda.”

Potret diri dari seniman yang istimewa dalam gema sebuah musik, yang membawa dan membentuk sebuah gerakan, yang didalamnya dikaitkan sebuah puisi dari dalam jiwa, dalam sebuah gerakan yang menggerakan, yang sedalam-dalamnya, adalah sebuah pergerakan dalam simponi kekecewaan, yang mampu menjelaskan secara garis besar yang sangat universal, bahwa aku adalah rongsokan berkarat yang menunggu mati dan kematian itu belum juga datang. Sesaat musik terhenti, entah karena apa, dan pemainnya pun pergi, aku sang penonton, sang audiensi dalam hati, “Haruskah aku teruskan musik yang setengah-setengah ini? Layakkah aku mainkan!.”

Si tolol dalam sebuah citra yang lebih hidup, beranggapan ada hal-hal yang tak dapat tergantikan, Cuh.. basa-basi, naif menyelubungi bumi! Hai Aphrodite, sang Dewi Cinta, peri yang aku puja, dalam sebuah eros dan dialetikanya yang mengandung romansa erotis dan romantis, dalam sebuah penghambaan terhadap cinta dan do’a, benih-benih harapan telah aku tanamkan ditanah kedamaian, yang biru bercampur hijau, adalah gambaran sebuah seksual yang dipadukan untuk kehidupan cinta yang biru. Aku adalah sebuah komunitas yang tersebung dalam kehidupan, yang daripadanya aku mengejar kualitas superhuman, sebagai mahluk unggulan, bukan menjadi pemimpin-pemimpi, bukan pula menjadi pemimpi, jika kalian begitu maka dihadapanku kalian tak lebih dari sekedar para pemalsu jiwa, penyamaan jiwa, topeng-topeng kebajikan, kemurniaan nan naif, kalian.... Menjauhlah dari diriku!

Sebuah model-model hidup dari pemberani yang bersifat ironis, menampilkan khayal alam, namun yang dituangkan adalah tungku-tungku dengan api yang menyala, salju-salju yang membeku, air yang mengalir deras namun tidak teratur, dan angin yang sangat dingin, yang aku kutuk... Dapatkah aku menyingkirkan dirinya dengan do’a-do’a, dengan kata-kata berpujangga, AhH.. apalah artinya hari ini, patung pualam pun membayang dalam cahayanya sang bulan, aku ingin berteriak, “Racun.”

Inovasi ilusi yang optis dalam sebuah efek emosi pada karya, adalah mereka sang patung-patung telanjang, yang mengandaikan dalam sebuah lukisan kanvas, dengan sebuah perayaan yang dengan sorak-sorai, dalam mimbar yang diadakan ditengah perjalanan. “Aku ingin menyendiri.”. Ada dua sosok tubuh dalam satu buah patung, dalam sebuah perdebatan dan spekulasi, aku tertata dalam kebakuan dan kerancuan, adalah sebuah keadaan menular, sepertinya aku dianggap sebagai obat penawar, dan ada fantasi dan ilusi yang realitas, namun tetap berbaur dengan perdebatan dan spekulasi. Dan akan aku antarkan kalian dalam satu kesatuan spiritual, yang kekal. Namun, sebelum kalian memasuki gua-gua dalam dada ini, sebelum kaki-kaki kalian melangkah, sebelum nalar dan lidah kalian ikut berpendapat, ingatlah....... Detik-detik kehidupan, saat yang menyakitkan, kala cinta datang, dan cinta hanya ada untuk satu belah pihak, seperti jari tangan yang cacat, tak ubahnya dengan benda yang hanya indah untuk dilihat, kalian harus mengizinkan aku untuk pergi.

Yah...... Persepsi akan ruang dan bangunan ini, yang terlingkupi oleh waktu dan orang, kini, kau berada dalam sebuah bias maya, bukan berarti etikamu rusak! Aku rasa, didalamnya, yang mana, ada sebuah ekspresi wajah untuk menyampaikan emosi, namun yang didapat dari kata adalah sebuah dramatisir dari sebuah kegagalan dan keberhasilan duniawi. Cinta?!? Apalah artinya. Selama aku masih sanggup minum anggur dimeja makan, adalah sebuah gejala-gejala kegilaan yang akan kau tawarkan oleh padanya, lewat kata dan amarah, adalah semua motif dalam historis yang terangkum sepotong-potong, dalam kecerdasan yang kau bawa, kau berkata, “Aku tahu, kau beda.”. Dan aku kehilangan kesadaran, dan kesadaranku pun menghilangkan ku. Absurditas; dan ada yang pantas aku sandarkan, yang ada hanyalah alam; selayaknya alam, yang meyadarkan ku.

Sedikitnya aku telah terbelah untuk terbagi. Adalah fakta umum yang menjadi sebuah rahasia umum, sebuah obyektivitas, yang didapat dari sebuah observasi imaji, dalam sebuah kontrol yang tak dapat aku katakan namun terasa jelas, adalah sebuah perbandingan yang dapat aku samakan sebagai perlarian, dari apa yang aku sebut sebelumya, yaitu menyamakan. Dan.... “Hai kau dan pikiran yang negatif, kini akan aku buat sesederhana mungkin.”, ujar dirimu. Jika memang kehinaan dan kebosanan adalah sumber dari apa yang tidak dapat dipercayai, maka aku akan ambil jalan tengah, yaitu menyendiri. Diantara bukit terjal yang akan aku daki, lautan yang akan aku teriaki, langit yang akan aku tatap, dan angin yang akan menyertaiku, layaknya bayangan adalah kemuraman. Jadi, ikhlaskanlah aku pergi!, kali ini.

Aku tahu konseptual akan terbagi dari prosedural, namun ini lain, sebuh metode tanpa konsistensi, sebuah pengetahuan dari yang mereka namakan sebagai kodratnya alam, namun ini adalah sebuah samar-samar yang dapat aku sampaikan dalam sebuah media yang tersembunyi dan menyembunyikannya, dalam sebuah perulangan yang mereka katakan sebagai yang tak dapat tergantikan, sebuah personal bias bagi mereka dengan pemikiran futuristik.

Dan dari semua permulaan itu sukar, aku sadar dan yang aktual itu adalah hal yang menarik, namun haruskah aku tertarik? Haruskah aku menarik diri?! OhH... populasi dan variasi alangkah indahnya kalian dalam segi pendidikan dan psikologi. Teori ini hanyalah sebuah opini, yang menghasilkan dugaan, yang dirancang untuk sebuah pertimbangan, untuk keeksplisitan, dalam sebuah analisis yang penuh dengan deskripsi, untuknya kau hantarkan sebuah ilustrasi yang mana akan membandingkan, pada sebuah analogi, untuk eliminasi, adalah sebuah unsur dari asal, sebab dan akibat, dan etimologi adalah hasil akhir.

Bebas berprasangka dan jujur, bukankah itu sebuah tuntutan yang mereka ajukan lewat persidangan jiwa, yang mana akan merubahnya menjadi nilai baik dan sabar, dalam sebuah ambisius yang kuat, yang mereka katakan sebagai ideal, adalah hal-hal yang mana, mereka menyatukannya lewat desakan waktu, yang mana mereka berupaya, untuk berkuasa, atas kehendaknya, adalah sebuah kesempatan yang dimungkinkan. Kalian, seharusnya kalianlah yang menyendiri!. kalian adalah kelicikan di waktu fajar belum menyingsing. AhH.... Apalah gunanya aku berkata, jika memang tidak dipercaya, namun sabar, sabar, sabar, dan sabar, dan sabar, dan sabar.

Aku, kembali lagi pada diri, untuk menyendiri, menyegerakan diri, dan mengakhiri. Dari apa yang mereka katakan, ”Yang lebih berkuasa adalah mata, mata sebagai jendela jiwa.” Namun aku berkata, “Tidak, aku tidak merasa.”

Kematianku, tak usah kau do’akan
Sepeninggalanku, tak usah kau sesali dan resah
Keadaan ini akan kembali membaik
Aku hanya pergi, dan menunggu engkau kembali; dari kematian kita akan menuju kepada kehidupan
Setelah lepas dari kejemuaan dan kemajemukan
Kau akan sadari dan berpikir, untuk mengulang kembali
Dan kau merindukan aku, untuk kembali
Tak usah kau tangisi karena aku akan hadir disetiap detik-detik kehidupan mu
Seusai angin menerpa, kehidupan bagaikan butiran debu-debu yang lembut, meyejukan kalbu
Biarkanlah Tuhan yang menentukan, dan waktu jadi penentu
Do’a ku untuk alam: “Angin yang baik nan lembut, bawalah aku beserta mu”



v
Diantara kesendirian, kekosongan, kesepian, dan kehampaan yang membosankan, yang berulang-ulang, padanya, hidupku, aku dedikasikan, akan sebuah prototipe daripada sebuah prestise, pada sebuah perwujudan kebahagiaan dan kesempurnaan, dengan kelengkapan. Membentuk dan terbentuk!...........
Adalah sebuah jalan revolusi...... menstabilkan para isteri, untuk sebuah pergerakan, guna kesetaraan, menghilangkan propaganda dan standar ganda...... untuk isteri.



vi
telah tiba telaah untuk memuaskan nalarku, akan kontaradiksi permainan hati, dari hari ke hari. Penggapaian akan jiwa ini sebagai kamuplase dari sebuah metamorfosa, terasa semakin dalam, dan semakin dalam, akan rasa sayang yang aku persembahkan untuk seseorang.

Wanita dengan hati yang baik......... Kalian, sungguh akan aku pegang erat tangan-tangan kalian, untuk aku ingatkan akan keberadaan kalian yang sesungguhnya, akan aku tunjuk satu bintang untuk kalian, untuk melihat keindahan dan keindahan.
Jika hari ini kita akan bertemu, entah itu di mana, dan bisa di mana saja, aku akan persembahkan untuk kalian sebuah kalimat, sebuah kata yang akan dirindukan, atas dasar cinta, dan hanya cinta, pada sebuah citra dan cinta, demi cinta aku akan ada. “Aku rindu.”



ViI
Bila yang kau rasakan adalah kedataran, maka daratan ini masihlah panjang untuk kita jelajahi bersama, aku akan membuat hidup kita lebih baik, kita jalani bersama untuk melewatinya dan melupakannya. Oh rasa sayang yang aku ungkapkan bukanlah hanya sekedar kata, namun sayangnya........ Sayang, aku adalah seorang pengecut yang ketakutan dan kebingungan, mungkin kata-kata yang ada, yang aku ciptakan, kini sudah tidak lagi tertata.
Spontanitas yang ada, adalah nyata adanya, dan kini makin terasa dalam dada. Seandainya aku masih bisa berandai-andai dengan pernyataan, pertanyaan dan jawaban, maka kata yang aku ucapkan itu tidak aku sadari, lepas dengan begitu saja dari lidahku yang gagap, kata yang aku katakan, “aku cinta kamu.” itu semua adalah nyata. Yakinlah dan percayalah.
Dan Seandainya kamu percaya, aku tak mau memaksakan, aku hanya ingin lega......., ya tak lebih, aku hanya ingin lega. Aku telah banyak kehilangan, dan aku tak mau kehilangan diri mu juga. Oh..... Kenapa air mataku berliang saat ini, membasahi semua indera yang ada.
Meskipun tiap manusia mempunyai idealisme yang berbeda-beda, namun bukankah pada awalnya adalah sama.......... Ingin lebih baik dan sempurna maka akan aku buat kelengkapan yang melengkapi.
Jiwa ku dan jiwa mu disuhugi oleh sebuah ilusi, ilusi yang berasal dari panca indera (yang esa dan asali), yang dinalar oleh setiap pemikiran manusia, yang akhirnya meresap kedalam perasaan kita....... Pada akhirnya mejadi sebuah sosok yang sempurna bagi dunia ketiga........ Oh, aku menginginkan perempuan sempurna, layaknya wanita yang aku pikirkan secara mendalam hingga menembus hari-hari ku, karena sebelum aku tidur aku memikirkannya, setelah aku bangun aku memikirkannya juga..... Mungkin kamu pun demikian. Namun aku punya keyakinan, dan harus bisa, meskipun ini adalah sebuah pemaksaan, akan mu dan akan ku, KITA HARUS BISA MEMATIKAN ILUSI-ILUSI !

Memang, cinta itu menyedihkan,
namun dualitas ini harus aku hilangkan,
jadi menyenangkan.

Ya.. menyegarkan jiwa dan raga,
sehingga kita lebur dibuatnya,
seperti tangan yang dapat memotong arus aliran air.

Teriak ku akan do’a, karena aku puja dan sembah layaknya tuhan
Oh.... sedemikian menyedihkannya aku ini- manusia yang akan meninggalkan harapan, karena kecewa akan harapan-harapan
Oh Aku sudah tak percaya lagi pada apapun

Aku yang menangisi................... kenapa?!?!
Aku yang berharapan................. kenapa?!?!
Aku yang berdo’akan........................ katakanlah?!?!
Aku sudah muka untuk berharap dan bertahan

Hidup memang tidak adil bukan,
namun......... aku disadarkan, “dualitas adalah hal yang abadi”

Usai murungku, aku tersenyum
Seusai kecewa ku, aku tertawa
Akhir penyesalan ku, aku berteriak
Cinta kau adalah airmata


1 Kehidupan yang bila disadari maka kehidupan adalah sebuah penderitaan, namun di sana didasari oleh pada apa yang disebut dengan dualisme, yang didapatkan dari rasa, warna, selera dan hasrat; atas kehendak dan kuasa; maka ada kebahagiaan.
2 Keterpaksaan atas semua sikap dan prilaku, yang nantinya oleh padanya sekan-akan telah menjadi kebiasan, meskipun masih terlihat samar-samar sebagai sebuah kewajiban, dan ini merupakan hal yang empiris, yang tergali oleh adanya upaya menjadikannya sebagai sebuah jati diri.
3 Para pemuja tawa ataupun kaum pengembira yang mabuk akan dunia, ataupun orang yang sakit jiwa atas kebahagiaannya, yang mengharapkan datangnya cinta; cinta sejati dan abadi, bisa juga para manusia yang tak kuat lagi berada dalam derita lalu tertawa sekeras dan sepuasnya guna menghilangkan bebannya, namun sayang, tatap saja hanya untuk sementara, sedangkan mereka berpikir untuk selamanya bergembira.
4 Merupakan sikap dari positivisme yang cukup rasional dari apa yang menjadikannya pada interferensi pada sebuah obyek ataupun subyek, yang di mana ia akan merasa terkait untuk merasakan sedih agar bahagia, adalah awal derita untuk akhir bahagia.
5 Hidup untuk diperlihatkan kepada orang lain, dilihat oleh orang banyak, seakan-akan dirinya dihias untuk dijual, dirinya menebar pesona untuk kepuasan dirinya tapi kepuasan itu tercipta dari penilaian orang lain. Dan hal ini tidak jauh akan kekosong jiwa dalam raga.
6 Hidup adalah penderitaan dan penderitaan yang saling bertergantungan dan berhubungan, yang ada akhirnya hanya menghasilkan penderitaan juga. Atau kurang lebih bahwa manusia hanya mengejar kepedihan dan kepedihan, padahal ia sadar bahwa yang ia kejar itu merupakan sebuah kepedihan, tapi ia tak peduli karena ia merasa bahagia dengan apa yang ia rasa, meskipun derita adalah hal yang akan ia terima. Dan para pemuja cinta dan impian serta pengagung do’a serta harapannya selalu berkata, “Merupakan sebuah daya tarik dari cinta dan intriknya.”; dalam puisinya, “Makin rapuh makin kuat, makin sakit makin lebih baik.”
7 Di mana ditujukan pada filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan, yang merujuk pada karya dan cipta.
8 Satu hal yang menjadi rahasia umum, bahwa perempuan adalah mahluk penunggu, mahluk yang tak pernah bosan untuk menunggu pernyataan cinta, namun di balik semua itu ia adalah mahluk yang kesal karena di ketahui oleh para pencerita (khususnya cerita anak-anak) bahwa ia harus menunggu.
9 Hal yang di mana lazim ditemukan, yang pada akhirnya menjadikan perang untuk menjadi adimanusia ataupun adinegara, namun bukan berarti perbedaan tidak dapat membuat kesatuan, tapi yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan itu makin diperlihatkan, sehingga para penganut aliran empirisme mengatakan skeptis adalah jalan satu-satunya; nihilisme.
10 Sangat diperlukan untuk kehidupan orang banyak, sebagai kontrol sosial, namun kini maknanya mulai menipis untuk kalangan menengah ke atas
11 Di mana terjadi saat pergolakan bahasa, yang sebelumnya ada kata, “Jangan berkata apa yang negara berikan padamu tapi apa yang telah kau berikan pada negara.”, di sini ada kata sebuah nasionalisme. Namun yang menjadi acuan adalah keadilan dan ketidak-adilan, dan negara mengatur setiap hak dan kewajiban secara seimbang, selaras dan sewajar-sewajarnya, dan antara hak dan kewajiban haruslah sama, tanpa ada perbedaan rasa, kasta, bahasa dan warna.
12 Bila diperumpamakan akan menjadi tindakan yang brutal secara sikap, seperti percintaan yang bercampur dengan perkosaan, namun kerasionalan di sini haruslah bersifat relevan dan akurat, bahwa pemikiran di sini ditujukan pada penilaian orang lain untuk kepuasan diri atas sikap, situasi dan keadaan, tanpa mempertanyakan sebuah opini dan pendapat, dan dengan serta-merta mengesampingkan sifat.
13 Sebuah metafora untuk para penguasa yang mengaku dan mengatakan telah dipilih secara sah dan legal oleh rakyat, sedangkan sikap mereka sama sekali tidak mencerminkan rakyat, dan kalaupun diri mereka bercermin pada diri mereka sendiri, maka yang mereka dapatkan adalah bukan diri mereka.
14 Mahluk hidup yang akan mati, dan ia adalah mahluk hidup yang menyakini adanya keberakhiran atas diri dan sekelilingnya, alam semesta dan isinya, seni dan karyanya, filsafat dan ilmu pengetahuannya.
15 Karena oleh Nya setahun bisa sebulan, sebulan bisa seminggu, seminggu bisa sehari, sehari bisa sejam, sejam bisa semenit, semenit bisa sedetik, dan sedetik bisa tidak berarti sama sekali. Dan padanya, diwaktu selalu ada kata ‘penyesalan’, karena manusia tidak bisa kembali ke masa lalu, dan padanya selalu ada kata ‘ingin tahu’, karena manusia tidak dapat mengetahui masa depan. Dan manusia hanya dapat berkata, ‘kita adalah mahluk yang sama-sama menunggu’. Kita tak dapat mengubah masa lalu.
16 Akan sebuah penciptaan akan mimpi yang menjadikannya sebuah impian, dan harapan membuat dirinya bertahan, sedangkan hidup dibuatnya untuk merealisasikan semua–semuanya menjadi sebuah kenyataan. Adapun kata para orang kebajikan, “Maka, sedari kecil, anak-anak haruslah mempunyai cita-cita setinggi langit.”
17 Merupakan apa yang saya rasakan ketika saya menghilangkan hidup, dalam arti memandang hidup sebagai kekosongan dan kehampaan, yang pada akhirnya berujung pada materi belaka, maka hidup tak lebih dari sekumpulan luka atas muka-muka, hidup adalah muka-muka yang penuh dengan luka-luka, dan hidup adalah dua bagian dari muka luka dan luka muka.
18 Bahwa apa yang menjadikan dunia sekarang seperti ini adalah keingin-tahuan, namun keingin-tahuan ini tidak terbatas dan tidak terpuaskan, sehingga terkadang apa yang didapatkannya didapat secara terpaksa sehingga tidak berguna dan semena-mena sehingga terkadang dapat di cap sebagai sesat dan kesesatan, oleh karena itu maka dalam mendalami ataupun menemukan sebuah ilmu orang dibutuhkan kesadaran dan kesabaran, serta keimanan.
19 Terkadang manusia dilihat dari caranya, meskipun tujuannya sama, namun bila kita lihat sungai, kali, hilir, hulu dan lain lain, yang mana warna, rasa, besar-kecil, cepat-lambat dari jenis aliran airnya pun berbeda-beda, namun tujuannya tetap sama, yaitu mencapai pada lautan, dan setelah dikumpulkan di sana, maka semuanya menjadi satu dan sama, yaitu biru dan asin, tenang dan dalam, dan semuanya akan kembali pada asalnya. Jadi jalanilah setiap proses kehidupan, karena hidup itu sendiri merupakan sebuah proses dari kumpulan kehidupan yang lainnya.
20 Hal yang membunuh secara perlahan aliran filsafat materialisme (darwinisme), karena dengan kecerdasan maka setiap kehidupan pasti membutuhkan perencanaan dan perancangan, dan oleh kecerdasan tersebut disebutkan bahwa evolusi adalah basa-basi dari pemikir yang kikir.
21 Sesuatu yang diluar batas dan jangkauan sang hamba dan umatnya terhadap penciptanya sehingga dapat dikatakan sebagai mukzijat, keajaiban yang maha dahsyat, ataupun buah karya yang maha sempurna dan mungkin keluar-biasaan karena segala sesuatu pasti ada penciptanya; namun ada harmoni dalam kehidupan, bahwa hidup adalah salah satu perwujudan dari mengingat.
22 Sebuah kesan pertama, dalam pengartiannya adalah sebuah rasa akan ragawi pada bentuk-bentuk penjajahan duniawi atas hukum alam.
23 Suatu kebenaran bercampur rasa yang turut memberikan rasa kebersalahan, seperti ucapan terima kasih yang bercampur dengan kata maaf, dan di sini keibaan menjadi hal yang otentik. Dan dalam kesehariannya, dalam hidupnya, seiring dengan beberapa puisi kesendirian, ia ber-romantika bahwa dirinya debu ataupun bara api, tapi jiwanya, hidupnya, dirinya dan prosesnya tak mau debu disamakan dengan bara api. Jadi hidup dalam persimpangan, antara sebuah pilihan keyakinan, maka saya ciptakan kata “pecah terhempas angin”.
24 Hal yang menyakitkan jika apa yang dilihat tidak sama dengan apa yang didengar ataupun sebaliknya; jadi indera adalah hal yang memanipulasi rasa, sehingga indera terkadang suatu kebohongan yang bercampur dengan gambar dan suara
25 Ditujukan pada sebuah ambisi dan obsesi yang termotivasi untuk tak kenal lelah, namun kini telah terjepit pada kenyataan dunia, bahwa airmata hanyalah penahan rasa kecewa, dan hidup semata-mata hanya untuk bekerja; namun para manusia yang hidup didunia ini, sesungguhnya menuju kesempurnaan dan menunggu ketenangan.
26 Mengkaji, merevisi, mengkoreksi, memperbaiki dan memberikan visi dan misi pada diri untuk menjalani dan menghadapi hari, dengan perasaan dan pemikiran, untuk berpikir dan beriman, serta sabar dan sadar, tanpa ada kata-kata kasar dan tanpa diiringi dengan rasa iri dan dengki.
27 Sebuah depresi dan frustasi yang sangat berat sehingga keberanian dimatikannya, maka lahirlah ketakutan-ketakutan yang pada akhirnya akan mengalami masa-masa asali dan alamiah pada subliminasi yang oleh karenanya perabadan yang penuh dengan penyalahan dan penyesalan diri.
28 Kehendak untuk berkehendak, namun kehendaknya dipaksakan dan percepat, sehingga kehancuran dan penilaian atas orang lain yang semena-mena. Bahkan terjadi dikarenakan rasa cemburu yang sangat besar; adalah akhir dari kontrol sosial, atau bahkan mungkin menjadi awal dari peperangan.
29 Penempatan kata pada kelahiran, kehidupan dan kematian, yang nantinya diungkap sebagai penilaian yang hanya rata-rata.
30 Diadakan guna pengubahan atas indera-indera yang ada, yang diantaranya hanya sebuah pro dan kontra, adalah sebuah kontradiksi dari kata yang sebelumnya, yaitu sebuah penilaian yang hanya rata-rata.
31 Hal yang pertama ada dan tercipta sebagai bahasa yang cukup terrangkai dalam kehadirannya pengertian antara sesama mahluk hidup, tercipta dalam sebuah pencitraannya cukup dengan dirasakan saja, bukan untuk diada-ada ataupun diadakan dengan dikata.
32 Awal dari kata dan benda, seperti halnya mempelajarinya, karena bila kata-kata didunia ini dapat diubah dan diganti maka filsafat pun akan dapat diubah dan diganti pula.
33 Kemasuk-akalan akan apriori: (a) lebih berdasarkan pada teori dibandingkan pada kenyataan yang sebenarnya. (b) mengacu pada kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari apa yang sudah ditentukan, dan bukan dari pengalaman. (c) suatu pendapat yang didahului oleh pengujian pengalaman (ada fakta empiris sebelum mengambil keputusan); yang pada akhirnya dipaksakan pada sebuah kehendak untuk melakukan: (a) Suatu proses tidak disadari dari pengingatan dan pelupaan. (b) Kreasi arsistik. (c) Sembarang pengarahan yang menyalurkannya tidak bisa diterima dan pada hal-hal yang tidak bisa menerimannya.
34 Sebuah kelahiran bayi, jatuh cinta, bertanya, dan lain sebagainya.
35 Mengarah pada kekesalan, yang mana diakibatkan pada kalimat sebelumnya yaitu tangisan yang mengantonimkan pada hal yang rasional akan hal-hal yang ironis (kurang kuatnya keimanan, kesadaran dan kesabaran, sehingga manusia tak mampu berpikir lagi), sehingga orang berharap setelah menderita akan bahagia, setelah sedih akan tertawa, setelah sengsara akan kaya, dan lain sebagainya; namun kedatangannya belum kunjung datang, dan kini dipertanyakan tentang keseimbangan dan keadilan tanpa kerancuan sedikitpun dalam hidup manusia didunia.
36 Untuk menciptakan revolusi bukan hanya dibutuhkan ideologi yang kuat dan nyawa yang banyak tapi dibutuhkan juga uang yang banyak, namun kekecewaan tercipta dari masyarakat menengah ke bawah karena telah mengorbankan segalanya tapi revolusi belum tercipta, dan kalangan atas malah mempersulit kehidupannya; jadi di sini yang terjadi semata–mata hanyalah revolusi atas dirinya sendiri.
37 Bukan pandangan akan makin banyak makin baik tapi pandangan akan sesuatu lahir dari sesuatu dan yang kuat yang mampu bertahan; adalah sesuatu yang meronta-ronta minta diperkosa, dan itu adalah hal yang yang tak baik.
38 Merupakan dari kecerdasan dari yang Maha Cerdas, akan ketahuannya yang Maha Mengetahui segala sesuatunya.
39 Kembali lagi kepada sebuah perdebatan akan pro dan kontra yang masih masuk akal dan dapat diterima oleh akal sehat, bahwa hidup adalah antara pemikiran dan perasaan, namun dibatasi oleh hawa nafsu.
40 (a) Kepercayaan diri yang tinggi sebagai mahluk tuhan yang paling tinggi derajatnya (b) Diakibatkan oleh kurangnya kritikan orang lain yang masuk akal sehingga manusia hanya dapat mengkritiki dirinya sendiri (c) Hanya manusia yang mengalami dan merasakannyalah yang lebih memahami daripada manusia yang melihatnya melalui panca indera (orang lain, orang luar, orang yang bukan diri). (d) Absurditas, ketika orang tak percaya lagi percaya pada diri kita, yang menjadikannya tidak waras, karena diri kita dijadikan oleh orang luar untuk tidak percaya diri.
41 (a) Kekuasaan Tuhan (b) Pemegang kendali yang tak samar.
42 Dualitas pemikiran atas dunia dan kehidupan yang lainnya, yang di mana bila kehidupan sekarang hanya mengingat kehidupan sebelumnya maka kehidupan yang akan datang hanya akan diingatkan oleh kehidupan sekarang.
43 (a) Mahluk hidup yang berharap lebih, selalu berharap masuk surga, mendapatkan kebahagian, dan ketenangan, padahal sesungguhnya kenyataan yang dihadapinya dan kenyataan yang sedang berjalan tidak memungkinan terjadinya dengan apa yang diharapannya. (b) Bahayanya diri manusia jika terlalu berharap, pikiran dan jiwanya akan selalu resah gelisah, seumur hidupnya dihinggapi rasa kepemilikan kesempurnaan, padahal ia sadar bahwa dengan berandai-andai hidupnya tak akan lebih baik. (c) Karena manusia hidup dengan harapan, saat harapannya tak mungkin lagi tercapai, ia dengan sendirinya akan membuat harapan yang lain lagi, tapi jika ia tidak dapat membuat harapan yang lainnya maka ia tak lebih dari seorang manusia pemimpi ataupun manusia pengkhayal.
44 Sebuah terawang yang sangat ironis, di mana akal sehat mengatakan tidak untuk sebuah trinitas yang umat kristen ciptakan, yaitu jika ada keluarga manusia dan ada keluarga setan, maka manusia dan setan akan ketakutan akan keadilan yang diadakan oleh keluarga tuhan, yang di mana mengadakannya tempat-tempat penyiksaan yang berjuta-juta untuk berjuta-juta manusia dan setan pula, oleh berjuta-juta anggota dari keluarga tuhan.
45 (a) Manusia lebih banyak bicara dari pada bertindak. (b) Manusia lebih banyak berteori daripada melakukan praktek. (c) Meskipun awalnya adalah bicara dan berteori maka bukan berarti pada akhirnya lebih sedikit melakukan tindakan dan praktek. (d) Pada awalnya adalah baik tapi pada saat pelaksanaannya menyimpang dari jalan yang pada awalnya benar dan baik, disebabkan penafsiran akan pemahaman dan pendapat yang berbeda-beda dan kehendak untuk berkuasa; untuk dikatakan sebagai yang paling.
46 Sesat, kesesatan dan penyesatnya.; penyimpangan yang mengatas-namakan pemahaman dan bendera serta panji, namun dibalik itu semua ada kehendak untuk hasil akhir; namun yang terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan dari ajaran yang sesungguhnya; dan kesesatan terjadi karena kurangnya pemahaman dan terjadinya ketidak-tahuan.
47 Menyembah ciptaan Tuhan, seperti tumbuhan, hewan, manusia, nabi, malaikat, dan setan. Bahkan mungkin menyembah ciptaan Tuhan yang tidak hidup, seperti batu-batuan, alam semesta, langit, bulan, bintang, matahari dan lainnya. Adalah salah satu bentuk penyekutuan terhadap Tuhan, yang mana menyebabkan Tuhan diduakan, yang pada akhirnya menyamakan dan membandingkan Tuhan dengan mahluk ciptaan Tuhan itu sendiri. Adalah salah satu bentuk penghambaan kepada berhala-berhala, maupun secara kuno ataupun modern, kemunduran berpikir secara keyakinan dan keimanan. Dan penyekutuan ini dosa terbesar pertama lalu dosa terbesar keduanya adalah bunuh diri. Karena akal saya berucap, dalam gelas-gelas kaca, “Lebih baik tidak punya tuhan daripada mengtuhankan yang bukan tuhan.”
48 (a) Jiwa yang diselimuti oleh asa dan impian, yang mengantarkan pada kegalauan dan ketidak-puasan akan apa yang didapatnya, selalu mengharap lebih, seakan-akan dalam hidupnya selalu melihat keatas, bukan kebawah. (b) Cara ataupun jalan yang ditempuh setelah masa kejayaannya runtuh. (c) Masa kegelapan yang datang bersamaan dengan rasa frustasi dan depresi terhadap segalanya, bahkan diri sendiri, sehingga tujuan menjadi acuan yang mana harus terpenuhi sebagai acuan dalam setiap langkah kehidupan.
49 Sebuah rasa heroik dalam kepatriotannya untuk perwujudan kenasionalan yang tinggi.
50 Karena politik tak jauh dengan t@! kucing, maka kekuasan yang diperjuangkan guna pencapaian dari tahta, harta dan wanita, tidak lagi mengandung cinta dan kasih sayang terhadap sesamanya. Yang ada hanya kelicikan dan kelicikan. Dan orang awam melihat apa yag diperebutkan mereka adalah kotoran dan apa yang mereka duduki pun tak ubah layaknya kotoran, bau yang menyengat.
51 (a) Karena negara bergerak layaknya sebuah lembaga-lembaga dari kebusukan dan pencapaiannya terkadang hanya sebuah kepalsuan daripada topeng-topeng yang ada, dan negara yang ada sekarang saat ini hanya memisahkan dan menjauhkan diri dari kesatuan dunia yang universal. (b) Peranan negara yang diciptakan kepada rakyatnya bagai sebuah hukum agama atas dasar kepemimpinan seorang tuhan.
52 (a) Bila disadari, perang adalah sesuatu yang wajar, yang di mana diambil sebagai langkah dari pemanjangan umur dunia, dan kehendak untuk berkuasa sebagai adikuasa, dan perang pun semakin diramaikan disatu sisi, dan disatu sisi ada rasa ingin terwujudnya damai. Apakah perang itu menyangkut ideologi, sejarah panjang agama, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena para pemimpin negara selalu mengatakan, “dunia tanpa perang seperti ada sesuatu yang kurang”, ataupun seperti perkataan para jendral angkatan perang, “kami diadakan untuk mempertahankan wilayah negara dan menyerang wilayah negara yang lainnya”. Secara garis besar, bahwa perang adalah langkah pemaksaan sepihak dari ketidak-berwujudannya suatu perun dingan. (b) Perang untuk jiwa pun diadakan dalam makna melawan hawa nafsu, namun perang kekuasaan diadakan dalam makna sebaliknya.
53 (a) Adalah ada suatu kalimat yang diadakan guna meniadakan tindakan perdebatan yang dipaksakan. (b) Determinasi dalam menyikapi perang tidak langsung.
54 Pada dasarnya, bagi setiap jiwa manusia, agama adalah sesuatu yang diperlukan, meskipun agama selalu mengatakan bahwa agamanya adalah nomor satu, bak sebuah produk. Namun jiwa tanpa agama, hidup tanpa pencipta dan iman tanpa Tuhan adalah sesuatu yang pincang, selayaknya ilmu pengetahuan adalah jalannya dan agama adalah tongkatnya. Karena jelas para kaum pemikir adalah kaum yang beriman.
55 Kesalahan para guru-guru mu yang mengajarkan sesuatu kepadamu, buku-buku mu yang menghakimi dan memberikan jawaban atas pertanyaan jiwa dengan kedangkalan dan kesalahan yang fatal, dan baju-baju yang dipakaikan orang tua mu pada mu. Maka pikirkanlah kembali apa yang telah kau dapatkan dihari kemarin.
56 (a) Cukup jelas bahwa dualitas adalah hakim yang adil, dan pandang-an yang indah dan cantik untuk dikaji, dan dualitas sebagai dasar dari pema-haman atas ilmu ikhlas dan ilmu hikmah. (b)Yang menentukan awal dan akhir.
57 (a) Para pelacur yang menebar pesona. (b) Kaum perempuan yang mencoba melawan kodrat yang akhirnya jatuh pada sebuah makna cinta yang diberikan untuk tidak dihargai, sehingga penghargaan-dirinya hanya ada dalam satuan uang. (c) Para perempuan yang menutup kerendahan dirinya dengan kepalsauan, guna penyerataan, namun tetap saja pada akhir hidupnya, kehidupan percintaanya tidak terpuaskan dan tidak sempurna, sehingga yang ada hanyalah kecantikan luar, yang banyak dan sedikit dipori-pori wajahnya; tidak merata.
58 Salah satu bentuk ke-autentik-kan anatomi yang menjadi rahasia umum, yang akhirnya disesali setiap perempuan, karena tak mampu menghilangkannya, meskipun ia menutupi dirinya dengan kepalsuan-kepalsuan, yang akhirnya menyeret dirinya pada kelayakan untuk membersihkan dan merapihkannya saja, sehingga tertutupi, untuk kasat mata.
59 (a) Penggalian diri yang menyebabkan dirinya serba salah dan bertergantungan pada sebuah sosok yang lebih jelas. (b) Kaum perempuan yang membutuhkan jati diri guna bertahan hidup diantara kekuasaan laki-laki. (c) Artian lain dari femininisme.
60 (a) Adat yang latah. (b) Defenisi yang diasumsi oleh orang banyak sebagai suatu kebenaran padahal oleh orang-orang berpendidikan yang terdidik belum tentu dianggap sebagai suatu kebenaran yang patut untuk diyakini. (c) Pengandaian antara seorang anak yang menjadi seorang ibu bagi bonekanya, dan seorang ibu yang menganggap anaknya sebagai seorang ibu dari bonekanya, sehingga menjadi sebuah adat dari penganggapan ibunya bahwa anaknya akan menjadi seseorang yang harus menjadi seorang seperti ibunya pula. (d) Mahluk yang sopan, bahkan terlalu sopan.
61 (a) Sebuah pandangan yang wajar diutarakan dan digambarkan bahwa didunia seorang perempuan wajar menjadi seorang lesbian, namun seorang laki-laki tidak wajar karena tidak masuk dalam daya nalarnya. (b) Salah satu kecenderungan untuk melakukan hal biseksual terhadap hal-hal yang di mana ia menaruh hati atas daripadanya.
62 (a) Merupakan awal dari semua awal kehidupan, dari seorang yang tunggal menjadi kemajemukan dan berarti jamak. (b) Kekongkretan dan kesahan sebuah komunitas mahluk hidup, akan tujuan pengadaan dirinya. (c) Mengacu pada pertanyaan, apa yang menjadi sebuah sebab-akibat.
63 (a) Timbul tanya untuk kelayakan dan jawaban untuk dipertanyakan. (b) karena alam semesta yang dihuni sebenarnya sebuah masa transisi, jadi sebenarnya penguasaan atas masa transisi ini, yang dipegang oleh kehendak-Nya (Tuhan), lebih mendominasi pada mahluknya yang mana. (c) Jika kebijakan diri kita mempercayai adanya kehidupan setelah dan sebelumnya. (d) Sebuah awal yang tragis dari sebuah tragedi di Taman Firdaus.
64 Hal yang menanyakan sesuatu tanpa adanya sebuah keyakinan akan setiap jawaban yang didapatkan, karena jika benar, maka benar jika perempuan adalah mahluk yang sekunder.
65 (a) Pendominasian untuk pengarahan pada penyetaraan, bahwa emanisipasi seharusnya sudah ada sejak zaman-zaman terdahulu, namun sayang baru sekarang-sekarang ini digembar-gemborkan sebagai perundang-undangan dalam suatu hukum hak azasi manusia. (b) Pertanyaan yang sangat mendasar bagi seorang laki-laki; apakah pada mereka diciptakan kasih sayang dan cinta terhadap sesama, sehingga tercipta makna dari sebuah rasa yang sangat murni serta utuh untuk sebuah kelengkapan dari mahluk yang mulia nan sempurna. (c) Sehingga penyerataan bukan hanya sekedar basa-basi dan bujuk rayu dari romantika sebuah arti cinta belaka. (d) Dan perempuan tidak dianggap sebagai alat untuk memproduksi keturunan.
66 Karena daya nalar manusia tidak dapat menerima, bahwa di Taman Firdaus ditemukan sebuah makanan yang diciptakan Tuhan namun Tuhan melarang untuk memakannya, yang daripadanya dapat menyebabkan manusia dikeluarkan dan diusir dari Taman Firdaus tersebut, padahal di surga adalah tempat sebaik-baiknya tempat, maka daripadanya akal saya meraba-raba dengan kalimat, “Taman Firdaus tidak sama dengan surga yang nantinya akan ditempati oleh manusia-manusia unggulan.”.
67 (a) Merupakan suatu kajian yang harus diperdalam sehingga manusia dapat mencerna dalam pemahamannya dengan kalimat ironis tersebut, bahwa manusia harus menempatkan segala sesuatunya dengan benar. (b) Harus adanya pengkajian pada alkitab-alkitab, tanpa adanya sebuah penafsiran yang membuat kekacauan pemahaman manusia awam.
68 (a) Timbul tanya untuk kelayakan dan jawaban untuk dipertanyakan. (b) Daya nalar saya menyebutkan, dan saya kurang meyakininya, bahwa jika Tuhan menciptakan Bumi setelah manusia diusir maka mungkin sekarang Tuhan sedang menciptakan surga dan neraka. (c) Dan saya pun setengah yakin, jika bumi diciptakan sebelum manusia diusir, maka bumi adalah tempat bermukimnya Setan. (d) Namun saya yakin, Tuhan yang Maha Cerdas adalah sesuatu yang mempunyai perencanaan dan rancangannya yang luar biasa hebatnya. Dan manusia tidak tahu apa-apa dan tak bisa apa-apa akan hal-hal yang diluar batas daya nalarnya, sehingga hal ini saya sebut sebagai awal dari ke-Ghaib-an.
69 (a) Merupakan pemikiran untuk dapat menjadi manusia yang beriman. (b) Karena seorang Nabi tetaplah seorang Nabi, Nabi adalah utusan Tuhan, yang diutus untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada umat manusia, dengan membawa sebuah agama, agar manusia mengagungkan nama Tuhannya (beriman), bukan yang lainnya (agar oleh padanya tidak menjadi manusia yang sesat). (c) Diantara para Nabi ada yang mempunyai mukjizat untuk menunjukan kekuasaan dan adanya Tuhan, karena Nabi hanya perantara manusia kepada Tuhan, dan Nabi dituntun oleh Malaikat atas daripada kehendak dan izin Tuhan.
70 (a) Karena hidup menduakan perasaan dan mengadukan pemikiran, namun timbulnya pemikiran disebabkan oleh perasaan, dan di sini seorang perempuan mempunyai peranan yang besar terhadap apa yang dinamakan dengan perasaan, yang oleh padanya menyebabkan seorang perempuan mempunyai hawa nafsu yang lebih besar dan tak terkontrol dibandingkan dengan seorang laki-laki dengan pemikiran yang tak membawa perasaan. (b) Bahwa dalam pemikiran perempuan selalu membawa perasaan.
71 Karena setiap awal ada akhir, dan dalam kehidupan selalu ada akhir, namun di sini bahwa ada awal yang paling awal, dan dualisme ini menyebutkan ada akhir yang paling akhir.
72 Merupakan ironisme dari sebuah kodrat yang dipakaikan dalam bentuk teologi dengan dogma yang kering, sehingga nilai dari kebenaran dan kebaikan hanya dipakaikan pada sebuah penilaian manusia belaka.
73 Seperti hanya struktur dari post-modernisme yang sangat empiris, yang mana kehendak merupakan titik balik dari epistimologi niat dan ambisi akan masa depan untuk mengubah masa lalu. Disebabkan permainan kata yang sangat sering dijumpai dan penuh kekecewaan akan warna dan rasa.
74 Bahwa diri manusia terkekang sehingga tidak bebas dari adat yang latah, dari penilaian yang dangkal, dari nilai kebenaran yang terbatas, yang sering kali berbenturan dangan apa yang dinamakan dengan akal sehat. Adalah sebuah pemahaman dini yang diajarkan oleh orang terdahulu (nenek moyang), sehingga kini orang mencari sebuah perubahan menuju sebuah revolusi nilai-nilai dari dalam diri manusia, meskipun terkadang pencarian nilai tersebut terjebak dalam ruang lingkup orang kebanyakan, yang pada akhirnya orang kebanyakan, menyebutnya “sesat”.
75 Bahwa didalam jiwa ini ada sebuah roh yang siap menggila, jika tidak dapat ditemukan medianya yang tepat, maksudnya adalah bahwa pada saat seseorang bertindak dan berkata, lewat peperangan antara pemikiran dan perasaan, terkadang yang menjadi nilai pada jiwa tersebut itu adalah dengan penilaian bahwa itu adalah sifatnya, yang seakan-akan tidak dapat diubah.
76 Jika manusia benar demikian adanya, maka dapat dikatakan bahwa apa yang dicari dari dalam diri seseorang adalah sebuah sifat, sifat yang diturunkan/diberikan oleh Sang Pencipta, dan apa yang dilihat dari diri orang lain pun merupakan sebuah sifat, sifat yang diberikan oleh Tuhan kepada diri orang lain; maka adalah sebuah hal yang akan mengejar dan dikejar dalam sebuah pencarian diri dalam diri, dengan sebuah sifat-sifat Tuhan, dan jelas bahwa yang berkehendak, dengan tindakan dan ucapan adalah sebuah Sifat Yang Maha Agung, yang tak lain adalah Tuhan.
77 Pasivitas; pasrah, bahwa dirinya adalah ciptaan Sang Pencipta; karena kita diberikan kesempatan untuk dijadikan ciptaan-Nya; atau lebih jauh lagi adalah bahwa manusia bukanlah Tuhan.
78 Manusia merasa bahagia dengan penderitaan yang didapatkannya, seakan-akan salah satu dari sebuah peringatan, sedangkan kebahagiaan yang didapatkan dari tawa, dianggapnya sebagai kabar gembira, yang harus disyukuri, agar tidak terjebak ke dalam lumpur-lumpur memabukan dari penggembiraan saja.
79 Bahwa semuanya berurutan secara terus-menerus, seperti memilih antara “penyesalan dibalik balas dendam” atau “balas dendam dibalik penyesalan”.
80 Adalah dogma-dogma kering, doktrin-doktrin yang dangkal, yang perlu dikaji untuk memerlukan keyakinan, karena tradisi menyatakan sesuatu yang dilarang namun tanpa kejelasan, tanpa ada sebuah tanya untuk mendapatkan sebuah jawaban, layaknya sebuah mitos yang ditelan mentah-mentah, seperti daging dan darah; antikodrat
81 Ditujukan bagi topeng-topeng yang bersembunyi diantara kepalsuan dan keburukan, yang mana mereka menamakan diri mereka sebagai kemurnian, kebajikan dan kebenaran; dan semuanya atas unsur keironisan dari metafora keberanian dan kejujuran; adalah kebaikan dan kebagusan yang mengandung makna keberuntungan belaka.
82 Sebuah hipotesis akan sebuah awal dan akhir, yang diyakini oleh suatu iman yang besar, untuk mengungkap sebuah antropologi untuk unsur sejarah, yang mana menjadikan beban mereka adalah sebuah proses berpuluh juta tahun yang lalu. Akan budaya, diangkat menjadi sebuah seni, kehidupan yang berseni dan kehidupan yang berbudaya, yang tak pernah mati, hanya terkubur dalam batu-batuan (terbungkus untuk sebuah misteri).
83 Sebuah tipu daya muslihat, yang penuh dengan mistik, yang diantaranya menjadikan sebuah pembohongan besar; bahwa apa yang kita lihat tidaklah sama dengan apa yang kita rasa, dan nilai dari apa yang dilihat dengan apa yang dirasa menjadikan titik baru, bahwa indera tidak boleh dipisah-pisahkan, karena bila indera dikumpulkan akan menjadi sebuah nilai besar akan kesamaan dengan apa yang dirasa.
84 Bukankah Tuhan membenci orang-orang yang melakukan tindakan dan ucapan yang spontan, yang di mana didalamnya hanya terkandung makna yang tidak sungguh-sungguh, yang ada didalamnya hanya kesempatan bukan niat; namun akal sehat mati saat apa yang manusia niatkan tidak terwujud, sedangkan apa yang kesempatan berikan selalu terwujud.
85 Bahwa didalam sana ada sebuah larangan untuk bertanya, sehingga awal dari sebuah gerbang dari kebenaran, dan kebenaran bukanlah sesuatu yang gratisan, ada sebuah kerasionalan yang intensif, yang didalamnya bukanlah berisikan orang kebanyakan melainkan para pemikir-pemikir, didalam jiwanya terdapat kumpulan tanda tanya, segalanya adalah hipotesis yang akurat dan relevan, dan oleh karenanya cenderung bersebrangan dengan orang kebanyakan. Namun jiwanya tidak ingin mengambil resiko, tapi pencariannya disebutkan oleh orang kebanyakan, khususnya kaum ortodok sebagai langkah yang melawan kodrat. Didalamnya jiwanya ada sebuah presfektif akan metafora dan fiksi yang alamiah dan ilmiah, yaitu mencari jawaban atas penyataan-pernyataan, untuk sebuah nilai dari kebenaran-kebenaran.

1 comment:

Anonymous said...

Terima kasih atas informasi menarik