Wednesday, February 4, 2009

SENYAWA REKAYASA

Bagian yang tidak tampak,
namun banyak penampakan-penampakan yang bila disadari lebih jauh,
diri dan hatiku terasa tiada,
hampa dan kosong; s
ekan-akan sepenuhnya.


Sederhana saja, seingatku akan masa-masa terbaik, masa yang terburuk, masa keemasan yang belum aku dapatkan dan masa yang sama sekali tidak aku sadari bahwa waktu telah berjalan cepat dan menghanyutkan ku diantara ombang-ambingnya mimpi serta harapan; dan aku masih merindukan mu; oh dosa-dosa yang menjadikan hati merasa bersalah, sehingga harus berserah, terbuka dengan kelapangan-dada yang memungkinkan datangnya cahaya.
Seperti bintang-bintang, berkedap-kedip dalam hitam dan birunya langit-langit bumi pada malam hari, aku terbuai hingga terjaga, dalam kejauhan aku mencoba membayangkan jatuhnya bulan, ataupun datang dan perginya bintang-bintang menuju bulan. He666x, seorang teman berkata, “Kau mengkhayal, kau mengakar dan kau memulai kegilaan, dengan panjangnya teori-teori hari akhir”.

Jika ada sekuntung bunga mawar, tanpa duri diantara batangnya, maka sempurna.
Lalu, sempurna sudah kemuliaan-Nya dalam dunia yang fana ini.
Takjub........................., aku tak dapat mengucap satu kalimat pun.

Kebodohan yang disertai kepolosan, mungkin akan terlihat tolol dan konyol, namun ada kalanya kecerdasan menjadi buih-buih kecerdasan dan kewajaran yang luar biasa, serta tidak luput dari mata kenyataan yang memandang tanpa sebelah mata, dalam arti secara tidak langsung membuat aku tercengang dengan kalimat yang terlontar dari beragam keadaanku yang terdiam mengamati dan mencermati proses setiap kejadian alam, meski tidak keseluruhan, namun yang terjadi adalah bahwa yang ada satu ketololan dan kekonyolan yang dipadukan secara bersamaan menjadi buah dari kegeniusan.
Aku terdiam, dan seperti tidak bernafas, dan seperti tidak berpikir, dan seperti sedang tidak berperasaan.
Embun-embun pagi yang segar yang berada diantara rerumputan, terlihat seperti kristal; air-airnya menetes dan perlahan-lahan menghancurkan batu-batu cadas.
Aku bukan pemuja langit, ataupun penyembah matahari, bulan dan bintang.
Aku juga bukan manusia penyembah api, air, udara dan tanah; dan aku bukan penyembah semua yang hidup ataupun yang mati dialam yang fana ini.
Satu kata, aku hanya merasa ‘Takjub’.
Hanya itu, itu saja.

Aku tak tahu zaman jahiliyyah itu seperti apa, yang pastinya, karena aku tak yakin cerita itu cerita nyata ataukah cerita karangan manusia saja, namun manusia berubah akan mengubah alam maka zaman pun akan berubah. Disadari ataupun tidak, aku punya sejuta cerita yang tak mampu aku ceritakan sepenuhnya, tentang apa yang kalian yakini dan tentang apa yang mereka yakini, tentang apa yang kamu yakini, dan tentang apa yang aku yakini, karena sesungguhnya kita semua haruslah kembali pada diri, pada apa yang kita yakini dan apa sebenarnya kata yakin itu sendiri, karena apa yakin itu benar-benar kita yakini; sepenuhnya.
Seperti zaman-zaman sekarang ini, zaman para manusia memakai celana jeans ketat dan memakan makanan siap saji; oh aku terbuai dengan fatamorgana sebuah karya seni dalam bidang pakaian dan merasa jijik dengan fenomena-fenomena jenis-jenis penyedap rasa kimiawi untuk dunia yang bukan hanya sekedar sumber kekuasaan dan kekuatan saja. Jelas, apa ini dan apa itu, namun mengapa ada juga orang yang masih bertanya-tanya hingga perlu kita jelaskan dan diperjelas, maka munculah reaksi-reaksi yang tidak diperlukan.

Disini ada peperangan.
Antara pikiran dan perasaan.
Antara keinginan dan keyakinan.
Antara impian dan asa.
Disini ada ledakan dari senyawa atas nama diri.
Antara ruang dan waktu yang tak menentu.
Antara dimensi dan media yang tak pasti.
Antara esensi hati dan estetika diri yang anarkis dan kritis.
Kini, telah memicu sumbu dari bom waktu untuk meledak, dengan cepat, “BOOM”.

Apakah diriku sempurna? kamu?, apakah hidupku sempurna? kamu?. Aku terjatuh dan berdiri, kadang sendiri dan kadang tidak; aku berjalan dan berlari, kadang sendirian dan kadang tidak; dan aku lihat bayangan hitam mengikuti diriku, ia kadang didepanku dan ia kadang dibelakangku; bayangan. Terlontar sudah jawaban akan kecacatan diriku, dalam catatan akhir tahun 1999, aku terpuruk oleh racun-racun dan candu-candu yang membuat aku merasa nyaman dan aman, bebas dan lepas, sepenuhnya? tidak. Aku terkubur dalam-dalam, dalam sebuah lumbung obat-obatan dan daun-daunan, ‘Mengkhawatirkan’, itu kata yang sempat dicetuskan oleh kekasihku dan ‘Mengucilkan aku’, itu adalah kalimat yang aku dapatkan saat teman dan orang tua yang aku anggap sebagai pahlawan dan ilmuwan serta penemu, ternyata hanya sebuah topeng diantara rasa kasih sayang yang berbuah kholdi. Aku mengasingkan diri, lari dari ilmu alam yang pasti tidak dapat aku lawan, seperti temuan-temuan Galileo; yang tidak dapat aku kalahkan, tentu lebih dari Galileo, yaitu Tuhan.
Menjadi manusia bodoh!, sementara aku mendapatkan beribu kata dan berjuta kalimat, tetap aku berharap kita dapat bertemu dalam satu bahasa, dalam satu pengertian dan pemahaman; tak peduli sama atau beda.
Memanjakan diri diantara para penegak hukum, seperti menanyakan ketepatan waktu pada orang yang tidak aku kenal, ataupun memandangi seorang yang hanya aku rasa aku mengenal dia, hanya itu dan hanya itu, itu saja.
Selimut salju, hangatkan ku.
Kalbu biru, selamatkan ku.

Apakah itu Rumah?.
Seperti apakah itu Rumah?.
Rumah, oh Rumah; dimanakah Rumah itu?.

Masih ingat akan goresan-goresan kecil, dikertas gambar, penuh warna-warna dari crayon, saat aku berusia 9 tahun.
Gambar rumah, tentang rumah, isi dan bentuknya.
Begitu indah.................................
Namun, kini aku merasa tidak betah.
Duhai, dualisme yang aku harapkan mati; maafkanlah aku Tuhan.

Berilah aku sepenuhnya, apapun itu, apakah itu kebahagiaan ataupun penderitaan, aku mohon jangan setengah-setengah.

Kenapa para wanita berkata, “Aku salah, maafkan aku dan mari kita lupakan semuanya”.
Dan para wanita selalu berkata pada lelaki, “Kenapa kamu tidak mengerti sedikitpun tentang aku, sedikit pengertian, itu saja, tidak lebih, sedikit pengertian”.
Lelaki berkata pada hatinya dengan keras, “Oh, aku butuh waktu untuk menyendiri, kenapa dipertanyakan soal pengertian?!”.

Jadi apalah artinya kita, sebagai manusia, sebagai mahluk hidup yang mulia, sebagai sesuatu yang lengkap, antara hak dan kewajiban; bilamana ada cerita cinta tentang bertepuk-sebelah-tangan, tentang keputusan sepihak, tentang kekejaman-kekejaman yang diciptakan oleh rezim-rezim otoriter, oleh orde-orde penguasaan yang terfokus disatu arah. Ini adalah sebuah sketsa, bagaimana bugilnya dan diarak-araknya aku oleh sesuatu, yang jelas, terungkap dalam fatamorgana-fatamorgana keegoisan yang sangat manusiawi, diantara selangkangan para pelacur, diantara betis kaki para wanita yang memakai celana jeans ketat, diantara jilbab-jilbab yang tipis, diantara robekan-robekan kertas dan kain-kain putih namun penuh noda atas kejujuran dan kecantikannya. Sesuatu yang disamakan atas dasar terpaksa, mereka memangkas diriku menjadi 3 bagian, bagaikan maklumat dan dokrin-dokrin yang mengisi surat pengesahan ataupun surat pengantar, yang berisikan bahwa ‘Menjadi orang baik pun belum tentu masuk surga, menjadi anak pintar pun belum tentu naik kelas, menjadi penjahat pun belum tentu masuk penjara, dan menjadi-menjadi yang lainnya’, yang hanya berisikan dokrinisasi. Sementara aku masih bergelut dengan hal yang masih tertancap mantap, bahwa biarlah terlambat asal selamat dan kalau tak bisa jangan diam namun bertanya, maka sesungguhnya yang dinamakan alienisasi adalah sesuatu yang ganjil, yang condong mengarah pada arah terdepan tapi penuh kelemahan, yang mengatur dengan kebijakan-kebijakan atas dasar kekuasaan, penuh; alienisasi adalah kalian-kalian, kalian manusia, kalian yang beranggapan manusia tertinggi, sehingga aku dan keakuan yang berserakan dihadapan badan kalian adalah tidak ada.
Sampah demi sampah, pembangunan ini makin membuat aku berpikiran sempit dan rumit, mengajak hati untuk kritis dan anarkis, mengundang kriminal dan mengantarkan jiwa pada psikiater handal. Mesin-mesin ketangkasan, mesin-mesin atm, mesin-mesin adalah kita-kita yang diperkuda, yang diperbudak, yang dipaksa, yang tak pernah menuntut suatu hak, yang dianggap hanya bisa menjalankan sebuah aturan negara, yang terinjak-injak diantara suara seruling bambu yang lembut, ditaburi bunga kematian, dibicarakan opini-opini para pegosip ataupun kritikus-kritikus politik diselokan, dilempari tomat-tomat busuk dan ditelanjangi lalu diperkosa secara ramai-ramai dan secara bersamaan.
Jijik, sungguh menjijikan. Diantara tempat-tempat yang basah ini, terlihat darah, darah yang berwarna merah, kotoran-kotoran berserakan sehingga kaki-kaki kita tidak bisa lepas dari padanya, kuning; mengantarkan kita kepada keserakahan (Mengingatkan aku pada sebuah penyakit stroke/keadaan koma/sekarat) dan ini sungguh menjijikan. Mengantarkan kita pada lendir-lendir, cairan-cairan air liur dan kotoran-kotoran lainnya yang berwarna hijau dari muntah; jijik, sungguh menjijikan.

Secara terpaksa, aku laksanakan.
Secara merangkak, aku terjemahkan.
Semudah angka dan abjad, aku meludahi hal yang menjijikan.
Pengap.........
Terasa dalam dada, tersadar.

Entahlah, apa itu yang namanya kepastian? mungkin yang kita butuhkan sekarang adalah ketepatan bukan kecepatan.
Aku merasa, saat ini, aku tidak mempercayai adanya sebuah renkarnasi, tidak mempercayai adanya kiamat dan adanya alien ataupun setan.
Mungkin hanya kekejaman yang ada didunia ini, karena itu yang paling aku rasakan saat ini. Tentang kasih sayang, memang ada namun absurd. Semata-mata kasih sayang itu hanya sebuah nama ataupun kata yang tanpa makna dan fakta, sekilas aku ini terbang, menyatu dengan alam dan elang, namun sekilas juga aku berenang, menyatu dengan laut dan ikan, tapi sebenarnya aku masih berpijak diatas tanah yang hitam bersama mahluk hidup yang lainnya.

Apa itu?!
Yang terbesar dari yang terbesar?, Maha.
Yang terbaik dari yang terbaik?, Agung.
Yang terbanyak, dari yang terbanyak?, Tuhan.

Semuanya milikku, semuanya ada padaku, semuanya. Tuhan ada dihatiku, Setan ada dihatiku, Malaikat ada dihatiku dan Binatang ada dihatiku. Diotakku terdapat buku-buku, baju-baju dan guru-guru, namun bersamaan dengan itu semua tinggalah aku bersama perasaan aku yang terkadang seperti cahaya, api dan tanah. Semuanya tinggal udara yang terasa sepi, makin terasa sunyi dan tenang, namun terkadang menyeramkan. Itulah sedikit cerita tentang apa yang ada didalam diri ini.

Aku adalah kesunyian yang tak akan mati dalam satu musim.

Akhir bulan mei, aku melihat banyak hal, sangat banyak sekali. Contohnya; tentang burung-burung gagak yang baru saja menetaskan telur-telurnya, ia kini menjadi lebih kritis dari sebelumnya, ia kini melindungi anak-anaknya dari bermacam bahaya, karena ia berpikir itu bahaya. Gagak-gagak, burung yang biasa tidak dapat meninggalkan tradisinya sebagai burung hutan, kini ia berada dikota, ia merasa nyaman dengan makanan dan tempat tinggal. Ia adalah sumber aspirasi terkecil yang pernah aku lupakan.

Ada baiknya jika aku tiada.
Mengherankan dan mengkhawatirkan.
Tak pernah luput dari sergapan dan serangan dari dalam diri.
Berkelahi.
Jika keberadaan kita didunia sebagai manusia ini adalah benar adanya, jadi mungkin saja bila kita adalah salah sebagai kenyataannya.
Diambang waktu dan suara-suara gemericik air dan kusutnya plastik-plastik pembungkus makanan siap jadi.
Mengarung deras dalam cakrawala khatulistiwa, aku sebagai apa?.
Kembali aku urungkan kalimat-kalimat mendustai, sebagaimana dikatakan ‘Realis akan krisis ini bagai duri-duri dari bunga mawar dan daun putri malu’.

Ada sejuta tanya dan jawab, akan hidup ku dan akan mati ku.
Buah apel dan anggur dari surga tak bisa aku makan, arak-arak dari surga tak bisa aku minum, bidadari-bidadari cantik dari surga tak bisa aku tiduri; hujan tak bisa membasahi, panas tak bisa menyinari, mendung tak bisa menghitamkan; sementara aku duduk diteras, didepan api unggun yang aku nyalakan, diantara rimbun pepohonan yang terdengar suaranya oleh liuk-liuknya angin, aku menjadi hitam diatas hitam, menari-nari, aku menjadi putih diatas putih, bernyanyi-nyanyi. Nyata, aku seperti tidak ada namun ada, aku seperti ada namun tidak ada; mengarungi tiap helai rambut. Dalam kesunyian dan kesendirian yang aku mamfaatkan ini, prilaku buruk ku berkata dalam hati, “Lakukanlah kesalahan, lakukanlah sebuah dosa, apalah arti sebuah dosa!”, oh aku terkurai dengan pernyataan yang mengundang tanya, “Iya, apa itu dosa?!”. Sepi makin dekat dan sunyi makin pekat, hitam terarah melindungi aku dari warna-warna yang lainnya. Dalam ruang yang masih tersedia, dalam waktu yang tercipta, dalam dimensi yang tercermin dan dalam media yang penuh misteri; kini, apalah kini; yang lalu, apalah yang lalu; kedepan, apalah yang kedepan. Penjarakan aku dengan asap-asap kecil dari lubang-lubang internit dan dari celah-celah dinding yang retak.

Sepi makin dekat dan sunyi makin pekat, hitam terarah melindungi aku dari warna-warna yang lainnya.

Semakin benci aku dengan alam yang indah dan lengkap ini, sungguh semakin sungkan aku menjadi pemabuk dan pecandu, aku semakin rindu hal-hal yang menerawang didalam angan, tentang asa yang tak akan pernah hilang, asa yang selalu berubah mengikuti perabadan yang semakin tidak beradab.

Sial, aku terjatuh.
Sial, aku tak percaya dengan adanya kesialan.
Dan aku semakin sial, karena aku tak percaya dengan keberuntungan.

Jadi sekarang ini kamu adalah sesuatu yang akan berakhir dengan indah, bohong besar bila semua itu adanya. Jadi mari kita sekarang bicarakan, tentang apa yang telah aku dan kamu lakukan dan katakan, tentang hal ini dan semuanya, ini tidak sepatutnya kita lakukan secara bersama-sama. Jangan biarkan aku menjadi tinggi dan kering.
Kau seperti sebuah pesanan ataupun tiket masuk bioskop yang belum aku tentukan untuk menonton jenis dan judul filmnya, yang aku tahu, karena aku telah memesan kamu lewat sesuatu yang jauh dari pengetahuanku tentang kamu dan Tuhan. Jadi biarkanlah ini menjadi akhir yang indah.
Temanmu berkata kepada ku, dibelakang ku, bahwa aku ini bodoh dan tolol adanya. Tentang kerumitan dan keunikan ku, namun mereka tidak mengetahui aku, begitu juga dengan kamu. Jadi kesakitan ini tidak ada obatnya, jadi obrolan kita ini sudah sepatutnya menjadi sebuah rasa gelisah yang tidak akan pernah dapat menjadi obat penawar untuk kelapangan gejolak bathin.
Dan kau pun lari, lari jauh dariku, menghindari karena kau berpikir bahwa kau adalah satu-satunya, tapi terima kasih atas semua yang telah kau ucapkan, kau saksikan dan kau tepuk-tangani aku dalam kejatuhanku yang teramat dalam.

Jadi semuanya hilang, tanpa diselamatkan.
Jadi semuanya berakhir, tanpa dipertahankan.
Jadi semuanya tak tersisa, tanpa kenangan.
Jadi semuanya peperangan, berantakan.

Hey, izinkan aku berteriak, keras, berteriak karena tak kuat, berteriak keras.
Disini banyak misi-misi dengan akhir penyengsaraan rakyat dan omong kosong yang penuh dengan pengorbanan dari sampah-sampah. Hitam.
Tak ada yang bisa aku kerjakan, cacat jiwa. Mengharap dari sebuah isi-isi pikiran orang lain, seperti sebuah kertas koran kemarin hari yang tak sempat aku beli dan aku baca.
Disini tak ada kartu kredit, tak ada uang untuk membeli roko, ataupun mobil untuk aku tumpangi, disini semuanya hancur, patah dan berantakan. Aku dan kamu seperti patahan kayu api.
Orang-orang tak mau mendengarkan, seperti anggapan-anggapan mereka yang kusut akan muka ku, dan aku dan kamu adalah korban dari kesabaran ini, dan ini semua adalah proses tanpa kendali, proses tanpa memperdulikan siapa orang nomor satu.
Biarlah aku menjadi sampah, biarlah aku menjadi penembak jitu, ataupun menjadi teroris yang menyandera orang tak bersalah atau mungkin menghancurkan dunia hanya dengan tinggal menekan tombol-tombol saja.
Mati dalam kedinginan dan hidup dalam kepanasan, ataupun sebaliknya. tak ada yang lebih baik dari dunia khayalan, utopia yang terbelakang dan terbelakangi.

Siapa yang akan aku selamatkan, dari dualitas pilihan.
Kembar.
Ganda.
Tersungkur badanku yang bau, diiringin kekecewaan yang diakibatkan dari runtuhnya tembok-tembok harapan.
Pecah, menjadi teks-teks kepribadian.
Mengakar.
Menunggu sisa-sisa cahaya dari kemegahan, kemuliaan dan kemasyuran.
Bias-bias, buyarkan makna dan maksud.
Jadi, satu diantara dua adalah apa?

Dalam ketenangan aku membuat kalimat-kalimat yang sama sekali tak mempunyai konteks sebagai teks-teks untuk pembelajaran pengukuhan namun lebih jauh dari itu semua aku tak meyakini kalimat-kalimat yang telah ada, bukannya aku ingin menjadi seorang Pencipta, namun aku adalah sisa-sisa dari abjad yang mereka katakan ‘Sampah’. Mengukur jiwa dalam jiwa, mengukur raga dalam raga, seperti sebuah rasa yang ingin dijilati oleh lidah ataupun sebuah kulit yang seutuhnya ingin disentuh sepenuhnya, semakin lama jiwa dan raga kita semakin jelas dan terang menyadari bahwa air liur ini tidak dapat aku tahan sebagai apa yang harus kita teladani dalam gelas-gelas pecah ataupun kristial-kristal yang menyatu dalam seluruh kotak harta karun kerajaan yang ketakutan untuk mengenal sebuah sihir.
Lalu dilarangnya, diharamkannya; atas dasar sadar ataupun telanjang. Pada akhirnya manusia-manusia akan mengasingkan satu sama lainnya, dengan dasar yang sama sekali mereka tak sadari. Maka pada dasarnya manusia harus kembali pada kata-kata yang mendasar yaitu ‘Sadar untuk diri, lalu orang yang terdekat, orang yang terjauh, dan orang yang sama sekali tidak kita kenal’. Bila hatiku ini bukan sepenuhnya milikku, maka pikirkanlah kembali untuk mencoba mengasingkan hati orang lain, berpikir untuk tidak memikirkan kemenangan dan kekalahan, setidaknya kita sebagai manusia yang tak terbang dan tak berenang, manusia yang hanya berpijak pada tanah, dan manusia yang sadar betul bahwa ia sedang berada diatas tanah.
Dari pertama dan ini untuk yang terakhir kalinya, dari dulu sampai dengan sekarang aku tetap merasa menjadi manusia yang sama, sama dengan rindu ku yang tak tertahankan dan penyesalan yang dalam, tanpa pengakuan tentang hal-hal yang tidak masuk akal.

Karena hidup ini adalah misteri, maka kau adalah misteri bagiku dan aku sendiri merupakan misteri tersendiri bagiku.
Yang ingin aku ungkap.
Pada rindu yang busuk, pada cinta yang penuh sandiwara, pada boneka-boneka yang bau, pada topeng-topeng penuh alas wajah yang tebal, pada amarah, nafsu dan shahwat yang ingin aku ludahi, pada imajinasi-imajinasi yang terkadang akhir dari semuanya adalah bisnis-bisnis yang bermanupulasi, monopoli dan kolusi yang tak berakhirkan.
Mengulang jiwa dengan pengulangan, dan manuskrip ini adalah ketiadaan, ketidak-inginan dan kehampaan.

Takala aku yang diam mencermati dan mencoba memberi opini tentang arti gerak dan pergerakan, dalam arti yang komplek. Jika saja pada saat A berkata, “Perkataan terkadang tidak berarti”, B lalu berkata, “Aku setuju, karena berbuat itu lebih baik dan lebih berarti”, lalu C beropini, “Terkadang berkata pun sudah merupakan keberanian, dalam arti berkata terkadang jauh lebih baik dari pada berbuat”, A lalu mengomentari C dengan kata-kata seperti ini, “Jadi menurutmu bertindak itu tidak jauh dengan nilai 0 atau 1 dibandingkan dengan berkata yang mendapat nilai ½ atau 1, jadi menurutmu bagaimana?”, B lalu berkata, “Bergerak adalah sebuah langkah, dalam arti tak peduli kedepan, belakang, kiri, kanan, atas ataupun bawah, bergerak adalah sebuah perubahan, yang dapat disimpulkan bergerak adalah sebuah dasar dari perubahan, yang mengikat dalam dasar-dasar apa yang harus dikata dan harus ditindak-lanjuti, dan harus aku tambahkan bahwa semuanya masih dalam ketergantungan dan kemungkinan pada kondisi dan situasi, dan ditambahkan juga toleransi”, C lalu berkata, “Betul dan tak ada yang benar ataupun yang salah dalam pembicaraan kita saat ini, yang benar adalah Tuhan dan yang salah adalah Setan; jadi bergerak menurut A dan B adalah baik, bukan benar; jadi apa salahnya jika kita memulai pergerakan-pergerakan yang dilakukan raga, dipikirkan jiwa dan mengilhami rasa”.

Mungkin adalah mungkin, terikat dan terkait.
Bergantungan dalam kondisi dan situasi, serta toleransi yang menjadi unsur seni dalam kaca mata piramida sastra.
Bagai paradigma yang menghilangkan sesuatu, apapun itu.
Terikat dan terkait.

Reaktor nuklir kini menjadi sarana dalam memajukan suatu bangsa dan negara.
Negara, dewasa ini artinya makin meluas, menurutku sekarang ini negara-negara bagaikan sebuah perusahaan yang ingin memajukan anggota-anggotanya, iya betul, tidak jauh dengan arti koperasi menurut Moh. Hatta.
Banyak narasi-narasi yang terbentuk secara naratif dan homogen. Induksi-induksi mengakar pada senar-senar gitar, mengingatkan kita pada David Bowie.
Makin sulit memang, namun apa daya dunia tercipta bukan atas dasar gagasan semata, namun menurut rasa kebersamaan. Mungkin kini terdengar seakan-akan tidak dapat dipercaya ataupun tidak konstans dalam konteks teks, namun negara adalah rumah besar dari gubuk dan tubuhku.
Mengakar pada sanubari, berceceran air mani-air mani calon jendral dan presiden, mengeja manik-manik asal India dan bulu-bulu elang asal Indian, serta tak luput dari bangsa Aborigin dengan bomerangnya. Banyak letupan dan letusan dari bubuk mesiu para penjajah dan senjata-senjata tangan para penindas ataupun manusia-manusia yang haus kekuasaan yang tak tertahankan dan tak mau dikalahkan, seperti tumpukan sampah dipinggiran jalan ataupun trotoar yang telah berubah fungsi sebagaimana mestinya. Sekarang ini, pada masa sekarang ini juga, manusia tetaplah manusia, mereka tetap sama seperti pada masa dahulu, namun zaman yang dikatakan dan dibentuk oleh manusia mengatakan yang dahulu adalah cerita lama dan sejarah. Namun kini, pada saat ini, mereka-mereka tetaplah mereka yang dulu, yang terkurung oleh impian dan harapan, yang terjebak oleh obsesi dan ambisi, yang teraniaya oleh visi dan misi dan mereka adalah mereka yang beranggapan calon jendral dan calon presiden.

Apa peduliku untuk menangis, dan peduli untuk merasa dan berpikir.
Seekor anjing mengejar kucing yang sedang mengejar tikus ataupun sebaliknya, satu dari mereka terlindas ban karet truk pengangkut peti kemas yang melaju cepat.
Aku hanya melihat, tak merambat.
Dari dasar pemikiran, ‘Mereka binatang’.
Oh aku bukan seorang Nabi yang bisa berbicara dengan binatang, seperti Nabi Nuh As
Namun, sedikitnya aku berpikir dan coba mengeja-eja.
Tak ada alasan untuk tidak berpikir.

Sekarang ini, pada saat ini, pada waktu yang telah berlalu dan pada waktu yang akan aku lalui, pada ketidak-pastian dan pada ketidak-jelasan, aku yakin bahwasanya dengan kesadaran yang sadar, yang tak menyandar pada saat kekalahan datang, yang tak santai pada saat kemenangan digemgaman tangan, yang pada saat aku mengerti bahwa yang aku menangkan dan aku kalahkan itu tidak ada, sampai puncak ketidak-puasan dan kekuasaan yang disertai oleh kekuatan-kekuatan yang tidak masuk diakal. Aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa aku sadar aku ini manusia yang gila, yang sangat tidak wajar.
Saat kata-kata adalah tinggal kata-kata, dan ucapan hanyalah kilasan-kilasan kalimat, maka yang ada dan tiada dialam dunia ini, dijagat alam raya ini, didalam dan diluar, dan segala langit yang ada, yang tertutup cahaya ataupun tidak, yang hidup dan yang mati, semuanya adalah kehampan dan ketiadaan yang hanya ketiadaan.
Sungguh tindakan-tindakan ku tertunda oleh waktu, dalam sebuah pemahaman yang harus lebih dipikirkan, secara berulang-ulang, maka tertanamlah sebuah aku dalam aku yang membatu, tentang apa arti dari matahari, yang tak pernah berhenti menyinari bumi ini, tanpa meminta apapun juga. Sungkan tertimbun ruang-ruang, namun tetap pada yang satu adalah sumber dari sebuah tujuan namun aku adalah proses yang dipenuhi batu dan paku. Pada saat pembicaraan, tentang kebingungan, kehampaan, keputus-asaan, ketidak-puasan dan unjuk rasa-unjuk rasa yang makin gila, tak terkendali dan kehilangan apa yang namanya ‘Kepercayaan’. Aku hanya bisa berkata, “Kau tidak sendiri, pada saat kau berkata dunia ini indah, kau tidak sendirian, pada saat kau berkata dunia ini kejam, kau tetap tidak sendirian. Sesungguhnya kebangkitan, dari kehormatan, semangat dan keberartian adalah segalanya bagi ku dan diriku sendiri, aku sebagai apa-adanya manusia, yang mempunyai impian tentang sebuah negeri dan keberadaan ku dalam sebuah negeri”.

Sadarilah bahwa:
Harapan tinggal harapan.
Kau bangunkan aku dan kalian.
Impian tinggal impian.
Kau bangkitkan aku dan kalian.
Ingatlah:
Harapan tinggal impian.
Kau hidupkan aku dan kalian.
Impian tinggal harapan.
Kau matikan aku dan kalian.
Maka, aku sadar, bahwa aku berkeinginan, yaitu:
Lapangkanlah, kegelisahanku ini.
Lapangkanlah, kegelisahanku ini.
Lapangkanlah, kegelisahanku ini.
Hentikanlah, kegelisahanku ini.

Tak perlu aku cari lagi dan lagi, dimana Tuhan dan kerajaan-Nya yang megah, dengan langit yang berlapis-lapis. Sesaat aku sadar, bahwa dunia ini, dalam pandanganku sebagai aku, dunia akan semakin menjauhi kiamat, karena bumi beserta isinya ini; secara instingku aku mencoba meraba, namun tak bisa semuanya aku raba. Dikala ada kalimat, ‘Aku sebagai Tuhan, Aku menciptakan bumi beserta isinya, tidak ada yang percuma’. Jadi apa lagi yang harus kita gali, cari dan bagi, dalam bidang biologi, fisika, kimia, penemuan-penemuan, dan lain sebagainya; namun aku yakin yang harus kita bagi, gali dan kita cari sebagai manusia, manusia yang tidak menafikan, manusia yang dalam skala untuk ukuran dewasa ini, adalah mensyukuri yang telah tiada dan ada.
Dalam sendi-sendi alam ini, yang dengan sekujur tubuhnya aku cari dalam aku, aku mencari Tuhan pun dalam aku, bukan dalam arti bahwa aku adalah Tuhan ataupun Tuhan adalah aku; tidak, tidak bisa disamakan seperti menyamakan ataupun menyamarkan arti sebuah takdir dan nasib dalam pemahaman yang sangat dini, namun lebih dari itu semua aku yakin Tuhan tidak akan pernah jauh dari diriku ini, karena aku merasa Tuhan selalu dekat dengan diriku, hanya saja aku masih bermain-main dan bermain cinta dengan berkotoran larangan, bernoda dosa dan berbau sesuatu yang haram.
Disini, didalam hati ini, ada ledakan-ledakan yang teramat sangat dahsyat. Sebagai penutupan atas semua pembukaan, maka mati adalah kiamat dan kiamat adalah mati.
Dan aku menyebut nama Tuhan, untuk menjauhi setan, dalam arti aku ingin jauh-jauh dari segala bentuk-bentuk setan yang baru ataupun yang lama, yang aku ketahui dan tidak aku ketahui, kesetanan yang indah ataupun yang tidak, namun dialam ini banyak monster, vampir dan drakula. Jadi pada dasarnya, aku ingin dimaafkan atas semua kekhilafanku ini, sebagai manusia yang sama sekali jauh sekali untuk dikatakan sebagai sempurna.

Jadi ini aku adalah ketidak-sempurnaan.
Namun aku ikhlas, ridho dan berserah.
Lalu, disaat Tuhan tetap Tuhan, Tuhan yang tak beranak dan diperanakan, lalu Ia mengutus utusan-Nya (Nabi), untuk menyampaikan wahyu-Nya (Al-kitab dan agama), dengan segala mukjizat yang diberikan oleh pada-Nya, agar umat manusia menjadi manusia yang beriman.
Oh Tuhan, Tuntunlah aku pada jalan yang benar, yang benar-benar benar, yang baik untuk diriku sebagai manusia.
Aku kembali lagi kepada titik nol, secara derajat dan skala.
Agama dan agama yang ada dalam benak ku ini, “Semoga aku tidak menjadi manusia yang sesat”.
Oh Tuhan, seandainya Kau berwujud, dengan bentuk yang bisa aku lihat, dengar, sentuh dan cium, maka aku akan bertanya pada-Mu, meskipun wujud-Mu itu tidak dapat aku lihat, dengar, sentuh dan cium, maka dengan rasa yang aku rasa bahwa Engkau ada, aku akan berkata dan bertanya, “Pada saat semua agama adalah agama-Mu, maka pilihlah untukku agama yang Engkau mau, yang Engkau anggap aku bisa menjalankannya, agar aku menjadi manusia yang beriman, karena aku ingin mempunyai agama yang satu dan cukup satu, tidak lebih dan tidak kurang”.

Lalu, pada saat itu, kita semua telah sampai pada suatu gagasan yang terbentuk, tentang apa yang kita tanya dan kita jawab. Pada saat etika tutur kata dalam kalimat tak mau lagi menanggapai secara serius dan juga secara norma dan moral yang layak untuk dipergunakan, pada saat karma-karma menjadi sebuah tindakan lanjut, menciptakan opini tentang sebuah azab, yang untuk sertakan secara harfiah-harfiah makna dari sebuah lintasan otak yang tak dapat dipungkiri dan disangkal (Yang tersurat dan tersirat), jadi tindakan lanjut yang menjadi sebuah tindakan-tindakan awal, tentang apa itu mimpi yang sempurna dan hidup yang menuju kesempurnaan. Maka dapat disimpulkan dalam sebuah kalimat, “Tuhan adalah bukan aku, karena kematian yang agung itu adalah menuju hari akhir yang akan menghidupkan, membangunkan dan membangkitkan dari udara-udara yang busuk, serta serba baunya parfum-parfum dunia. Jadi keadaan ini tidak akan pernah sempurna, namun keadaan ini telah lengkap dengan keapa-adaan-Nya”.
Dalam diri ini ada bom, yang siap meledak. dalam pikiran, pemahaman, penjelasan, pandangan, dan dalam langkah-langkah yang terhormat ataupun tidak terhormat, sepenuhnya aku adalah setan yang bergentayangan mencari tempat-tempat terdahulu (Bayangan), tentang apa itu makna ataupun kata yang diberi-namakan manusia, tentang ingatan, kenangan dan nostalgia. Maka secara tidak langsung, aku akan tertawa, terbahak-bahak, lebih dari menertawai seorang pelawak, tentang apa itu dulu ataupun hari kemarin, karena secara tidak langsung aku adalah seorang pelawak yang lucu dan paling profesional yang pernah aku kenal, dengan skame skenario, lokasi-lokasi kejadian, pemikiran yang tolol dan konyol, tindakan sandiwara ala aktor-aktor Hollywood, dan dengan kebodohan yang diterapkan dari kesalah-pahaman dan sindirian-sindiran yang tampak menyenangkan.
Sungguh menyenangkan, rasanya bisa berbagi, bisa mendapatkan jawaban dari kebingungan, keluh-kesah dan kesesatan. Jadi, jika ruang tak lagi berlabuh, jika waktu tak lagi berlalu, jika dimensi tak lagi tersaji dan media hanyalah tinggal meditasi, maka aku masih aku yang dulu.
Aku hanya ingin merasakan disini, lebih lama lagi, bahkan selama-lamanya, merasakan ini saja, tidak ada yang lain, aku merasa lebih baik hari ini, jika aku dapat disini dan merasakan ini. Tidak merasa sendirian dan sendiri.
Oh, aku celaka dan ingin mati lagi, terulang lagi, untuk kesekian kali.
Jika aku lihat langit yang biru dengan cakrawala yang kian menghitam, dan burung elang pun terbang mencari tikus untuk makan, gagak-gagak mencari sesuatu yang kuat untuk dijadikan sarang, camar-camar terdengar gelisah dengan suara-suaranya yang nyaring ditengah lautan yang teramat sangat luas, dan burung hantu diam, terlihat seperti sedang tertidur, ia memperhatikan sesuatu yang kenapa dari tiada menjadi ada, dari tidak mungkin menjadi mungkin dan dari kemarin menjadi hari ini.

Yang dibutuhkan adalah alkohol 40%, rokok dan aspirin.
Obrolan, gagasan, tak terhentak kenyataan.
Sesuatu yang ingin aku dapatkan, cepat atau lambat, adalah kematian yang sederhana.
Dan tak ada yang lebih baik dari sebuah kasur air dan kursi malas.
Diam, sedemikian rupa.
Lebih banyak waktu, daripada sebelumnya, bahwa melihat kenyataan, ia berbicara dengan lugas dan tegas, bahwa, “Kejam dan Indah itu adalah sebuah ungkapan, ungkapan yang didapatkan dari sebuah kesan, kesan yang mencerminkan keadaan, keadaaan yang menanggapi dari dalam diri, diri yang mengungkap sebuah Kekejaman dan Keindahan”.

Coba lihatlah diriku yang terhimpit oleh jendela kamar, coba tengoklah aku yang terbelakangai oleh cahaya kamar dan tataplah aku yang tersungkur didalam jendela kamar.
Butuh banyak, yang aku butuhkan, seperti anak kecil yang pernah aku bayangkan akan pernah aku kandung didalam rahimku, bukan tidak mungkin aku sebagai laki-laki dengan liku-likunya akan menjadi seorang ayah.
Cukup bingung dengan keadaan sekarang ini, keadaan yang aku beri kesan untuk bingung, dalam arti aku menyukai pelacur, bukan dalam arti aku akan melacur.
Seperti para pecundang dan pengecut, dan diantara kata-kata itu adalah ada aku, seperti para teman-temanku, tak peduli ia normal ataupun tidak normal, secara fisik ataupun biologisnya, namun diantaranya, aku tidak pernah akan mengakui tentang keakuan seorang waria.

Lebih aku pahami, apa yang aku pahami.
Seperti sebuah rumah, kecil dan indah.
Seperti sebuah kamar, tanpa hiasan-hiasan.
Lalu, kenalilah diriku ini, keluargaku, teman-temanku dan kekasih pujaanku.
Dan kenalilah diri, lalu Tuhan, Setan dan Agama.
Seperti diciptakannya diriku dan agamaku.
Seperti diciptakanlah setanku dan kesesatanku.
Lebih aku pahami, yang pantas untuk aku pahami.
Lalu Tuhan yang Menciptakan aku, yang secara bersamaan dengan agama dan setan melangkah bersama-sama dengan langkah-langkah kaki diriku; tubuh dan hati ku, mereka saling menumbuhi jalan-jalan kakiku.
Namun yang tidak aku pahami, adalah apa-apa yang lebih Tuhan mengerti dan pahami.

Semenjak sajak-sajak mengarungi jiwa dan syair-syair kata dan dalam puisi mengarungi setiap renung hati, aku seperti telah tidak berarti.
Dalam setiap langkah dan jejak yang aku temui dan aku gali, aku seperti mencari sebuah jati diri, bagi harga diri.
Dengan kehormatan dan semua yang berbau tidak ada apa-apa, aku adalah aku yang bukan aku.
Mengakui adalah sesuatu yang menafikan, dan menafikan adalah langkah awal dari mengetahui apa yang disebut dengan mengakui, jadi aku adalah aku yang hitam dan aku yang putih.
Dimana awal adalah akhir dan juga sebaliknya, yang baru adalah yang lama dan sebaliknya, yang diketahui adalah yang tidak dan sebaliknya, yang disadari adalah yang tidak disadari dan sebaliknya, yang ditemukan adalah yang tidak ditemukan dan sebaliknya, yang ada adalah yang tidak ada dan sebaliknya, dan yang tidak masuk akal lainnya.
Mengintai dari semua sudut yang terabaikan, mentelanjangi dari setiap sisi kehidupan dan mencari dari segala sendi-sendi dan nafas-nafas hiruk-pikuknya kehidupan.
Tak peduli penjara ataupun hukuman yang dibuat semena-mena oleh setiap ras, kasta dan karsa dari bangsa dan negara ini, adalah kepalsuan. Maka dari itu yang baik adalah dari hati manusia dan yang benar adalah dari titik cahaya sanubari manusia, yaitu Tuhan.

Seperti mengobati dan menasehati.
Luka dan bayangan adalah sedikit dari trauma psikologi.
Dalam filsafat dan falsafah.
Esensi dari eksistensi oleh dasar akal estetika yang penuh dinamika.
Kedinamisan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang tidak ada apa-apanya dibandingkan ketenangan jiwa karena tanya dan jawab.
Mencari dan menggali, lewat analisis yang penuh perancangan.
Setiap ekploitasi yang terkandung manipulasi, mengantarkan diagnostik-diagnostik.
Aku terabaikan oleh aku, dan kamu dan Tuhan mengingatkan aku, akan apa itu arti dari aku itu sendiri.
Bertukar-pikiran adalah laksana kapal terbang.

Jadi semuanya adalah bahasa, segala ilmu dalam daya nalar, daya rasa, daya kaji dan daya bersosialisasi.
Tampak mudah bila melihat manusia menangis, namun dibalik itu semua ada rasa yang mendekati mati, dalam mengkomunikasikan rasa yang penuh rasa dan pikiran serta pemahaman yang kacau, jadi sampaikanlah rasa kasih sayang itu kepada seluruh nyawa di jagat raya alam ini, karena sesungguhnya kasing sayang adalah sumber dari segala rasa.

Jika pertemuan adalah perpisahan dan perpisahan adalah pertemuan.
Semuanya adalah rasa, dari rasa benci dan rindu; dualisme.
Jadi segala tindakan itu, pada dasarnya yang empiris adalah rasa yang faktual secara konsep, meskipun secara abstraknya kita sebagai manusia hanya meraba-raba.

Sebelumnya adalah membaca, menulis dan berhitung; dan sampaikanlah bila itu memang diperlukan. Jadi, ilmu apalagi yang akan diciptakan oleh bertanya, oleh filsafat; manusia apalagi yang akan terbentuk oleh menjawab, oleh falsafah.
Kita coba mengingat lagi, ingat bahwa manusia terlahir dari manusia (Ibu) dan tercipta oleh sebuah Zat yang Maha Agung (Tuhan). Akankah kita lupakan dengan begitu saja, karena hakikatnya alam adalah saling bertergantungan.
Terpesona oleh langit (Bulan dan bintang), terikat oleh cahaya matahari yang membuat aku heran, dengan segala tanya yang coba aku ungkap, dengan segala sinar yang ada dalam dada ini, aku terikat oleh alam, secara langsung ataupun tidak langsung aku adalah rasa yang terlahir dan tercipta dari awal hingga akhir. Meskipun aura dari kalbu ini berwarna biru, namun tetap saja rasa heran membuat aku terpesona sehingga aku bertanya yang mengakibatkan aku bermasalah; lalu aku kembalikan dari masalah-masalah itu, aku coba bertanya sehingga aku terpesona, namun dibalik pesona-pesona itu aku jadi terheran.

Jadi, apakah ini yang disebut kehidupan?.
Seperti inikah kehidupan?!.
Tanpa ketahuan dan penuh ketidak-tahuan.
Tanpa kepastian dan penuh ketidak-pastian.
Dan separuhnya adalah aku, aku yang hanya sebagai nafas saja.

Jadi hakikatnya adalah keinginan, kebisaan, kebiasaan dan adat istiadat. Semuanya adalah masalah-masalah.
Terlepas dari baju yang menghalangi sesuatu yang tabu, seperti Nabi Adam yang diizinkan Tuhan untuk membuat kata, dalam arti yang hanya untuk memberi kata pada benda, tak pernah jauh beda seperti memberi sesuatu pada sesuatu.
Ketika tulang-berlulang dinosaurus ditemukan, maka para arkeolog dan teolog mulai bertanya-tanya.

Pada apa, dimana, kenapa, bagaimana dan siapa.
Pada barat, timur, selatan dan utara.
Sungguh mendasar, dan sesungguhnya adalah sebuah dasar.

Dalam kekosongan hari, aku merasa berarti namun tidak, aku merasa tidak berarti namun berarti. Aku hanya merasa untuk berarti-arti, dalam arti aku coba untuk mengartikan sebuah hari dalam arti.
Fragmen demi fragmen mengajak aku untuk berbagi, satu sama lain. Terhimpit aku dan terpuruk juga diriku.
Mengitari bumi tanpa bisa mengartikan satu pulau. Mungkin yang menciptakan sesuatu adalah bukan sesuatu, seperti aku yang menciptakan kesan tentang aku. Apakah itu semu ataupun tidak, namun yang pasti semuanya adalah kesan yang aku ciptakan lewat akal dan nurani, yang semuanya tanpa skenario ataupun manipulasi detik-detik.

Sungguh tak ada yang percuma, sedapatnya aku; dan sebisanya aku untuk berlari 5 keliling lapangan sepak bola dalam 12 menit.

Adalah sebuah tindakan yang sangat tidak lucu dan tidak patut untuk dilakukan oleh seorang Pencipta, Pemelihara dan Pemusnah, dengan kata lain Tuhan pada saat memberi sebuah azab, dalam arti bila azab itu terlihat seperi meriahnya sebuah pesta. Adalah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh Tuhan, bilamana ia memberikan balasan pada jasad yang telah Ia ciptakan dari tanah, maka biarlah tanah menjadi tanah kembali, abu menjadi abu serta debu kembali menjadi debu; bukan seperti cerita-cerita yang dilontarkan para tokoh agama terkemuka, bahwasanya ‘Kematian seseorang akan susah bila tiba pada waktunya nanti, dan pemakaman ia pun akan tidak masuk akal’. Jadi apalah artinya jika ia sebagai manusia sudah tidak ada lagi ada didunia, untuk apa lagi ada permainan-permainan, kebingungan dan keresahan yang hanya untuk sebuah contoh saja, karena semuanya begitu terlihat jelas dan terlihat kasat dalam hal-hal yang tersirat dan tersurat dalam Al-kitab.
Oh bilamana ini semua hanya berkaitan dengan kenamaan, kehormatan, kekuasaan, kekuatan, tahta, harta dan wanita; maka hentikanlah, karena semua ini adalah fana adanya, yang gaib ataupun yang nyata adalah fana adanya selama kita sebagai mahluk hidup yang masih tinggal didunia.
Semuanya akan terlihat jelas, pada saat ini, pada saat kita sebagai manusia masih berada dengan keberadaan kefanaan, dalam arti yang lebih jelas, bahwa manusia pemikir-pemikir akan berpikir pada satu kalimat, ‘Saat hidup kita tak sederajat, tapi saat mati kita akan sederajat’. Jadi kenapa kita sebagai manusia harus mengada-ada, secara semena-mena, atas dasar yang sesungguhnya harus tidak ada, namun aku yakin semua ini masih berhubungan dengan tiga permintaan yaitu harta, tahta dan wanita (Cinta).
Apa yang akan kita tindak-lanjuti adalah manusia mulai merasa dan menganggap dirinya sebagai Nabi.
Sungguh mengesalkan, menghinakan, menyedihkan dan mengkhawatirkan; bahwa ia mulai seperti seorang Tuhan. Iya, disini, didunia ini telah banyak dan mulai tumbuh mengakar jiwa-jiwa gila yang kelaparan, ia mangsa-mangsa jiwa, disini ada manusia menjadi Tuhan.
Telah aku tanamkan, bahwa penilaianku tidak akan pernah jauh dari seorang mahluk ciptaan, yang telah diciptakan oleh sesuatu yang sangat mendasar, yaitu tidak beranak dan diperanakan, dan Ia adalah ada dan esa. Dan tetap aku ingatkan bahwa aku ini bukan seorang nabi, namun aku bisa menjadi malaikat, binatang, tumbuhan dan setan, seperti adanya aku manusia yang tercipta dari tanah, tanah yang melalui proses; dalam arti tanah itu dilapisi oleh api, cahaya, air dan udara, agar terlihat sempurna dan lengkap adanya; agar manusia berpikir secara akal budi, etika, estetika dan logika

Jadi, diri ini tercipta.
Terlahir, dari rahim seorang wanita.
Yang sebelumnya, dibuahi oleh sperma seorang lelaki.
Wanita itu aku panggil Ibu dan lelaki itu aku panggil Bapak, selama aku didunia, dan aku sebagai anaknya.
Didunia ini, yang fana ini, mereka tidak mengetahui bagaimana wajahku, kelakuanku, kelaminku, pada saat mereka menikmati proses menuju kebahagiaan.
Jadi, aku tercipta dari tanah, tanah yang diciptakan oleh seorang Tuhan, bukan tanah yang sudah ada, adanya.
Walau bagaimanapun, aku tetaplah seorang manusia, sejauh apapun aku melangkah, karena aku tahu aku tetap akan berpijak diatas tanah.

Di akhir bulan Agustus dan awal bulan September, kali ini banyak yang aku lihat dan aku dengar, tentang kematian, apakah ini sebuah contoh atau pertanda, namun yang tetap aku yakini bahwa, ini bukanlah sebuah akhir bagiku, dan mungkin dan hanya mungkin, kali ini aku tak mau meraba-raba, namun aku yakin bahwa selama mereka sebagai manusia, selama ada didunia, mereka adalah pejuang yang tak pernah berkhianat dan mereka adalah prajurit yang baik bagi bangsa dan negara.
Jadi, tinggalah jenazah, jasad tanpa jiwa, mata tanpa rona, hati tanpa dirimu, sampai jumpa para manusia yang telah meninggalkan dunia, meninggikan cita rasa tentang dunia, dan kita pasti akan bertemu lagi disebuah gerbang, gerbang yang tak bisa aku bayangkan, namun aku bisa yakinkan pada diriku adanya

Ada kematian disini, kawan.
Bendera kuning, menghiasi rasa rindu dan sedih.
Tak terbendung lagi, linang air mata, tentang kesedihan dan kesenangan selama bersamamu, dan adanya kamu.
Sungguh, sampai jumpa lagi, kawan.
Aku tahu kematian itu bukanlah masa tidur yang panjang, ataupun mimpi yang tak mungkin dapat dibuyarkan dengan bangunan, namun, yang pasti, aku pun nanti akan mati.

Jika kemungkinan ini bercabang, bercabang pada ketidak-pastian dan ketidak-jelasan, maka induk dari semuanya adalah mungkin yang hanya mungkin. Jadi apa mungkin pertanyaan yang, ‘Mungkin yang hanya mungkin’, dapat dijawab oleh sesuatu, ‘Jika yang hanya jika’.
Jadi, pada saat semua orang terluka, terluka dalam segala rasa, luka yang memicu timbulnya sebuah rasa, rasa yang terpicu oleh sebuah luka. Pada saat itu, aku berteriak, dan tak lama, aku menangis.
Jadi, pikirkanlah, jika kita mempunyai apa yang sebenarnya kita inginkan; kita mengada-ada, padahal semuanya telah ada dalam diri kita.
Tenanglah, karena bukan kamu saja yang terluka, semua orang pernah terluka, dan akan terluka.
Tenanglah, meskipun aku bukan dirimu dan sebaliknya; aku merasa mengenal kamu dan pernah menjadi kamu, dan aku tidak mengada-ada.

Tanpa darah yang berwarna merah.
Tak peduli”, itu yang terbisik.
Aku terluka, dan kalian juga

Aku sebagai manusia, kemampuan ku terbatas, terbatas oleh batasan-batasan, dan terbatas oleh ketentuan dan ketetapan. Oleh karena itu, aku tak akan pernah bisa menjadi Tuhan Sang pencipta dan Nabi Sang Pembawa Agama, namun aku bisa menjadi apa-apa selain dari itu semua.

Masih, aku balikkan.
Dikembalikan pada asal-muasalnya.
Tuhan, kau tahu aku kan!, tolongah aku!

Sebuah kalimat aku dapatkan, dari sebuah perjalanan, berisi tentang aku yang terbentuk untuk terpuruk, dalam keadaan yang buruk atau merasa lebih baik dari hari kemari. Sehingga aku adalah kabar burung yang berubah menjadi kabar buruk ataupun kabar buruk yang hnaya kabar burung.
Hanya tinggal satu saja keinginanku, ingin mempunyai burung gagak, yang ingin aku pelihara, selamanya, sampai aku mati nanti. kalimatnya, yaitu;

ditempat ini, ditempat yang sunyi hingga suara gemericik air selokan terdengar, bening.
disini, langitnya terlihat gelap, terkesan akan turun hujan, hitam.
aku dan 1 bungkus Marlboro yang tinggal 13 batang lagi, menjadi saksi.
kepulan asap dimulut ini hinggap ke paru-paru ku, aku harap ini tanpa api dan cepat hilang.
apakah aku sial? oh tidak, aku tidak percaya dengan adanya kesialan.
jadi, apakah aku beruntung? oh jangan, aku tidak percaya dengan adanya keberuntungan.
hai tanah yang aku pijak dan langit yang aku tatap, sedemikian indah dan kejam namun tetap kau berwarna hitam dan putih diantara latar belakang yang biru.
aku jadi ingat Tuhan, ingat akan Kaka.
jadi ingat agama, ingatkan aku akan Kamu.
dan aku tancapkan kata-kata, aku tak akan menunggu waktu dan tak akan menyerah pada keadaan.
Serta, kata indah dan bahagia bukanlah hanya dilidah saja.

No comments: