Wednesday, February 4, 2009

BAWAH SADAR BERTANYA

Dualisme
Adalah tanya yang mendasar, yang berlawanan arah, seperti halnya rasa, cipta, citra, kesan, selera, dan lain sebagainya, namun diantara segudang pertimbangan sebuah kontroversi adalah kebijakan dan kebajikan yang mengakar pada apa sebenarnya yang harus? Seperti yang cantik seharusnya apa dan bagaimana?, tak jauh pula seperti yang indah seharusnya apa dan bagaimana?, namun perlu dipertanyakan pula, sebenarnya bahagia itu untuk apa?!

Lalu pada hakikatnya ada sebuah perbedaan yang mendasar antara sebuah proses dan hasil, alangkah baiknya jika apa yang diterapkan dalam sebuah wacana yang relevan dan otentik dalam menyikapi sebuah sesuatu yang ilmiah dan empiris, seperti halnya apa yang pernah saya katakan mengenai, tuhan, doa dan dosa, sebenarnya apa yang membuat permintaan maaf dan terima kasih bukanlah cinta ataupun kasih sayang ,namun lebih dikarenakan rasa pada dunia, ya bisa dikatakan karena cinta dan kasih sayang namun lebih berat karena dunia, seperti manusia-manusia yang malu dan takut karena dunia. Dan mereka-mereka itulah yang bisa dikatakan mahluk hidup yang menyayangi kehidupan.


Karma
Bukan hanya sebagai dogma yang berkembang dikalangan para agamis, namun lebih dari pada itu adalah sesuatu yang tak masuk akal namun nyata.
Sebagai mana yang telah diungkapkan dalam cerita-cerita manusia-manusia dahulu, pada masanya, pada masa yang tak jauh beda dengan kita, gelap. Bahwa keajaiban, mukzijat hanyalah satu buah unsur dari apa yang dikatakan sebagai ketidak-mampuan manusia (dalam arti bisa dikatakan bahwa sebagai bukti bahwa tuhan itu memang ada), bahwa karma adalah batasan manusia, yang hanya dapat diciptakan oleh sang pencipta, namun berawal dari proses sebab dan akibat dari manusia untuk manusia. Oh keindahan dan kemurnian, adalah suci bagi setiap mahluk yang berpikir mendalam.


Benang Merah Antara Takdir dan Nasib
Maka yang terjadi biarlah terjadi, yang berlalu biarlah berlalu. Namun keikhlasan, hikmah, dan lain sebagainya, akan pemikiran serta pandangan kita dalam menyikapi kehidupan (bukan menyiasati kehidupan), sebagai mana sebuah kata dari spiritual, right and true.
Belahan jiwa adalah fantasi, yang mana didalamnya terkandung harapan, bilamana ada orang mengatakan bahwa negara ini adalah negara tanpa harapan, maka jelas bahwa manusia yang ada didalamnya telah putus asa. Lalu optimistis seorang laki-laki hilang, narcis seorang wanita tiada, dan posesif dan sensitivitas seorang biseksual ataupun homo tidak lagi terakui.
Jadi masa depan adalah harapan dan impian. Masa depan adalah nasib, dan nasib ada ditangan manusia, dan manusia bisa merubah nasibnya menjadi baik ataupun buruk. Nasib bermakna relatif layaknya wanita cantik.
Sedangkan masa lalu adalah kenangan dan kenangan. Masa lalu tidak dapat dirubah, selayaknya sejarah, jadi masa lalu adalah takdir. Takdir bermakna mutlak layaknya wanita jelek.
Namun demikian, masa sekarang (yang sedang dijalani) tak terlepas dari dua unsur yang saya sebutkan tadi, masa sekarang adalah masa yang terjadi karena masa lalu (takdir), namun masa sekarang pun dapat menentukan masa depan (nasib), jadi sebenarnya ada sebuah sebab-akibat ataupun akibat sebab, yang mana saya maksudkan adalah karena takdir jadi nasib, atau sebaliknya. Dan begitulah karma yang selalu mengikutinya. Semoga kita semua adalah mahluk yang beruntung. Namun sayang, saya tidak percaya dengan adanya keberuntungan.


Keberuntungan dan Kebetulan
Pada hakikatnya urusan tuhan, namun saya adalah saksi dari kehidupan yang tanpa bukti, yang mana hanya kasat mata saja, namun perasaan dalam dada ini dapat diketahui oleh sang pencipta, yang mana rahasia apapun dapat diketahuinya, adalah sejati dan abadi.
Namun apakah neraka dan surga itu suatu tempat atau hanya nama saja. Adalah tanda tanya, maksud saya apakah hanya keberuntungan atau kebetulan seperti ying-yang, yang disebut dengan kehidupan
adalah usaha dan doa (dunia adalah tempat transit manusia, hidup adalah sebuah ????). Karena ada pencipta lalu ada ciptaan, seperti profesor dan penemuannya, namun jelas bahwa terima kasih dan maaf adalah rasa syukur dari apa yang disebut dengan hikmah dan sabar. Karena hanya tuhan yang sejati. Dan manusia kelak akan akan abadi, pada suatu saat nanti.
Lantas kenapa setan tak meminta maaf pada penciptanya pada saat diusir dari tempat yang disebut dengan taman surga? Lantas dimana rumah surga itu?
Adalah hak setiap manusia untuk meminta maaf dan tidak meminta maaf ataupun memberikan maaf atau tidak, namun jelas sudah tanda kebencian ada dalam setiap diri manusia. Mengakar dan terbawa kubur, semakin dalam semakin menjadi dendam.
Jadi, sekarang kita seperti ini adalah kebetulan?
Apakah kita seperti ini dapat dikatakan sebagai keberuntungan semata?
Sebenarnya, yang seharusnya itu apa?
Mungkin sandiwara manusia, mungkin sandiwara dunia, atau mungkin sandiwara sang pencipta.
Atau mungkin kita adalah senyawa rekayasa.
Adalah mungkin dan hanya mungkin, adalah jika dan hanya jika.


Kehampaan
Adalah trauma yang bercampur kepedihan. Beberapa diantara kata yang pernah saya punyai adalah kata-kata mengenai sesuatu yang bukan ‘aku’, pelik untuk menghadapi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan sendirian karena rasanya sangat tidak wajar jika bertanya hal yang bukan-bukan (seperti tingkat kesadaran yang dialami pada masa-masa tertentu), dan memang terkadang ada suatu guncangan yang hebat saat akan bertanya tanpa henti mengenai eksistensi diri pada diri dan pada sesuatu yang bukan diri, yang sedemikian rupa memperkaitkan totalitas pada setiap jiwa yang berbeda-beda.
Tak luput pada setiap kata yang membudaya, pada setiap bahasa yang penuh makna, yang sedemikian rupa beragam, hingga pada ukuran yang tidak ada, pada hitungan yang tak terukur dan juga pada angka dan abjad yang tak terhingga. Ditampakan oleh diri-diri yang mampu berdiri tegak pada sebuah doktrin yang berkultur pada sebuah adat (tradisi yang latah), yang terkadang ada sebuah tanggapan yang singkat pada sebuah gagasan yang salah kaprah, dan saya mulai memperbaiki serta memulihkan dari sisi sebuah reformasi prilaku.
Diantaranya ada segudang kalimat yang menjadi sebuah dogmatis dalam sebuah wacana-wacana yang tak tertuang dalam penghantaran setiap jiwa yang terluka, menggapainya dengan kalimat-kalimat yang sesungguhnya tidak bermakna dan berfakta, pernah terpikir untuk berontak namun akankah revolusi ini membawa arti? Warna bendera apalagi yang akan berkibar?
Tak jauh beda dengan sebuah pertanyaan mengenai sebuah sesi keagamaan.
Apakah janji Tuhan itu janji palsu?
Apakah alkitab itu hanya karangan manusia?
Apakah agama itu hanya sebuah sejarah yang direkayasa manusia?
Apakah peringatan itu?
Apakah kabar gembira itu?
Apakah petunjuk itu?
Dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan sesuatu keganjilan dan kekhawatiran tentang sebuah arti dari hari kemudian ataupun hari akhir, yang dipercaya ada dan merupakan alam yang terakhir daripada alam dunia yang sesungguhnya hanyalah semu semata. Lalu dikatakannya, “sesungguhnya aku tidak jauh beda dengan kamu, aku adalah manusia yang sama-sama menunggu”. Namun perlu saya pertegas, aku bukanlah ayahku dan engkau tidak seperti ibumu.


Rahim dan Surga
Telah datang sebuah pencerahan pada ku, pada suatu waktu yang tak bisa berbentuk sebuah bilangan, selayaknya do’a ditambah dengan usaha, dan hasilnya adalah Terserah Tuhan.
Jadi, mana yang dapat kita percaya?
Dapatkah Tuhan kita percaya?
Jadi, apakah kita akan membuat sebuah kepercayaan?
Atau kita akan membuat Tuhan yang dapat dipercaya?
Katakanlah, pada satu Tuhan yang tanpa rahim dan juga tidak berrahim, adalah Dia yang esa, sejati nan abadi, karena Ia-lah Tuhan yang Maha atas segalanya.

Disebuah tempat yang saya katakan sebagai sebuah kata yang indah, dengan bahasa yang sempurna, adalah sebuah tanam impian yang benar-benar ada, ialah surga yang kita tuju. Pada Tuhan yang kita puja, disana ada antrian panjang menuju tempat singasana mahluk-mahluk mulia, adalah manusia.
Damai – nyaman – merdeka – bebas.
Adalah adimanusianya yang mulia.
Jadi keinginan melebur pada suatu pencerahan, dan rahim adalah cerah adanya, seperti sinar mentari pada waktu pagi beserta dengan embun-embun. Ataupun cahaya bulan diantara jutaan bintang. Dan nafas panjang adalah udara yang sejukan jiwa.


Cinta
Apakah Itu? Obyek? Subyek? Predikat?
Tak ada kata yang tepat untuk dijadikan sebuah kalimat, ataupun sebaliknya. Yang saya tahu gila, buta, dan entahlah.
Melengkapi, memahami, mengerti, dan tidak merugikan orang lain.
Entah sebab, entah akibat. Tak ada lawan kata yang tepat, dan tak ada kawan kata yang tepat pula.
Tak bisa diartikan namun bisa dirasakan, yang terkadang tak bisa diucapkan sehingga pengutaraannya pun tak bisa diungkapkan.
Saya artikan ‘lain’, ‘aneh’, ‘unik’, dan ‘canda dan candu’
Percaya adalah dasarnya untuk merasakan, dibuatnya gila adalah perlahan namun pasti, diperbudak adalah kenistaan dan biadab, dan sebab dan akibat akan mati ketika egois dan idealis pun melebur menjadi sebuah alat menuju perdamaian, damai antara jiwa dengan jiwa; adalah bahasa hati—bagi pemerhati; cinta.
Menarik pada yang ‘lain’. Tertarik.


Tanya dan Takut
Bersyukurlah............ karena kalian tidak mengetahui tentang HAL YANG BANYAK, namun diketahui oleh sedikit orang.
Bershabarlah....... apa yang kalian tunggu akan datang melalui kegagalan dan jalan-jalan yang aneh. Lihatlah aku....... salah satunya, yang tak terungkap... yang jatuh, YANG BANGKIT.

Hasrat dan selera ini membawa kesan..... alangkah indahnya.
Penalaran ini saya coba untuk saya rasakan dan ketahui, tak peduli dengan apa yang akan dirasakan oleh perasaan saya, yang terpenting kehati-hatian.
Ya.... sejarah kurang lebih adalah sepotong roti dan sesingkat tawa jenaka.
 Bukan tentang insting dan intusi........ ini adalah pengalaman.
Baik yang hidup, ataupun.......... entahlah.....
Yang pasti takut adalah hidup, malu adalah wajib, dan bertanya adalah nyawa.

Jadi, siapakah kalian sebenarnya?
Adalah anda-anda sekalian yang bertanya untuk takut!!!
Agar hidup...
Tanpa rasa malu..................................
Dan tawa, sekarang melebur menjadi ‘tanya kenapa’


Kebingungan
Hanya kata yang dapat berkata... karena sebagai penyelamat hati kalian, adalah ketenangan jiwa.
Tenaga bukanlah sebuah modal, namun mental akan sangat kalian perlukan.
Berasa tidak berharga!!!!!
Mungkin terjadi, hari ini........ adalah hari saya tua.

Saya tak dapat berkata, soal hati harus berhati-hati..
Namun saya muak, jika hati ini ditutupi

Coba dengarkan saya bicara, yang tak tahu apa-apa!
Dalam bingung, yang berjalan dalam kegelapan.
Apakah hidup cukup dengan menjalani saja?!?
Apakah saya masih dapat memilih? Masih mampukah saya?!?

??Jalan mana lagi yang harus saya tempuh??
[?]

Maka yang lalu biar berlalu, yang terjadi ya terjadilah.
Namun, saya mohon jangan lihat saya dari hari kemarin....
Masa lalu ku kotor!!!!
Dan kemarin adalah hal yang teramat kotor!!!

Bingung!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dan satu hal, indah jika dilihat dari kaca mata binal.
Dan jalang adalah perkataan budaya.
Sementara agama?!?!, berkata ‘Banggakah kalian dengan semua itu?’


Hasrat, Selera, Kesan dan Rasa
Bagaimana jika semuanya hanyalah sebuah ilusi belaka, sebuah rekayasa.
Yang mana saya maksud ini bukan tentang keimanan, panca indera, daya nalar ataupun jalan pemikiran, namun ini hanya sebuah ilusi.
Oh siang yang yang panas, nafsu dan dendam bercampur dengan keringat dan semua itu menghasilkan aliran darah yang deras.

Lalu, dimana keinginan itu......
Ha999x, sebagaimana harapan ‘tuk bahagia yang berubah menjadi derita.
Siapa yang salah............
Hai para hakim dan para penjaga hati.
Lihat disana!!! Ada mahluk mengeluarkan peluru nilai.
Dan mereka menyalahkan orang lain, lalu hedonisme dan egoismenya tertindas, sehingga terlibat sudah idealisnya yang mati, ya mereka saling menyalahkan diri sendiri.
Dan semuanya adalah ilusi

Bagaimana menurut anda?!? Tak ada jawaban. Membisu sekaligus tuli.
Dan sedikit kalimat yang dibawanya, diam adalah emas.

Cinta memang tak harus memiliki, namun cinta adalah kehidupan, kehidupan yang dimiliki; namun yang dimiliki oleh kehidupan hanyalah ilusi, dan ilusi selalu bercampur dengan kata memiliki.

Adakah diantara kalian yang tertawa dan berkata, “Untuk apa?”
Dan saya berkata, dengan penafsiran yang menurut saya sendiri, “Hasrat”; seperti bahagia dan sejahtera.
Adalah keinginan yang menjadi harapan, yang ingin terwujudkan jadi kenyataan, namun ilusi tetaplah ilusi.

Sebagaimana sebuah perkawinan, yang oleh sebagian orang dikatakan sebagai sebuah kesenangan ataupun kewajiban.
AhH..... penderitaan dan resah gelisah.
Adalah sebuah kisah.

Dan selera adalah segalanya.
Tanpa selera semuanya tiada rasa.

Namun kesan adalah sebuah rasa yang tersembunyi.
Sebuah olok-olokan.

Dan rasa adalah akhir dari sebuah kesan.
Apapun itu, rasa adalah ilusi.


Keimanan
Tetap merupakan sebuah proses, namun akankah melupakan sebuah interplasi?
Dimana daya nalar menjadi nomor dua, karena adanya yang disebut dengan mukjizat ataupun keajaiban. Ya selayaknya cinta yang dapat dikatakan sebagai keajaiban dunia. Tak dapat dimengerti, seperti tahu namun tak dapat menjelaskan. Merupakan batas wilayah, yang mana kekuasaannya dipegang oleh satu, yaitu Tuhan, yang sejati dan abadi.
Jadi, sebenarnya keimanan itu apa?

Yang disebut dengan cobaan adalah dunia, sebuah dualisme ditawarkan, bahagia dan derita tetap saja merupakan sebuah cobaan.
Yang mana dilain pihak jujur bisa bermakna pahit dan bisa juga malu.

Saya berkata, “siapa saya sebenarnya?!?”
Lalu, ‘kenalilah dirimu sendiri, maka kau akan tahu siapa penciptamu’

Ya, saya bukan seorang pioner ataupun arsitek, saya hanya seorang perencana saja, yang mana rencana saya tidak akan pernah sempurna, karena hari ini bukan milik manusia, begitupun dengan hari esok ataupun hari kemarin. Karena hari adalah waktu, dan waktu kepunyaan Tuhan semata saja.

Jadi yang egois itu siapa??
Adalah manusia yang tak sempurna, dan maklumlah karena manusia tidak sempurna.

Keimanan bisa menjadi akar dan bisa juga menjadi buah.

Katakanlah, “siapa dirimu? Dan siapa Tuhan mu?”


Titik Noda
Yang indah hanya fantasi saja....
Dan kenyataan akan menghantam orang-orang yang diliputi oleh ilusi, tak ada pelindung bagi semua orang, semua sisi akan disi oleh tembok yang berisi coretan hitam dan putih. Dan langit tak lagi peduli......... mereka hanya molekul, mereka bukan mahluk hidup yang biasa menangis karena tidak bisa.
Namun harapan mati bersama dengan hasil.
Yang ada nanti bukanlah suatu hasil dari sebuah keinginan, namun yang akan sangat dinantikan adalah sebuah ‘keinginan’.
Maka hiduplah orang yang bercita-cita......... meskipun tak mungkin, hal itu tidak sama dengan ilusi. Sebuah maya akan merona, jika anda semua percaya pada saya, ada getaran yang luar biasa dibalik cinta. Dan perempuan adalah mahluk yang paling istimewa jika dia benar-benar seorang perempuan, jadi sebenarnya perempuan itu seperti apa?

Suci kah? Bukan dalam arti perawan atau tidak.........
Coba lihat disana, ada bidadari, bukan pada langit namun pada mata hati, kejujuran!!
Kebenaran dan keadilan bukan urusan manusia, moralitas adalah hak asali yang pribadi. Namun damai adalah hak universal.

Dan cinta akan hidup dalam sebuah berita dan cerita, ‘dunia milik kita berdua’. Adalah titik noda dari egoisme yang murni.


Teka-Teki
Merupakan sesuatu yang tidak mengerti, sama sekali tidak dapat dimengerti, yang tersisa hanya sebuah kata ’lupakan’. Bukan sebagai permainan kata ataupun memilah-milah menjadi sesuatu yang tidak berguna. Seandainya diri ini tidak lagi berarti, lantas kenapa belum mati dan juga masih sadar sebagaimana mestinya.
Ada sebuah jalan..................... jalan-jalan diantara sebuah bayang. Hitamnya, putihnya, merahnya, birunya, hijaunya dan abu-abu.

Sanggupkah tak akan lari............ namun sanggupkah untuk tidak melukai, airmata ini.......... airmata apa ini?!?

Air adalah tawar, tak berasa namun mempunyai nilai kehidupan yang sangat besar, dan rasa adalah ilusi, sebuah kesan yang didapat dari sebuah pesan. Sebagaimana perasaan, ‘aku ingin mati!!!’

Yang pertama adalah jujur, dimana kebenaran adalah merupakan tanda tanya besar, bukan mempermasalahkan tentang kemenangan ataupun moralitas, namun adakah pesan dari semua teka-teki?!?

Sebuah stigmatanya adalah labirin........... ya labirin dan labirin lagi, seperti sebuah karma dalam dualisme.