Wednesday, February 4, 2009

PENDAHULUAN

1 - Untuk Semua Mimpi
A. Hari Pertama
Aku berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan manusia-manusia, diantaranya ada yang menghisap ganja dan adapula yang bercanda serta tak lupa pada manusia yang selalu berbohong, angkuh dan kecewa.
Keluar dari ruang penuh sesak aku menuju sebuah halaman yang dimana orang-orangnya sedang melakukan kegiatan, seperti perkumpulan orang senang dan disana pula aku menghisap ganja. Orang yang aku tinggalkan datang pula mungkin karena asap ganja yang terlalu banyak menekan dada.
Aku merasakan jenuh akan semua kata dan perbuatan yang sementara beberapa orang bermain ayun-ayunan, lalu aku pergi menuju tempat sebelumnya. Ternyata waktu diperjalanan aku melihat orang berumur sekitar 13-16 tahun, aku menyapa dari kejauhan tapi ia lari dan akupun mengejarnya. Sampai ditikungan, padahal aku ada tujuan menuju tempat yang pertama ternyata tikungan yang aku lewati itu salah tapi aku tidak peduli sama sekali karena mengapa orang yang aku sapa malah lari ketakutan.
Tiba-tiba dalam tikungan itu aku melihat seekor harimau sedang berbaring tenang dihalaman rumah orang lain, aku tetap saja mengejar meski orang aku kejar telah menghilang. Sampai beberapa meter dari tikungan itu banyak sekali harimau dan singa yang sangat banyak dan salah satu diantaranya menggigit siku tangan kanan ku, tapi aku tidak takut meskipun aku terluka, aneh aku tak berdarah.
Beberapa orang mencoba menyelamatkanku dari harimau dan singa yang banyak itu tapi aku merasa takut sedikitpun, singa itu mendekat seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi aku terbangun.

B. Hari Kedua
Dalam sebuah jalan saudaraku yang memakai motor ingin meminjam kaos kaki berwarna hitam tapi aku hanya punya kaos kaki berwarna biru, katanya untuk  main sepakbola.
Aku mencari sebuah, aku dengan keakuaan dari aku, lalu aku melihat sebuah konser Iwan Fals disana hanya ada beberapa orang penonton dan aku tepat berada didepannya sambil duduk dan tak memikirkan tentang kaos kaki malah aku mulai bertanya dimana jam tanganku, lalu Iwan Fals datang sambil menyapaku dan berkata sesuatu ditelinga kananku. Lalu . . .  ia pun mencium bibirku dan aku terpaku heran dan bertanya pada apa saja, “Apa aku seorang homo ?”, ada jawaban tapi hanya jam tangan.
Tiba-tiba konser kecil itupun berakhir, lalu aku berpikir aku mengantar Iwan Fals itu menuju rumahnya bersama dengan wanita yang ada disamping kiri waktu aku nonton konser itu. Tapi yang terjadi wanita itu tertinggal, entah karena apa tapi sepertinya ia mencari jam tangan juga. Saat aku berjalan dengan Iwan fals aku menemukan beberapa jam tangan, lalu aku pakai dan sebagian aku kantongi disaku celanaku.
Pada saat kepergian Iwan fals, aku bertemu dengan wanita itu dan mereka berdua menghilang.
Aku mencari aku dalam sebuah kamar seorang teman, disana aku menemukann wanita yang tertarik oleh sebuah jam tangan yang aku temukan dan aku pakai. Dua lelaki teman ku mulai menyapa dengan tujuan yang jahat, tapi apa yang terjadi wanita itu tertarik akan sorotan mataku, maka dimulailah percintaan kami dalam kasur yang sepertinya tak berbusa, kami melakukannya hampir sama dengan binatang.
Setelah itu kedua temanku menghilang juga, “Hey, ada apa ini!”. Hanya wanita itu yang disampingku, ia penuh senyum dan sangat berharap akan sesuatu yang telah dihilangkan bersama karena jam tangan, akupun demikian.


2 - Pengantar Kata Realitas
Kamuflase yang kini kian menjadi diam, seperti ia yang makin kehilangan rasa absurd, makin jelas kemana langkah sebuah benda yang akan dikubur. Kita terbagi dalam bagian yang hina, ya . . semata memang sama namun dalam nyata sebuah gerakan arus bawah dan alur perbedaan tingginya harkat, martabat dan derajat jadi masalah. Anti sosial . . , memang itu yang sempat menjadi cetusan sebuah kronik budaya yang makin menambah panjang deretan angka-angka yang membayangi nol dan nol.
Terpandang dalam sebuah cerita ringkas, tapi ringkas belum berarti singkat. Beberapa orang mulai mempunyai kerongkongan yang panjang sehingga ronga-rongganya berkata dan berbicara disebuah wacana, namun hanya sempat berkomentar saja.
Sebuah idiom yang mengungkap frase-frase menjadi jurus tandukkan lawan, siap karena apa saja akan menjadi pengantar sukses hidupnya. Beberapa langkah dari kebijakan dan urutan waktu yang tak nyata sering menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Maju mundurnya kita, tidur bangunnya jiwa, terpuruk dan bangkitnya semangat.
 Berpendapat yang sia-sa saja, menggugah. . . memang namun hanya ungkapan bukan sebagai tindakan. Berontak, menggapai asa bukan hanya dalam bayang dan ruang khayal, waktu yang berpihak malah berkhianat terhadap perkumpulan suatu lembaga yang tersusun dan terstruktur dalam hitam diatas putih.
Tertidur diatas ruang dengan warna cat yang buram dan suram . . . . . .
Hentak berkata dalam hati, aku tak bisa mengambil keputusan disaat otakku berseberangan, kacau-balau seperti susana perang Vietnam.
Teknologi aku gunakan diantara sofa-sofa murahan aku mengungkap rasa yang kian hilang, dalam benak aku mulai kehilangan setir mobil ku yang catnya semakin buram seperti ruangan tempat aku berada.
Kita terarah menjadi sebuah roda yang berputar selayak bumi dan gujangan boom, tolol memang bila yang kita ciptakan untuk mempermudah malah menjadi mempersulit. Jadi letak kejeniusan manusia sekarang menjadi sebuah penilaian tersendiri yang relatif bergantung pada manusia dan tetap terpengaruhi wacana media.
Pernah sebuah wacana dan iklan mempersatukan kita disaat bencana tiba ataupun ada tangan Tuhan yang berperan, tapi sekali lagi kita menjawab tanya sampai kapan Tuhan akan sabar melihat kita yang kadang seperti orang yang tidak beragama.
Beberapa tiket yang tersedia dimuka loket menjadi sebuah daya tarik pemuja uang, ada Tuhan dalam poya-poyanya. Menjadi angka belasan dalam penilaian seorang guru adalah sesuatu yang tidak terlalu buruk namun tetap saja jangan ada kata mungkin dan mungkin, dimana ketegasan kita dan dislipin diri. Salah tetap salah dan benar tetaplah benar, namun hidup didunia tidak menawarkan itu apalagi kesempurnaan.
Jadi pencapaian diri yang absolut namun absurd terletak dalam mimpi disaat kesadaran tinggi tiba bukan pada saat mimpi-mimpi saja, kita terkurung dalam sangkar aturan. Ya . . kita memang ada disana, kalau kita tolak dan melanggar aturannya maka ada ungkapan, “Hidup atau mati, penjara atau rumah sakit”, tapi ada kemungkina tidak sama dengan ungkapan, “Surga atau neraka”.
Tapi perjuang kita tetaplah harus sampai pada titik darah penghabisan, benar kalau kita berkata, “Merdeka atau mati”.
Berteriak menceritakan beban yang sedang ditanggung, kita yang terlihat suci dan murni dalam sekujur tubuh yang menutupi kotornya kotoran yang telah dicerna, seakan menutupi sebuah namhai diantara timbunan gunung es yang menunggu sinar mentari yang akan mencairkan dan membaurkan bau yang menyesak.
Beberapa mata dibalik kacamatanya yang menyimpan luka diantara debu cahaya.
Jiwa skeptis kita bukan sekedar rasa egios yang mengalami pendalaman dalam masa pencarian, para pemuda malam yang menunggu cahaya bulan disaat gelap datang, satu persatu dari mereka menyatu merapatkan barisaan ditengah-tengah jalan yang berbeda, dan mereka tepat berada dijembatan gantung. Dengan membawa beban omongan yang menghakimi mereka dengan membawa ayat dari Tuhan, “Aku dihakimi, aku divonis”.
Kita keluar dari keterbukaan yang saling bertubrukan, agama yang kita bawa menjadi daya khayal bahwa ada yang lebih baik dari bumi ini, cerita tentang surga dan neraka.
Apa aku gila ?.
Ada keraguan yang menjadi beban, ada rasa yang ingin aku ungkapkan, tapi sepertinya aku sedang bermain saja. Seperti kita melihat rumah dan kita tidak memasukinya hanya berada dihalamannya atau pagar rumah saja. Aku seperti sedang memperdalam tapi mengurung waktu.
Berdasarkan jawaban yang aku temui dan aku temukan, aku menjadi lemah dan tak berdaya karena cinta dunia dan harapan akan cita yang tertunda.
Aku sedang memilih agama dan bukannya memilah dan mengkotak-kotakkan agama, jadi sebenarnya aku terbuat dari tanah atau bukan ?,  ups . . . apa yang aku katakan.
Seperti berlari dijalan bebas hambatan yang tak ada belokannya, memilih itu tidak seperti menjawab pertanyan pilihan ganda, dan setiap jawabannya mempunyai resiko, kewajiban, dasar dan lain-lain.
Aku lelaki yang berkepala botak.
Kita seperti mencari jawab dari ujung langit yang tak bertiang, apa yang kita lakukan semuanya dan segalanya secara garis besar adalah semu, relatif yang terus-menerus konstan.
Aku telah banyak membaca buku, diantaranya mereka meniti dengan mengajak pembaca menuju lembah curam.
Ada kaca mata tebal dikarenakan matanya rusak entah apa penyakit yang dideritanya, deraan positif dan negatif tetap menanyakan kejadia yang terang-terangan diperdebatkan, sebagai wacana ataupun hanya sensasi belaka.
Aku membaca dan aku melihat seperti aku merasakan angin dari arah barat.
Banyak buku yang menceritakan suatu kaum/umat/hamba kepada Tuhan, dimana diceritakan perbedaan-perbedaanan agama yang satu dengan yang lain, dimana dikotak-kotakan suatu agama menuju agama yang hanya bsisa dipercaya, hanya agama yang semata semu.

No comments: