Wednesday, February 4, 2009

INDICATION part 3 (PREDIKSI)

Signifikan
Identitas yang teridentifikasi
Menulis dengan penuh tusukan jarum yang berpusat didada
Helaan nafas yang menahan lelah
Ingin mati tanpa rasa
Bersayap yang menawan; menawarkan dunia dan mengantarkan surga
Manusia sekarang takut mati
Apa yang hendak dicari sedang digali

Asa dan birunya mata disaat kelambu tiba
Tulang kebosanan memaparkan syaraf-syaraf keganjilan
Banyak keakuanku yang tidak mau diakui
Menjerit dan menangis; sesal diantara sesaknya hiruk-pikuk menatap curiga kesempurnaan
Hidup ditengah-tengah mimpi buruk
Sirat makna dan suratan arti
Berbeda dengan keadaan 8 tahun silam
Sepi tawa yang membaur sukma diantara aura
Membuang air mata, cerita dan berita; otak kosong penuh kepolosan
Langkah bernadi tunjukan pendalaman udara yang terhipnotis cuaca
Lepas dedaunan kering
Terbawa angan melihat darah dan balas dendam
Karangan bunga dan air mata cinta; bahagia kepalsuan dunia menebus penjara bathin
Diam, dijaga para pengawal khayalan
Suara-suara perdengarkan isi hati; naluri yang terkuak oleh hasrat sanubari
Pancaran energi melepas roh yang menatap kamar seperti kuburan/tempat pemakaman
Mata katup makin tertutup; dibayang kabut yang berwarna abu

Ternyata aku tak kuat lama
Menghantu seperti cinta penuh noda
Tertipu seperti dosa yang berkarat
Hancur seperti batu yang melebur
Hampa seperti udara yang menggelembung

Semak, dalam karpet aku merasakan gatal
Uh, . . kalsium ku kurang

Beberapa tangkai bunga mawar; aku akan mati hari ini; hatiku dan juga semangatku
Selalu awal yang berakhir
Ya . . . semakin jelas

Pandangan gunung dan bintang
Seperti awan dan pepohonan
Antara biru dan putih

Ada aku; hampa

Pasungan jasad
Guratan jiwa yang terpasung dalam sangkar besi yang berkarat
Karat meratap menggoyang semua raga yang tersisa dalam semangat yang luluh rantak
Mempertanyakan apa
Yang disalahkan; Yang dibenarkan

Berdiri
Ujungnya pedang menjadi silsilah keluarga kerajaan tanah air
Mereka bangsa bahari
Mereka bangsa yang dibanggakan
Merdeka atau mati

Diatas lambang yang membungkam makna
Persaudaraan tetapkan darah yang mengucur dari tangan seorang musuh
Pertemuan dengah kasih yang mengandung hasrat dalam perjamuan pengkhianatan
Kepalsuan yang ditetapkan aturan

Janji yang mengurungkan ditepati
Sumpah yang diumbarkan; kabar dari Mekah
Palestina oh Palestina
Hujan bebatuan yang terdapat dalam pertikaian perbatasan

Mereka yang tak bisa berpolitik
Mereka yang bisa mengumbar janji
Mereka yang gagap menyebut sumpah
Mereka berusaha pertahankan tanah kelahirannya

Aku Rindu
Aku lari ke pantai dengan teriakan kepenatan
Dari buku-buku yang singgahi pengki-pengki
Kerling buyarkan cahaya Tuhan yang tanpa awan ataupun lubang

Teman bukan sebuah lilin
Teman bukan sebuah lampu
Teman adalah cahaya yang tak akan padam

Aku ditanya oleh Tuhan, “Hendak kemana kamu ?”

Sendiri
Tatkala hari menyepi
Tatkala semua angan hanya sebuah asa yang bisa aku panjat seperti tebing yang menjulang tinggi, tapi tetap aku berkhayal bediri di atas puncak tebing itu dan menancapkan bendera
Atas nama hatiku
Atas nama yang bukan hanya nama

Hanya saja
Kemana aku akan mengadu, bukan pada seorang bapa
Aku tak akan menumpang tidur ke tetanggaku
Akan lebih baik seperti bunga liar trotoar
Akan lebih baik menjadi liar seperti buangan

Kemana aku mencari jawab, tak akan aku tanyakan pada seorang yang berpenyakit
Kesadaran tingkat tinggi

Mengandalkan, mengapa aku menyandar diantara tembok-tembok retak, diantara dinding-dinding yang rusak, diantara bangunan tua dan diantaranya terdapat warna cat yang pekat serta kusam
Aku serentak berkata, “Sayang, aku hanya melihat dari dekat, andaikan aku melihatmu saja, bukan untuk saling bersahaja, engkau gunung yang gundul karena perumahan tak tertata”

Musik itu haram
Mungkin, seketika mabukku kumat
Lalu, serentak sadarku datang
Hingga, aku berkata mencela dan mengejek
Karenanya aku tak menyukainya dan tak bisa menyukainya, aku butuh teman
Aku memang agak mencemaskan, “Bukan !”

Aku dicela
Mereka melangkahi badanku saat aku merangkak
Mereka membantak ku saat aku menguap
Mereka bicara berontak saat aku menganga
Mereka berada dipermukaan saat aku menimba air

Aku ingin mati, untuk kesekian kali aku ingin sekali
Seperti anak kecil berumur 7 tahun, yang lelah akan celaan teman bermainnya dan ia kehilangan layang-layang saat layang-layangnya menyangkut ditiang jemuran
Lalu, ia memasuki rumah dengan mata buram dan pedih karena cahaya matahari dan celaan bahasa, tak lama ia memasuki dapur untuk mengambil air minum sekedar menghela nafas yang tak layak ia genggam; andai nafas itu ada di tangan
Separuh bayangan, sepenuh setan memandangi anak kecil itu, apa yang terjadi.; anak itu melihat pisau dan dia mengambilnya dengan penuh keraguan ia bertanya dalam hatinya, “Kenapa aku mengambil pisau ini ?, untuk apa pisau ini ? dan aku lelah, ingin tidur lelap tanpa mimpi buruk (makian ibunya yang tak senang ia terlalu sering bermain)”
Untuk kesekian kali aku ingin sekali, mati

Flu hinggap disaat yang tak tepat
Malam Minggu aku bersama pena
Sabtu malam aku bersama pena

Beda itu indah
Seperti ruang dan waktu
Seperti bulan dan matahari; layaknya siang dan malam
Serta-merta aku yang sakit dan sehat

Tapi . . . .
Bukan banyak, tidak pula sedikit namun rata-rata yang aku dengar dan aku saksikan di video-video amatir
“Memang demikian”
Pria ataupun Wanita berkata, “Aku pindah agama dari . . . . ke Islam, saat aku mencari agama yang sebenarnya, sebelumnya aku memang pernah mencoba berbagai agama, tapi aku memilih Islam”
“Kenapa”, apa agamamu meragukan mu atau sebaliknya

Dunia adalah penjara sebenarnya
Penjara adalah bagian dari dunia maya
Aku bangga, tapi . . . . .

Komentar komik
Mendidik sambil makan es krim rasa coklat ataupun strawberry
Menyakitkan memang, aksi yang dipertontonkan
Tapi, reaksiku berbeda

Itukan hanya gambar
Ehm . . karena aku gila, bayangkan itu menjadi nyata bukan berarti dalam bentuk yang sebenarnya tapi dalam diri manusia
Sadis, ya tapi . . lucu, bukan ?

Selamat menikmati, selamat menjadi pecandu waktu yang lucu
Selamat, sekali lagi selamat
Dan semoga anda sekalian selamat

Sugesti
Otakku jadi dangkal
Tubuhku hanya sejengkal
Badanku seperti tanpa akar

Gapai
Mimpimu dengan bangkitnya dirimu dari tidurmu
Semangatmu dengan penyesalan yang engkau bakar menjadi abu
Asamu yang engkau harapkan sejauh jarak planet dari bumi ini
Semuanya yang pernah kamu rancang
Segalanya yang pernah kamu rencanakan

Seperti debu yang menjadi salju
Seperti butiran mutiara
Seperti boneka yang ada diantara bantal-bantal penyejuk kepalamu
Seperti seketika bersih dari daki-daki yang menempel dibadanmu
Secara sadar ataupun tidak, kita menggapai surga yang hawa nafsu untuknya Tuhan dan akalnya untuk melawan syetan serta ruhnya untuk mewarnai dunia seperti pelangi yang kamu lihat dijendela kamar sesaat setelah badai berlalu

Kamar dan lingkungan
Tas abu yang terlantar
Asbak yang kosong dari sekar
Piano yang tak termainkan jari-jemari
Pemandangan lembah pekat yang lembut

Senja dibuka jendela
Malam dibintang selatan
Pagi dicahaya mentari
Siang ku mandi dikali

Perempuan cantik mencuci pakaian dalamnya, sehingga bersih dan suci
Ibu tua membawa air untuk minum sehari-hari
Seorang janda mengangkat rokok ditangan kanannya, saat ia berada diwarung terdekat, diantar diantara ranjang-ranjang
Pemuda membawa bola, menuju lapangan

Telingaku sakit mendengar ocehan
Efektif dan efesien
Misi dan visi
Murni dan konsisten

Anak yang tanpa bapak menanyakan tanyanya pada film Monkey King
Anak yang tanpa ibu berbicara dengan kupu-kupu
Anak yang tinggal ditempat panti asuhan, berbicara dengan Tuhan tentang rasa yang ia rasa; tangisan air mata mencari cerita

Rindu dendam
Cinta duka
Bahagia derita

Ter-
Mutu ataupun produk yang terdapat dipinggiran mata hati kita dan benak pikiran serta akar-akar serabut akal
Semua orang tertawa
Semua orang mulai melucu dengan tertawa ganjanya
Semua orang menghisapnya
Semua orang tertawa karena semua orang sedang melucu dan semua orang jadi lucu

Kembali lagi pada kenyataan
“Heh”, semuanya tak terlihat lucu, hanya saja daripada aku menyesali penyesalan yang berulang-ulang aku lakukan lebih baik aku tertawa saja

Simpan uangmu di sebuah bank terkemuka
Dari pencucian
Dari segala kebersihan
Ada noda kotor yang melekat
Dimana aku temukan deterjen ?
Dimana aku dapat mencuci segala hal dengan tawa ?
Aku harap bukan dirumah sakit jiwa yang tanpa asap rokok

Dosa
Berdosa melakukan nista
Niscaya karenanya, neraka pemandangan mata
Sayangku. . . , dimana kamu ?
Aku harap, Tuhan mengerti mengapa aku melakukannya; bukan hanya benda mati

Aku bertemu denganmu, kamu berkata, “Aku bukan malaikat pelindungmu”

Aku melindungi, aku pelindung, melindungi yang tak sempat aku sampaikan pesan kepada dosa yang; kali ini tanpa dusta
Steril, aku tak bersih kembali; kembali aku kotor
Aku basuhkan air; mandi supaya bersih

Mengapa spermaku tumpah dibaju dan celana dalamku
Burungku malu untuk bernyanyi
Burungku tak menemukan sarang untuk kedua anaknya

Dewi dalam benakku menyampaikan kata, “Seperempat nyawa yang akan menjadi roh dalam jasad hilang dalam 10 detik”

Kapan akan berhenti dosa ini ?
Kapan dusta setan tak menghampiri benak ku ?
Kapan aku tak harus memandikan badanku karena ini ?
Kapan aku akan memakai pakaian dalamku tanpa daki-daki yang menangis karena nista ku ?

Deritaku yang terbagi rata
Samakah aku dengan kalian
Sampaikan pesan, “Jangan sampaikan pesanku ?!?”

Normalkah aku, akan normaku
Normalkah aku, akan moralku
Normalkah aku, akan ahlakku

Aku tak akan membaginya; dosa ini

Keyboard (tak akan habis sampai aku dijemput/mati)
Aku hanya terpaku, sepertinya bukan nabiku yang tangannya dipaku oleh besi diantara kayu-kayu
Seorang yang sakit hanya duduk diantara bantal da kursi memanjang
Bapak tua dan anak kecil saling bermain; melemparkan makian kasih sayang
Seorang  ibu berada didapur biar tempatnya terus mengebul
Nenek tua menatap hampa televisi
Pemuda keluar disaat siang menancapkan sengatan matahari

Teriknya aku lihat
Teriaknya aku dengar
Diamnya aku ratapi
Langkahnya aku amati
Katanya aku teliti

Berharap kamu ada disini
Kepada sang pengharap
Akan harapan ku yang teramat sangat tinggi sekali

Kehabisan inspirasi
Aku kembali kehutan, dimana tempat tenang dan sejuknya alam
Ada setan bermukim ditendaku, tanpa bayang
Aku tak membayangkan

Aku kembali kepantai; tepat diantara, tempat diantara karang-karang dan deburan ombak
Ada dayang-dayang tidur dikamar hotelku, tak terbayangkan
Aku serentak berpaling

Aku kembali kedesa; diantara tenangnya daerah; diantara darah, tulang dan daging keluargaku
Ada masyarakat menatap dan bertanya, “Apa dan kenapa”; aku mengiyakan dan menggelengkan kepala
Serentak aku berjalan

Aku kembali
Diantara asap kota dan udaranya yang sesak membuat rinduku berkembang seiring bunga mawar dibulan Mei
Tak terbayang; aku kembali

Rinduku dan dendamku
Diantara semangat yang mengandung dendam
Diantara rinduku ada semangatnya

Aku kembali dikamar ini, membenahi ruang kusam penuh debu dan air mata kenangan
Aku nyalakan lampu yang penuh cahaya nostalgia, saat aku gila

Pada awan putih dan gunung yang biru
Pada bulan, bintang dan pekatnya malam
Kita kembali bercerita, berbincang dan saling menatap; tentu saja aku jujur

Lembutnya mata saat cela hitam mewarnai birunya hari; yang lalu
Teringat keluargaku, kekasihku, temanku dan musuhku; terima kasih  telah mewanai lautku menjadi biru dan maafkan langitku yang menjadi gelap tanpa purnama; saat aku tak berada dirumah

Warung-warung dan tetanggaku, “Apa kabar dan kemana saja ?”
Uh. . . , senja berwarna merah merekah kejinggaan; aku sambut perjuangan

Aku bertahan dan pasti aku akan menang
Aku tak akan menyerang dan pasti aku tak akan kalah

Rinduku yang usang tetap aku jaga, seclasik apapun itu
Dendamku yang menjadi abu tetaplah seperti bara api dalam kereta api Belanda

Dunia, masih ingatkah kamu akan wajahku ini ?
Dunia, masih ingatkah akan wacana yang sebarkan ?
Dunia, aku seperti tikus yang dikejar para koki, saat aku ditempat sampah
Dunia, karenamu aku tertawa, aku menjerit, aku berlari, dan aku telah siap kembali

Petak umpet
Seperti sebuah atlas berisikan peta-peta
Seperti penemuan kapal bajak laut
Aku sembunyi dari kejaran
Aku berlari dalam putaran

Saat aku ditemukan, aku akan bicara “Bla . . Bala . . Bla . . “
Saat aku tak lagi bersembunyi, tak akan ada cacing yang menjerit
Peta harta karunku menjadi abu saat terbakar oleh kecepatan bumi yang berputar pada lintasan khatulistiwa
Planet-planet yang ada, melihatku seperti sebuah debu yang melintasi batuan meteor yang siap meluncur

Aku berkata lagi, “Bla . . Bla . . Bla . .”
Lalu, aku tertawa terbahak-bahak, “Ha . . Ha . . Ha . .”
Sampai, aku tersendak karena terlalu banyak bicara saat aku makan, “Ehm . . Ehm . . Hem”
Kini, akupun mati; . . . . tanpa bisa berkata karena suatu hal yang luar biasa

Meluncurlah
Aku ingin menyempurnakan mimpi-mimpimu
Demi lembaran baru; aku sudah tak peduli dengan uang
Kamu adalah mata uang baru; makanan yang buat kenyang meski hanya dilihat saja

Aku bahagia, sampai kenyang; aku menari-nari seperti hewan buas
Meniti, penitikku puja kamu untuk menyambung antara kain baju kanan dan kiriku
Hitam dan putihku, langit penuh bintang, siang diwarnai pelangi dan dewi-dewi yang menyandar ditembok bangunan rumahku

Bentuk patung jiwaku
Tak ada yang tahu bahwa aku seorang prajurit
Pejuang yang menurut pada atasan
Berjuang menegakkan kebenaran
Meskipun tak ada yang salah, aku tetaplah prajurit yang berperang dimedan perang untuk kebenaran; meskipun tak ada medan perang, aku akan tetap selalu ada untuk atasanku

Murkai ada yang bukan keadaan
Seandainya jiwa ini salah, maka berdosalah-Mu
Seandainya raga ini cacat, maka berdosalah-Mu
Seandainya aku masuk neraka, maka aku bukan hasil kesempurnaan-Mu

Aku senang, penuh semangat tapi kurang sehat
Banyak kegiatan di Minggu sekarang
Temanku menikah
Pujaankku manggung
Tempat kemah direncanakan

Kami manusia yang pandai bertutur kata
Kami manusia yang cerdas merencanakan

Pendidikan itu bohong, belaka
Kamu masih bisa hidup tanpanya
Andai kata menjadi beban tinggalkan saja
Penelitian menyebutkan, ”Banyak orang kaya yang tak sekolah”
Untuk apa sekolah ?
Untuk apa diadakan, apabila kita masih berpikir untuk pintar ?
Pikirkanlah !?

Setelah sekolah, apa yang kamu lakukan ?
Sampai tua kah ?

Tokoh agama berkata, “Kepintaran bukan penentu masuk surga”
Apa ?!?!; jadi orang bodohpun bisa masuk surga ?!
Jadi untuk apa kita sekolah ?
Mencari ilmu atau mencari calon pasangan hidup ?, aku harap kalian tidak belajar sambil bermain

Nikmati hidupmu kawan, setiap hari kita semua belajar
Dari manusia, dari alam, dari Tuhan, dari semua yang kita lakukan atas dasar penyesalan dan kesalahan dan dari semua yang masih kita bisa perhatikan dan amati, karena oleh karenanya  melihat itu memberikan cinta

Apa yang terjadi . . !
Aku bermimpi
Aku berdiri
Aku mandi
Baju aku ganti

Aku hadapi hari
Aku mencari
Aku teliti
Apa yang terjadi

Yang terjadi dalam mimpi, terjadi dalam hari

Buta
Kenapa kataku tak mengubah, berubah menjadi harap berubah ?
Kenapa yang sempurna meliputi ruang, rumah dan bumi ?
Mencoba berlari dan mencari ?
Kenapa tak ada yang berubah ?

Bunga yang membuat mata bengkak
Dan mata yang bercahaya mengejar rasa sempurna
Aku yang terjebak sisi muran kehitaman
Aku terjebak, terhentak sehingga nyenyak dan aku tak mengubah hingga berubah

Sesuatu yang diam hingga hujan ditepi jalan
Butakan aku yang semakin menepi diantara miliaran mata
Mencoba berubah hingga mengubah
Berubah hingga tak dapat diubah

Aku adalah
Semenjak aku mengerti cinta
Dalam musim panas yang menggerahkan
Aku merasa tua sebelum waktunya
Aku tumbuh dalam kesakitan
Seperti mudah dan gamblang
Aku berencana, tapi itu bukan suatu keselahan
Berjalan dengan malaikat, mencoba mencari jalan
Semuanya hilang dengan cepat dan mudah
Semuanya tak berarti, kembali
Berikan aku rasa, itu hanya perasaanku saja

Lentang kanan, bergerak
Bawa aku, bawa aku
Kemanapun kamu akan pergi
Selamanya, selama . . .
Jangan ada kata berhenti

Setiap hari membawa bunga
Setiap hari membaur harum wangi bunga

Jika ini setiap hari, setiap . . .
Tak perlu uang yang kita bawa lari
Sehingga buta dikemudian hari
Tak ada lagi kata, sebentar lagi

Setiap hari kita minum dalam kebersamaan
Setiap hari kita berjalan sambil minum

Bawa aku, hari ini
Cepatlah, hari ini
Jangan berhenti sekarang, ayolah
Hari ini, ayolah

Panas
Kemeja putih dengan kerah penuh daki
Keringat basahi seperti membasuh tanah
Aku berkembang nan jernih
Kian meninggi namun perlahan

Sepenuh
Ini bukan keadaan yang layak kita sebut keadaan
Ini sebuah karangan

Pemakaman jenasah terjadi disetiap pagi hari
Lagu-lagu gay memasuki alamnya

Ini bukan yang layak kita alami dalam situasi
Ini sesuatu yang bukan kita anggap kondisi

Manusia setengahnya menjadi binatang, dan karenanya binatang dianggap dewa
Manusia sedikitnya malaikat, dan karenanya mereka angkuh sehingga meremehkan

Jika aku bisa ke planet Mars, meyentuh langit
Jika aku mati dan bertemu Tuhan; andaikata, aku akan berkata dan banyak bertanya

Sepenuhnya aku berharap ini berakhir
Berharap ini meninggal dengan cepat; pikiranku

Suara menggema
Suara beritahukan ku, “Cepatlah; mati; mati”
Suara cepat berucap, ”Bunuh dirilah; bunuh diri; bunuh diri”

Aku mengarang cerita tentang kematian yang aku inginkan
Aku berharap kematianku seperti karanganku

Menyakitkan tapi cepat
Menyenangkan dan perlahan

Tertawa dan senyum simpul disaat nafas terakhir
Cerita bahagia disaat kenangan mengukir

Mutiara-mutiara diuntai untuk menguntai kata
Kalimat-kalimat dibawa untk menghitung do’a dan dosa

Aku dikejarnya
Jemari gemetar, geregar suara dibalik badan
Separuh badan dengan muka seram, dibalik kaca yang aku belakangi
Semua orang takut namun ada juga yang santai sambil bermain gitar
Manusia iba manusia ingkar

Ada setan diruangan ini; aku yang pertama dan aku yang terakhir
Berlari dan berlari . . .
Menghindari dan menghindari . . .
Lawan dan serang . . . .

Pengecut
Pecundangiku dengan kekalahanku
Uangku hangus terbakar nafsu judi
Separuh awan pekat menghujani kepala
Jalan raya kian tak nyaman untuk mobil clasik ku

Surat untuk manusia lawan jenisku, yang aku sayangi
Aku bertutur dengan ragu, mengucap dengan kaku dan menulis tangan kananku yang kaku
Aku kalah; uang untuk kita buat rumah habis; tak bersisa; kalah dalam permainan judi
Sayang kamu salah mencintai orang; aku seorang pecundang yang terlalu sering dipecundangi

Mabuk bersama
Bertemu teman baik, membuat permainan, mencoba tepati janji
Kita tidak sedang berbisnis
“Ha . . . ha . . ha . . . “, kami yang berjalan tak seimbang karena pusarku menjadi tak sadar
Dimana medan magnet ?
Dimana gaya tarik-menarik dan tolak-menolak ?
Aku menari dan muntah; hingga lelap bicara tak seperti biasa; aku tertidur; lelah

Pagi buta dengar nyanyian yang buatkan ku diam; seketika selesai aku keluar mencari air minum dan makanan hangat
Kelelawar menjadi patung didepan api unggun

Henyap aku dengar makian kasar majikan terhadap bawahannya; para pedagang pasar yang kasar

Kembali aku dalam depan Tv menyimak berita yang ada; bersamamu mencoba mengingat apa yang terjadi dan sempat kita lalui; tadi malam
Aku tertawa dan geleng kepala; tepati janji dan aku pulang

Pancaroba
Ingat akan wanita, timbul pertanyaan kasih sayang
Ingatkan akan hal bercinta, maknai dengan timbulnya makna jerawat
Perawat rumah sakit yang cerewet dan judes, liar matamu bangkitkan sukma
Beberapa aura murni saling mewarnai; cahayanya

Sayang, hari ini sangat panas
Berharap Tuhan ciptakan kolam renang; biar aku bisa berendam

Beberapa tanya timbulkan bencana
Beberapa tanya timbulkan penyakit
Beberapa tanya timbulkan apa makna rencana kita
Beberapa tanya timbulkan tangis air mata dan jeritan suara manusia

Sendu aku ratapi, muram telanjai dan sejenak aku diam tak berkembang
Sayap-sayap kemakmuran kembali mundur; dan mereka terus berputar maju kedepan

Oh pancaroba dibalik khatulistiwa
Oh manusia yang berperan dengan alam yang saling menghancurkan
Ini situasi dan kondisi yang cukup cekam dengan cengkraman tangan alam
Ini keadaan keadaan angin berbalik

Tanda kemenangan tidak ada
Tanya kalah diserukan
Ketidakadilan tanpa batas didiamkan
Para wanita jalang menangisi kematian anak haramnya

Tempat bermukim
Makan malam disertai ulet kelaparan dalam perut
Menatap penuh harap; akan apa yang sedang terjadi dan menyelimuti
Tuhan bermakna dua; kali ini
“Bodohnya aku”, lantang dan gamblang aku memaki diri

Tembok berwarna hitam dengan bau bekas dari kaos kaki
Semua tampak berubah kecuali bau dan warna kaos kakimu

Aku bergerak karena aku rasakan
Aku berkata karena aku rasakan
Aku akan segera datang karena aku rasakan

Tiada
Mereka bicarakan tentang awalnya tahun
Aku akan hidup setahun; bagiku setahun adalah angka-angka yang relatif
Tanggal merah bagiku suatu yang berkenang dan berkenan
Merah adalah sakit dan sehatnya aku
Angka adalah bagian awal dan akhir
Aku hidup setahun

Tak ada acara memandikan diri dan memandikan pusaka
Tak ada acara arak-arakkan dan memeriahkan jarum jam
Aku yang tiada dalam arti; dalam bulan aku terbuai bualan-bualan

Terlepas dari adat dan kalender yang jenaka
Tak ada arti 356 hari

Mereka mabuk dan merekayasa
Mereka terbuai dan hanyut dalam buaian
“Butiran Tuhan”, kata mereka
“Butiran setan”, kata mereka
“Butiran manusia yang manusiawi”, kataku

Penanda umur bumi, apa yang harus dimaknai; semua jiwa telah mewarnai iri dalam bumi seutuhnya
Raga yang bimbang serta binasah diri sertai nadi
Aku hidup setahun, dan aku tak tahu sekarang tanggal berapa dan bulan apa

Katakan
Apa yang bulat penuh tekad; semangat
Bangkitkan jiwa dalam raga yang terkubur; semangat
Menjelang perayaaan yang males seperti muntah dalam menjelang Idul Adha, katakan semangat membunuh hewan kurban

1 Suro
Dunia sering kali ingkar terhadap hal yang kecil, bangga karena telah bertoubat dan sombong karena melihat mereka yang ada di bawah mereka
Dia membicarakan mereka yang berdosa dan penuh dusta sepertinya mereka adalah dewa-dewa yang sedang mabuk arak
Tidak sedikit dari mereka yang segitu demikian menangis, menyesal karena neraka adalah pemandangan gunung bebatuan yang tandus dan kering dilembah yang tak lembab lagi
Perdebatan adu otot warnai sebuah pemikiran yang semakin lama semakin dalam dan semakin idealis
Lahirnya kembali dewa-dewa telah terjadi
Wanita cantik dan ibu yang membimbing, pria yang tampan dan bapak yang menasehati, peranan mereka sekarang menggoyangkan, mengubah sehingga menyembah

@
Yang diluar rumahku mengejek aku yang berada didalam, bacaan Al-kitab seakan mengutuk aku yang keberadaannya dianggap aib dan kesialan bagi mereka yang berprofesi sebagai pedagang
Hinakah aku yang dihinai atau aku cuma bagian tanpa batas ?, hingga prasangkaku sesuatu yang tabu untuk keberadaan mereka yang sedang membacakan ayat-ayat suci !

SeseX
Mereka ingkar akan apa yang tertera
Mereka muak dengan apa yang dikata
Mereka muntah tetap disebuah kalimah
Mukadimah mimik yang bertolak belakang

Hampa
Objek tempat sembahyang yang terkuang dalam mangkuk surga; seperti renungan dalam tasawuf
Apa surga ?
Menyenangkan kah ?

Subjek sesuatu yang bernyawa yang tak berarti menjadi mati lebih dini; seperti titik didih air
Apa neraka ?
Seperti buku komik apa ?; ada api ?; siapa yang pernah kesana ?; apa ?

Tanya diri
Dalam hening ku lepaskan beban
Merangkul sukma dalam buih aura
Sinergi energi yang rasuki hati
Syirik batasi cermin hati
Menabur harum minyak zaitun

Lepas beban dari tanya yang aku jawab
Dunia yang aku kejar semakin gila dan selangkah lebih maju dari ngangaku

Meraba wujud Tuhan
Sedia menyatu dengan awal yang bertitik–titik cacat

Prosesku yang instant menjadi terulang dan mengulang-ulang kejadian
Sedianya beras mencampurkan diri ke air

Mengheningkan cinta
Mengheningkan karya
Mengheningkan cita
Mengheningkan senyawa-senyawa

Bebas dari beban; menuju alam keganjilan; menuju hal gaib; menepi disebuah keajaiban
Mungkin aku bersanding dengan tuan

Jasad tanahku; sifat lahirku; sikap alamku;
Melebur menjadi satu disebuah permukaan berwarna jingga keemasan

Entah
Bagaimana jika kita sebagai manusia hanya bisa mengeluh sedangkan pepatah China mengatakan, lebih baik lambat berkembang dari pada hanya diam saja
Aku pernah mengalami hal yang sama yaitu mati sekedar nyawa utarakan kehendaknya, ditawa bawa tanya

Koma
Pecahkan sunyi dalam hati
Seimbang tepati urutan
Bebaskan cacat aturan
Seiring keadaaan yang sering tertekan
Satu pemikiran memecah persatuan
Kekuatan tinggal kekuatan

1426 Hijriah
Apa yang terjadi; sekarang dimulai kembali; Jahiliyah
Awal tahun; apa yang menentukan angka-angka itu ?; sedemikian rupa
Aku dan lingkaran; hanya berputar-putar, mengelilingi
Berputar dalam satu lingkaran; bumi

Ada nama Tuhan namun tidak ada yang mengetahui artinya
Sederhana; aku hanya tahu saja

Mereka percaya pengorbanan; bukan nyawa
Tuhanpun tidak marah dan tidak tertawa

Rasa percaya menjadi panutan kepercayaan

Hampa yang aku rasa

Ngilu yang aku tekan

Diam-diam; aku menuju toilet

Harga jual ( 230 tahun lagi)
Transaksi; penjual dan pembeli merasa menjadi raja dalam raga
Jiwanya terpuruk dalam sunyi yang pecah karena suara-suara; ya, bisikan-bisikan
Tiada dalam jasad
Mereka tidak sendirian

Membawa uang dalam saku-saku robeknya
Dompet usang dan uang yang bau minyak bekas penggorengan tahu

Aku tidur dengan bantal kepalan tangan diantara minimarket-minimarket
Tiada menadahkan tangan; sambil berkata terhadap masa lalu, “Da..dah . . !”

Simata uang; dollar Amerika yang menjadi nomor satu
Tertekan dengan monitor menyala didepan bursa saham

Dunia mana kestabilanmu; mana gerangmu
Orang berkuasa; yang menjabat pemimpin dalam satu negara adikuasa marah
Para wartawan memburu waktu yang berharga; penonton menyaksikan detil-detil kehancuran; sebuah perserikatan mengangkat tangannya menuju tanah kelahirannya; Afrika

Seperti bola bundar; tak dapat diprediksi dan banyak keganjilan
Mengapa hari ini jadi setiap hari ?

Para pemimpin negara menyelenggarakan keadulatan diantara kedaulatan yang ada, yang sama dan yang diakui
Siapa menyerang siapa
Siapa bertahan menang
Siapa menyerang kalah
Awal gloalisasi yang menghiangkan tradisi
Kekam awan diantara geram murka kekalahan
Kau lihat wajahku dimuka koran

Biologi dan sejarah
Tiada guru yang tidak memuakan
Tak jauh beda dengan ahli-ahli akuntan

Manusia awalnya adalah binatang
Ya . . mungkin saat ini kita binatang juga

Manusia adalah ciptaan yang sempurna
Ya . . mungkin kita adalah bagian dari malaikat

Manusia melebihi nafsu setan
Ya . . mungkin kita mempunyai nafsu yang sama

Guru yang memuakan sama dengan ahli-ahli akuntan

Tak berharap, apapun . .
Aku dan alam menjadi satu, ketika kamu tak aku duakan
Antara kebohongan yang menafikan atas dasar tafsiran
Diri yang terkubur berembun diantara dedaunan
Kamu tertawa dan tersenyum saat aku bacakan puisi perjuangan

Aku merekam bersamaan kejadian yang dinanti

Seutuhnya seperti tikus menemukan roti
Aku diantara bangkai-bangkai manusia dan diantar pulang kerumah oleh sebuah jasad yang tak bernyawa namun tak bau bangkai

Manusia pingsan, manusia menahan lapar dan manusia yang diam dengan lelah; ia menahan badan diantara dua kakinya yang lemah

Tatapan kosong

Terbayangkan ?!; tidak, aku tak pernah menyampaikan pesan yang terikat dan mengurung dalam tingkatan
Angka dipercayai sebagai penyeimbang ukuran atas segala dosa; berpuasa dan berlutut dalam gua tanpa melihat cahaya; mungkin

Nenek tua berkata, “Permisi de ?!” saat ia akan duduk disebuah kursi dan di pinggirnya ada seorang anak kecil yang kelihatan terjepit dan muram oleh akal dan usia

Ini adab yang tak istiadat

Aku bicara dengan hati yang bernyawa
Aku kosong seperti mata yang berwarna coklat

Sepi . . . .

Hanya mata dan mata melihat aku kegirangan
Hanya tangan yang menyentuh kegilaan
Hanya mulut yang menerawang kegelapan

Sepi . . . .
Aku rasa; aku rasakan

Kan ku tunggu; yang aku tunggu
Jadi sekarang aku menunggu oleh karenanya
Menunggu telepon untuk suara deringannya
Seperti sebuah pemberian penghargaan
Dalam mimpi aku mencoba mengejar mimpi

Aku tak pernah sama untuk berada disini, apalagi hati yang bermain; kali ini terlalu jauh

Jadi kita sempat berbicara semalaman
Tentang perkelahian terhadap dunia; yang harus hati hadapi
Berharap akan harapan yang terceritakan
Aku mencoba untuk berbeda

Aku mencoba merubah diriku; meskipun kamu mencintaiku seadanya; kini kita terlalu dekat

Jadi sekarang aku dalam kursi dan meja, ditemani sebotol anggur
Dalam sunyi yang pecah aku melihat cahaya
Seperti hujan lebat dalam ruangan
Hening dalam mabukku aku tuangkan dalam marahku yang kelewatan; terlewatkan bagian perkelahian

Jadi sekarang aku tak tahu pasti; berlari mengejar apa ?; apa yang harus aku kejar ?

22.00 WIB
Aku menemukan kedamaian malam
Dibawah lembayung sang awan senja yang muran melihat bintang
Senja . . .

Bulan terang; bulan penuh cahaya
Tumbuhan tertidur lelap menghirup udara

Suara bisik dan teriak binatang penuh puja; menyembah yang sanggup lihat oleh matanya
Sunyi . . . , sepi . . .
Damai dalam pelukan mata dan menyentuh kulitku yang tipis ini

Evolusi, Proklamasi, Reformasi dan Revolusi
Aku berubah menjadi manusia yang bercocok tanam dan tak pernah meninggalkan rumah; saling menyapa terhadap sesama menjadi awal perkawinan
Sejarah negara terkuak dalam bilingual

Para pemuda berkumpul dengan satu bahasa dan satu keyakinan terhadap kebebasan
Ya . . , kita bagian dari segala hal yang ada di alam ini; yang kita rasakan, kita berkuasa dengan bambu runcing; merdeka atau mati; sampai titik darah penghabisan

Kita mengubah struktur seperti memperbaiki rumah karena ada tetesan air saat badai datang; kita roboh dan terjatuh
Kita berteriak kesakitan dan kita meneriaki ketakutan
Kita mengubah dan membongkar pasang selama bertahun-tahun dan yang didapatkan adalah lubang-lubang
Ya . . , barang kali aku tak mendengarkan aspirasi
Mungkin, aku hanya diam terpana uang hangat; kebebasan yang dilindungi aturan

Kita menunggu sambil mencari
Kita berontak dengan sebuah otak, kekuatan yang dipersatukan dalam kelompok bawah yang mendasar
Menunggu waktu, menunggu yang pasti dan pasti yang ditunggu akan datang; tak perlu perdebatan yang panjang karena kebobrokan

Berenang, berendam, oh senang
Kapan kita senang ?
Senangkah kalian ?
Pernah kamu senang ?
Seketika ?!

Kapan kabar itu datang !
Kapan aku diundang kesenangan ?

Aku dan kalian semua termasuk kamu; sedih terbuang percuma; tanpa obat penenang ketidak senangan
Senang oh, senang

Kapan datang ?

Tidak semena-mena; aku (Apalagi)
Ada lagi, yang kita buang dengan sesak menelan kentalnya kotoran
Kapan lagi, setelah merica menembus retina
Kebaya dan sorban lambangkan identitas
Termenung, bayangkan saat membayangkan sebuah bayangan; aku berbicara sendirian

Murkaku; telan dalam-dalam

Setelah jatuh; kebanyakkan

Suara dari denyut listrik yang megalir membuat kehidupan, dengan dera yang sering kali kita buang
Kayu–kayu rapuh ditetesan air
Bebatuan berlubang karena tetesan air
Air adalah kehidupan

Bangga mungkin kita bawa sampai kapanpun; he . . he . .

Dia tertidur dengan semangat mengapung
Dia intropeksi setelah membalikkan keadaan dengan semangat ingin pulang; pulang ditepian pantai; kapan ia akan pulang ?; dirumahpun tak ada siapa-siapa
Membuka mata; mencari jawaban kenapa dan kenapa

Dia merasa tingggi dalam keadaan pencarian; ia dibelakangku; mencari tempat yang aman; kedamaian; ia tertidur didekat telepon umum pinggir jalan raya

Yang tertunda
Kelam menimpa awan tebal
Awan hitam selimuti luka
Antara langit antar bintang
Bulatan bulan lingkaran tekad
Manusia saling menunjuk ke arah Tuhan . . .

Aku
Membinatangi diri dari sesuatu yang serapah
Nista yang hina, terhanyut sampai terdampar
Hampa mungkin ?; sempat tersirat
Tangkai bunga bangkai menepi karang di sisa yang sempit

Lantas apa aku ini ?
Divonis, memvonis dan aku bukan bagian kompromi
Mana tengah; apa ?; ada tiada; apa ?

Seharga bunga mati; sepi

Fucking love
Mungkin tertera; menjadi pandangan mata, yang tak buta warna
Senja berwarna jingga keemasan; Budha itu !: apa ?!

Seribu nyawa tunduk haru
Satu anak diam ragu
Semboyan dan logo warnai seisi hari

Matahari
Layak matahari; ia bersinar
Layaknya bulan; ia mengandung cahya
Layak bintang; menarik

Acak
Memilih serta memiliki
Sedianya cerita dikarang `tuk dicerna
Manusia dan ragam kebudayaannya dipertahankan
Silsilah pun dipertahankan

Penjara bathin, kini banyak diperjualkan kebebasannya
Orang-orang berkumpul; seperti memuja patung dan memberikan sesajen

Ada aku yang melihat
Selayak Tuhan bercanda dengan bonekanya
Sadarkan dia; tentang kesadaran menyembah dan sembahyang

Mereka memasuki seni seperti merekam kejadian dengan karangan cerita jenaka
Ya . . ada orang besar di sana
Di negeri ini semua orang menjadi besar karena ke-Esa-an Tuhan dan kayanya rempah-rempah
Pasundan . . oh . . pasundan; aku harap negerimu bukan negeri khayalan

Menunggu jemuran kering
Disertai gemuruh; hanya suaranya saja, aku kira
Orang sakit menuju dokter; mencari tahu jawaban dan obat penyembuh; Tuhan
Sayang . . . aku takut suara; aku takut sakit. . . sayang

Seribu tanya mengurung perhatian sanak saudara
Kapan kering; matahari telah tertutup awan hitam
Kapan datang; berapa banyak obat yang aku telan, tetap tak bisa berjalan

Raja
Sekumpulan anak rusa memanjakan tubuhnya diantara rimbun-rimbun dedaunan
Sediakala ia hafal akan gangguan alam yang akan datang
Paras ibunya sadarkan bahwa dirinya telah dewasa
Tanduk tunjukan keangkuhan akan aku diatas nama
Selembut pasir yang ia pijaki dan ramahnya alam yang menyebut ia ketua

Sekata-kata
“Kalian akan menyesal kalau aku pergi nanti”
“Katakan bahwa kejadian ini bukan kesalahan Ibu-mu”

Beberapa kata aku matikan
Beberapa bait aku tuangkan
Beberapa kalimat aku ungkapkan
Beberapa paragraf aku hidupkan
Beberapa halaman aku bukakan

“Tertunduk mati, setinggi langit dan cahaya sang surya”
“Katakan bahwa kita akan bicara lagi, nanti”

Setingkat lebih tinggi
Lalu apa yang akan kita bicarakan, setelah berulang kali kejadian yang sama saja belum dapat kita pecahkan
Ini sebuah perkumpulan yang dapat ditemui dalam suatu pertemuan

Mengharap suatu pertengahan; tanpa adanya si kembar
Hidup yang diisi hanyalah sebagai penghibur dalam sebagian cerita; yang ditemui hanya berasalkan dari kecewa dan kekurangan
Rasa puas yang menyelimuti seperti sebuah ligkaran yang tak berujung; memang ita dangkal
Sebuah rasa ingin kita tetap seperti anak kecil; berharap tidak tumbuh rasa tanya yang menjadi tekanan
Jerapah tinggi karena ia mencari dedaunan dari pohon yang menjulang tinggi, seperti mengungkapkan metafora

Sebagai kta yang merasa menjadi manusia
Sebagai kita yang merasa seperti manusia yang tinggi
Sebagai kita yang tinggi diantara manusia-manusia
Sebagai kita menatap awan yang penuh rasa ironis

Mampu mengerti tak mampu menjelaskan; memahami kondisi yang tak seperti butiran air dalam handuk yang kering

Layar tenggelam
Kita sebagai manusia yang terhimpun dalam alam semesta ini seperti semut yang hanya mencari gula, sediakala kita yang hanya lahir secara naluri ini mencari bagian yang tak terungkap, tak selesaikan dan menangkap serampangan kata-kata dalam mimpi
Sebuah intisari mencoba menggabungkan makna dalam awal kita ada hingga kita lenyap ditelan sang penguasa
Sejarah dan sejarah, begitu yang akan dalam cerita anak-anak kita

Monitor 15 inch
Seperti kaca pembesar, semuanya diperbesar
Mirip penggaris seakan-akan semuanya mencakup garis yang diperluas
Perih mataku, merah

Tak ada kehidupan; yang ada kata kasar dan makian terhadap sang bintang
Dunia digunjang oleh musik
Teriak dan meriaki; itu yang terjadi diberita-berita pagi setiap hari

Dunia sekarang sedih karena banyak karangan-karangan berita yang diada-ada; seperti mengadakan syukuran untuk sesuatu yang tak mungkin bisa disyukuri
Dunia sekarang senang, mungkin disebaabkan sang bintang berulang tahun; tertawa dalam perjalan pulang menuju rumah
Dunia sekarang larut; tertidur dongeng-dongeng tentang ibu tiri yang kejam
Dunia . . oh . . dunia; engkau selalu mengada-ngada; bahkan terlalu sering

Menuju asing
Yang terasingkan
Keterasingan yang tak dapat diungkapkan

Sebuah jiwa merasa asing dalam kumpulan nyawa dalam tiap detik
Sebuah rasa tak bertahta; memuja wanita
Sebuah khayalan sebelum tidur tentang harta yang tak habis meskipun nyawa memisahkan

Yang terasingkan
Demi rasa yang harus dibuang; merasa asing

Beberapa bayang selimuti jiwa yang lembut
Berapa langkah dari pantai yang menepis, seperti selimut yang menyelamatkan kulit dari terik matahari
Damai bukan; bukan damai; kita asing dalam warna putih ataupun hitam

Yang asing berbaur seperti abu
Terasing buah dari pemikiran yang terbatasi; seperti rasa asin air laut

Perih dan pedih
Untuk siapa
Dalam bentuk yang serupa dengan guci
Seperti kera sakti yang sombong

Masa depan kita
Mereka yang hemat dan kesakitan
Mereka yang meludahi kening mereka sendiri
Terjangkit virus mematikan yang timbul dari dalam tubuh
Menular; andaikata kalian bersamanya, hanya kata sembuh atau menular bahkan kambuh

Perih, perut seperti ada mahluk
Pedih, seperti ada sesuatu dalam mata

Kita mati dan kita mati
Kita mengarti dan kita mengerti

Mereka yang kaya; hanya bisa tertawa dan terus tertawa
Mereka yang hemat yang kesakitan
Mereka yang sederhana; hanya melihat dan berkelanjutan menangis
Mereka menuju kiamat yang sebenarnya

Kelak, kau kan mengerti
Sebuah pintu terbuka lebar oleh karenanya
Bunyi dari segala bunyi; hanya satu yang tidak disukai teinga kita; bunyi alat ini; ini adalah bukan alat musik
Bunyi memanggil semua yang bernyawa
Bunyi yang memerintahkan benda-benda mati untuk mematikan yang hidup

Inikah ?!
Penari-penari latar seperti menggambarkan; gambaran jiwa yang terluka
Asap-asap rokok seperti menceritakan; asap penuh luka
Lukisan-lukisan seperti memberitahukan; warna –warni kepiluan
Nyanyian demi nyanyian seperti menjelaskan; luka yang terinfeksi dan terbalut setengah hati
Puisi mendalami seperti hendak bertanya; inikah kenangan penuh noda hingga terluka

Seperti upacara; seperti pidato; seperti mengheningkan cipta; seperti pembacaan proklamasi kemerdekaan kita; seperti kebebasan yang penuh air mata; seperti hinai diri yang hanya bisa berdiri...saja

A. .a . . a . .aa . .a”; dengan kereta malam
Berdiri setengah dada dengan baju terbuka
Buah dada penari striptis pun terbuka sudah
Entah apa yang menggambarkan perutnya seksi; beberapa tegukan anggur merah dan arak cina

Lemak dan lemak; demikian yang aku saksikan

Layaknya ular, tubuhnyapun meleok-leok; bagai bangkai berjalan
Cari uang; demikian wawacara seorang wartawan

Dosa dan dusta; mereka serakah akan kecantikan dan kekayaan

Aku hakim; aku vonis; aku hakimi

Kamu hidup, aku ada
Aku hidup, kamu mengada-ngaada

Jelas mana pemandangan nista dan pemandangan seni; antara pornografi dan pornoaksi
Kondisi dan situasi ?!; menuju kiamat semuanya halal
Kecepatan penuh; tenaga listrik atau apapun itu
Mereka liar dan “A. .a . . a . .aa . .a”; dengan kereta malam

Sejam berlalu; lima lembar

Lepas, aku teriak  (Aksi bebas)
Aku si pembohong
Aku yang bermimpi di siang bolong
Tekanan dan tekanan; tekan aku . . . yeah . . !

Marah aku
Seperti keinginan menggambar diri

Penjara, dunia aku lupa lewat jalan mana aku pulang rumah; selepas aku keluar
Cari warung nasi terdekat; rasakan putihnya nasi
Aku harap yang aku akan saat ini bukan daging tikus lagi

Rindu akan rinduku, rindu kan dendamku
Rindu akan sesuatu yang belum terselesaikan
Rindu akan segala hal yang telah terlewati

Lilinpun menyala saat lampuku padam
Senda gurou sertai harinya
Tegur sapa warnai jiwanya
Tujuk-menunjuk seperti tarik-menarik pasangan lawan jenisnya
Serampangan yang gampang ditemui secara gamplang
Malaikat berubah wujud menjadi manusia untuk menunjukan ke-Esa-an Tuhan
Tawa jenaka gemari detik yang dilaluinya
Sendu pilu tangisan anak kehilangan rasa kepercayaannya
Masa tenggang waktu dilalui dengan macam kegilaan
Mitos yang irasional menjadi perdebatan yang real dan sebaliknya
Pengamatan terhadap alam yang berupa catatan berubah menjadi nyata dalam sejarah
Tehnik pengobatan tunjukan cara bagaimana tubuh berubah kondisinya
Keadaaan ini seperti patung orang tertawa yang terbuat dari emas
Orang lesu dan wajah kusam tampakkan dirinya disaat orang lain telah mandi setelah tidurnya
Berlari mengejar rasa gombal yang belum sembuh malah sering kambuh
Memang . . . murah
Terlantar karena terombang-ambing oleh ilmu
Ingat akan kawan lama yang dulu sering ada, corak dalam suatu massa
Cinta dan kasih sayang, satu masalah yang tak terselesaikan
Pecah semua mabuk dalam bunga asmara yang semu
Banyak jamu yang aku minum `tuk mematikan rasa
Detik berlalu, akupun terpuruk dalam lubang sumur yang airnya berwarna putih, seputih susu
Tak dalam namun dangkal
Getaran yang indah seperti memanggil dalam barisan yang tertata
Senda gurou penuh tegur sapa yang tak muram mencekam
Mungkin, sebagian mendasar pada ketakutan yang dibawahi naluri tanpa rasa
Anak kecil, kalian ingatkan ku; betapa malunya aku, betapa bodohnya aku, aku betapa . . .

Selamat menempuh “Alam baru”
Selanjutnya mereka mengadakan pertemuan, hampir mirip dengan lukisan “perjamuan terakhir”
Cara mengusir setan, sesuatu yang mengerikan bilamana masuk dalam mata pelajaran
Mereka yang kerasukan bicaranyapun ngawur, tak jauh beda dengan manusia yang akan diambil nyawanya
Jasad bagaikan sebuah titipan yang berupa kelangkaan dan keragamaan
Sampai pada titik pusat lingkaran, sikus tiada henti bicarakan orang lain
Sebagai mimik mengesankan dan mengecewakan
Bobrok dikarenakan hilangnya moral yang tak dihukum aturan
Sebagaimana ahlak yang abu, yang tercampur oleh air teh basi
Hitam sehitam arang
Tercekik tak bernyawa
Ucapkan selamat tinggal pada jasad yang cacat

Hinai sumpah sehidup semati
Lantas aku keluar karena panggilan
Lantas aku masuk karena ucapan
Lantas aku ungkapkan perasaan
Lantang kalian berbicara perceraian

Jangan sembunyi
Hadapi, meskipun dalam bentuk api, hadapi
Hadapi, walaupun tak terlihat namun terasa, hadapi
H.A.D.A.P.I

M@r-1
Melihat orang tertangkap, sepertinya rasa ingin matiku pun tak jadi
Tepat dimuka lalu aku berdiam diri
Orang lain melarikan diri

Burung hinggap ditiang-tiang listrik
Aku panik aku mencari lubang
Aku mencari cahaya yang akan aku kenali
Yeah . . . aku sembunyi
Yeak . . . AKU HADAPI
Cuh . . . selesai sudah semua ini
Selesaikan dengan nyawa lentikan bidadari

Catatan terakhir TresSTres
Ini sebuah kegagalan manuskrip
Ini kekecewaan dari kenikmnatan tabu
Ini harapan yang niscaya akan terjadi
Sebuah akal yang penuh dusta dengan asap-asap tebal

Aku terkurung dalam jasad
Aku terpenjara dibalik semua dosa
Nikmat yang tiada tara; seperti mencintai Tuhan

Dokumentasi yang mirip terasi
Met Nikmati; met berkontroversi; met berdebat; met berargumentasi

Aku mati, kamu hidup
Aku hidup, kamu mati
Oh, putri kekasihku
Oh, bidadari impianku
Oh, paras yang tak akan aku lupakan; dalam mimpi

Diantara lampu; diantara lilin; diantara cahaya sang surya

Aku mati, kamu mati
Aku hidup, kamu hidup
Oh, kata pujangga yang tersirat dalam, sehingga membuat otak berpikir seminggu tanpa makan
Oh, kalimat pusaka yang terkandung dalam makna dan hikmat kehidupan
Oh, hakekat yang mengutamakan dan diutamakan

M.E.R.D.E.K.A
Merdeka-merdeka
Bebas-bebas
Kita merdeka dengan kebebasan
Kita bebas dengan kemerdekaan
Kebebasan tanpa batas; hilangkan dalam syirikmu itu
Kemerdekaan tanpa batas; leburkan dalam aturan yang akan kalian laksanakan; bukan hanya rencana

No comments: