Wednesday, February 4, 2009

CATATAN SECARA SEPIHAK

Karena aku menghargai kehidupan,
namun seringkali aku mengharapkan kematian oleh karena kehidupan.


Aku sudah muak dengan pembuatan buku ini ataupun apalah namanya ini, karena terlalu banyak tekanan, kepedihan dan kesedihan yang harus aku ingat kembali secara langsung ataupun tidak, secara acak ataupun tidak, secara valid ataupun tidak, secara sadar ataupun tidak, yang semuanya harus aku ingat kembali secara berulang-ulang, secara terus menerus, secara semu dan maya, yang terkadang pada akhirnya adalah sesuatu yang diluar jangkauan ku sebagai manusia yang terbuat dari tanah, yang hanya dari setetes air mani dan sel telur saja, tapi aku yakin ini adalah sesuatu yang relevan.

         Sungguh memuakan, aku kembali ke masa lalu, masa yang sebenarnya harus aku perbaiki, sempurnakan, koreksi dan awali lagi sebagai cermin dari apa yang dinamakan sebagai masa lalu yang bisa dikatakan sebagai sejarah, sejarah yang dalam arti bukan sebuah peristiwa namun lebih kepada proses.
Yang mengingatkan kembali aku kepada sebuah luka yang tanpa darah tapi berbekas. Selayaknya aku yang mencoba menggali dan mengkaji ulang untuk dapat analisa dari sebuah implementasi yang rasional dan aktual yang pada akhirnya dapat aku nalarkan dan simpulkan kepada apa yang disebut sebagai metafisika dan estetika dari deduksi dan induksi yang empiris dalam sebuah pragmatisme, meskipun seperti sedikit egois, namun itulah kenyataannya, dan kejujuran adalah sesuatu yang mahal dan kebenaran adalah sesuatu yang pahit, yang terkadang cakupanya hanya sekitar bahasan tentang lingustik, yang berseluk-seluk pada cabang-cabang filsafat secara tidak langsung dan secara garis besar adalah sebagai sesuatu yang nyata adanya, sebagai sebuah ajaran falsafah yang secara tidak aku sadari bahwa aku telah bermain kata, sehingga aku bertanya, yang pada akhirnya bertanya adalah sebagai modal dasar atau awal dari sebuah kejadian yang akan saling berurutan dan berhubungan, satu sama lainnya, sehingga abstaknya adalah sebagai suatu proses kehidupan yang tak mudah untuk dipahami dan diterjemahkan, dalam arti sebuah jati diri. Seperti menggapai pada sebuah simbol-simbol yang cukup untuk dicatat sebagai keterangan pelengkap saja, bahwa aku menggapai tangan induk, tangan Sang pencipta; yang tak dapat aku raba, aku lihat, namun nyata terasa bahwa Ia ada.
Aku yang mencoba menggali dalam sifat epistemologi yang berkepanjangan, dan jalan ini tanpa awal ataupun akhir, atau apapun namanya itu semua. Didalam dan diluar tubuhku ini seperti terbakar karena api dan kedinginan karena salju dan menyublin karena cahaya. Namun jelas telah dapat aku terangkan bahwa aku telah muak dalam pengerjaannya. Seperti menangis darah.
Lalu, aku menatap wacana demi wacana dalam ruang dan waktu yang telah tersedia ataupun disediakan, sama ataupun beda, secara langsung ataupun tidak, secara nyata ataupun tidak, yang dapat aku ketahui ataupun tidak, atau bahkan aku sendiri hanya bisa tertawa, heran, bosan, terkejut, dan lain sebagainya karena tidak dapat aku sangka, bahwa semuanya telah terjadi, namun dalam daya nalarku ini berkata, “Lalu, selanjutnya apa yang akan terjadi?”, seketika itu ada bisikan, yang berbisik, “Jangan dipikirkan, jalani dan hadapi, karena ini semua bukan atas dasar kehendak mu tapi atas dasar kehendak-Ku”. Seperti bertanya dalam sebuah pernyataan yang cukup rumit untuk dapat aku jawab sendirian sebagai mahluk sosial, bertanya tentang perbedaan dan persamaan, antara takdir dan nasib.
Menatap sambil meratapi ataupun sebaliknya, aku dan masa depanku dengan sisi dunia yang tak mungkin dapat aku kejar, namun didunia ini, dialam yang luas ini, disebuah realita yang katanya banyak fenomena ataupun panorama fatamorgana, yang sangat signifikan ini, yang terisolir oleh referensi dari dogma, doktrin dan makna dari  sebuah kebenaran atas dasar kehakiman, yang tanpa catatan-catatan ataupun fragmen-feragman yang mengendap dalam temperatur tubuh yang kian hari kian seperti bukan diri. Kini, sebagian besar dari keinginanku adalah mati, bukan dalam arti tidak dapat bermimpi, namun lebih mendekati sikap skeptis dalam wacana politik ataupun perjanjian dengan diri dalam konteks teks yang lebih menitik beratkan kepada ujaran langsung, yang proposisinya lebih terbagi dua, yaitu kepada dualisme kepemilikan Tuhan. Namun aku tidak dapat melakukan implikatur percakapan dengan Tuhan secara nyata namun dapat secara langsung, secara sadar ataupun tidak, yang pada prosesnya ialah mendapatkan sebuah peristiwa-peristiwa, tentang para utusan-Nya (Nabi), Ia (Nabi) menjelaskan tentang Agama dan Alkitab dari agama-agama-Nya (Tuhan), namun bukan berarti aku berkata dalam konteks ini bahwa aku mempercayai ataupun percaya bahwa semua agama yang ada dialam jagat raya ini, yang berbeda kultur ini, bahwa semua agama adalah ciptaaan Tuhan, tidak, aku tidak berkata demikian, namun masih dapat aku terangkan bahwa Tuhan adalah pencipta semua yang ada diseluruh alam jagat raya ini. Namun aku masih bertanya-tanya, dalam arti bahwa aku adalah manusia awam, yang bersemi ataupun setengah percaya dan setengah tidak (Tidak sepenuhnya), seperti bertanya, “Apakah itu benar adanya atau tidak, karena bila itu benar adanya aku tak mau mendustai sebuah kebenaran”.
Dalam sisi dunia yang berbeda (Dunia slogan, dunia iklan, dunia simbol; dunia yang tak bebas ataupun dunia yang terbatas), dalam idealis yang nyata, dalam kegelisahan yang terkurung rapat, dalam pintu-pintu kasih sayang yang membahagiakan, dalam gerbang pembukaan dan penutupan, dan dalam materialis yang berarti makin banyak makin baik. Bukan hanya sekedar sebuah luka yang bernanah saja.
Namun sungguh tidak dapat aku sangkal bahwa aku ingin menjadi orang baik, orang yang memandang hari esok lebih baik. Aku seperti seorang pejalan kaki, pejalan kaki yang sedang mengembara, yang mengemban hasrat jiwa untuk melakukan sesuatu, melakukan yang terbaik; aku seperti seorang anak manusia yang sedang mencari penciptanya (Tuhan), seperti hendak bertanya kepada Ia, bertanya, “Kenapa aku ada”, sungguh pertanyaan ini membuat aku kesal, membuat aku bertanya-tanya, bertanya-tanya yang semakin dalam, dan dalam sekali. Sekali lagi, aku mencari Tuhan dan aku mencari agama-Nya, tidak seperti seorang anak yang kehausan sehingga ia mencari Ibunya ataupun seorang anak yang kelaparan sehingga ia mencari Bapaknya. Karena sekali lagi dapat aku katakan, bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakan, Tuhan itu esa dan nyata adanya, Tak ada Nabi yang bisa menjadi tuhan apalagi manusia, dan Tuhan adalah wujud atau zat yang bisa menjadikan diri berserah, sehingga tidak serakah; jadi aku bertanya lagi, “Salahkan aku bila berkata ‘Kau tidak dapat aku katakan tidak ada karena Kau ada dimana mana, karena Kau ada dimana-mana maka pusat dari diri-Mu adalah tidak ada’, dalam arti aku berkata dalam diriku ini ada Tuhan, namun dalam pemikiranku ini aku berkata, bertanya dan meraba, ‘Agama dan agama’.”.
Namun tidak dapat aku sangkal bahwa terkadang aku rindu dosa, seperti seorang anak yang merindukan rumah. Aku cinta kematian, seperti anak manusia yang sedang mencari jalan untuk pulang menuju rumah. Dan makin lama, aku semakin gila, semakin bertanya-tanya, dan sekarang sudah tidak dapat aku sangkal lagi bahwa aku ingin bunuh diri.
Muak adalah kata yang tepat, terhadap diri ataupun sesuatu diluar diri, ataupun sesuatu yang diluar akal dan hati.
Mengakhiri dengan cara yang lambat, dengan kata lain aku menari dan bernyanyi yang bisa diartikan bahwa secara sifat ini hanya sementara dan secara sikap ini hanya sebentar saja.
Dunia yang bulat, dunia yang aku tempati, dunia yang aku anggap sebagai rumah. Namun alam jagat raya ini bukan hanya dunia saja, ada sesuatu diluar dunia itu sendiri, misalnya jagat raya alam ini, yang didalamnya ada dunia, rumah dan aku sendiri; dan jagat raya alam ini, menurutku adalah luas, dalam arti kajian yang masih dipertanyakan dan diperdebatkan oleh sebagian banyak manusia bahwa pertanyaan ini dan itu tidak akan pernah habis dalam satu perkara saja (Tanya dan jawab), keluasannya itu menimbulkan pernyataan diri, bahwa jagat raya alam ini tanpa ujung dan juga tanpa pusat.
Sekarang aku berpikir bahwa kiamat masih lama lagi (Maafkan aku Tuhan, sekali lagi maafkan), kekuatan dunia dalam skala kecil dalam presen yang tidak dapat aku tepikan karena terlalu komplek dalam simulasi yang tak tiada henti, seperti pasang surutnya ombak. Aku berpikir bahwa mati adalah kiamat, ini adalah penyataan yang khusus untuk diriku, untuk saat ini.
Sepertinya, neraka telah aku tatap dan surga akan aku ratapi, dan sebaliknya. Maka, manakala mati adalah akan mengakhiri sebuah awal yang tanpa akhir, sebuah tanya jawab yang tanpa kesimpulan, sebuah arti benar-salah yang masih dipertanyakan, dan moral tentang baik-buruk yang beraneka-ragam, dan tak luput juga dari sebuah pernyataan-pernyataanku tentang kehidupan yang semakin gila, aneh dan tidak masuk diakal; telah dan akan aku jalani; walaupun sebagian besar aku hanya menelaah saja.
Sekali lagi aku muak dan semakin muak, karena aku semakin mati saja dan mendekati kematian, dan keinginan akan bunuh diri ku pun semakin bergejolak. Sebaiknya jangan ingatkan aku akan mati, karena mengingatkan mati bagimu kepadaku, menginginkan mati untuk diriku. Mati akan datang, kematian akan terjadi dan mati pasti akan terjadi; seperti hidup yang akan aku jelang, kehidupan yang sedang aku jalani dan hidup telah terjadi.

No comments: